Stunting Masih Tinggi di Sultra, Buton Selatan Zona Merah

Zuharmi Hamaku, S.Si (Pemerhati Masalah Sosial)

TEGAS.CO.,SULTRA – Masalah stunting merupakan masalah yang saat ini perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah, terkhusus pemerintah daerah.  Secara nasional angka prevalensi stunting  tahun 2019 mencapai  27,7 persen. Angka yang tergolong tinggi jika dibandingkan dengan batas maksimal prevalensi stunting yang ditetapkan WHO yakni sebesar 20 persen. Ditargetkan di tahun 2024 angka prevalensi stunting di Indonesia bisa mencapai angka 14 persen.

Berdasarkan data stunting tahun 2020, Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi  dari 10 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, dengan sebaran terdapat di enam kabupaten yakni Kabupaten Kolaka, Buton, Buton Selatan, Muna, Kolaka Timur dan Wakatobi (pom.go..id /15/10/2020). Angka tertinggi stunting saat ini berdasarkan data tahun 2020 berada di Buton Selatan yang mencapai 30,79 persen atau sebanyak 1.718 balita, 10 desa masuk ke dalam zona merah. (zonasultra.com, 12/4/2021).

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Selatan, Laode Budiman mengatakan hasil ini hampir sama dengan tahun 2018 yakni sebesar 30,8 persen. Adapun tugas menurunkan angka stunting bukan hanya tupoksi jajaran kesehatan atau individu saja tapi diperlukan satu kesehatan yang terintegrasi mulai dari pengambil kebijakan para OPD terkait. Camat, Kades organisasi wanita, dharma wanita, PKK, organisasi profesi Perguruan tinggi para pelaku usaha sampai ke tingkat masyarakat. “Pencegahan stunting merupakan investasi pembangunan jangka panjang. Jika tidak, akan menjadi beban Indonesia kedepannya. Kuncinya ada pada kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku semua pihak harus ikut berperan karena sendirian,“ pungkasnya (zonasultra,12/4/2021). Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi tak mampu menghilangkan permasalahan stunting di negeri  ini. Karena sebenarnya permasalahan stunting sangat erat kaitannya dengan persoalan ekonomi masyarakat.

Bila merujuk kepada pengertian stunting dapat dikatakan bahwa stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang lama dan  berakibat kepada postur tubuh anak berbadan lebih pendek daripada seusianya  kecerdasan anak di bawah, rata-rata, sistem imun yang kurang baik dan anak berisiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke dan kanker (kemenkes.go.id). Kurangnya asupan gizi sangat erat kaitannya kondisi ekonomi keluarga. Alih-alih memikirkan nilai asupan gizi makanan yang dikonsumsi, untuk dapat makan saja sudah  sangat disyukuri.

Untuk itu, pencegahan stunting haruslah secara menyeluruh dan oleh semua pihak, utamanya pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan pelayan masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri inilah yang menjadi sumber penyebab persoalan stunting  karena masih berorientasi kepada materi dan untung rugi serta  diskriminatif karena pro kepada kepentingan pemilik modal. Persoalan stunting merupakan persoalan yang sistemik karena menyangkut berbagai sektor, bukan hanya ekonomi saja.

Berbeda dengan sistem Islam yang secara alami akan menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya hingga mampu mencegah stunting dan gizi buruk pada ibu hamil dan balita. Kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan rakyatnya. Islam telah mengharuskan kepala negara sebagai penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Selain itu,  negara juga harus menguasai pengelolaan sumber daya alam, yang dikelolanya secara mandiri dan  membuka lapangan kerja di berbagai sektor, mulai tenaga ahli hingga tenaga terampil sehingga tidak lagi ada pengangguran. Selain itu, Islam juga mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah buat keluarganya. Dengan begitu masyarakat akan jauh dari kemiskinan serta kesejahteraan akan mudah diraih di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Zuharmi Hamaku, S.Si (Pemerhati Masalah  Sosial)

Editor: H5P

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Stunting Masih Tinggi di Sultra, Buton Selatan Zona Merah

Oleh : Zuharmi Hamaku, S.Si (Pemerhati Masalah  Sosial)

 

Masalah stunting merupakan masalah yang saat ini perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah, terkhusus pemerintah daerah.  Secara nasional angka pravalensi stunting  tahun 2019 mencapai  27,7 persen. Angka yang tergolong tinggi jika dibandingkan dengan batas maksimal pravalensi stunting yang ditetapkan WHO yakni sebesar 20 persen. Ditargetkan di tahun 2024 angka pravalensi stunting di Indonesia bisa mencapai angka 14 persen.

 

Berdasarkan data stunting tahun 2020, Sulawesi Tenggara adalah salah satu provinsi  dari 10 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, dengan sebaran terdapat di enam kabupaten yakni kabupatan Kolaka, Buton, Buton Selatan, Muna, Kolaka Timur dan Wakatobi (pom.go..id /15/10/2020). Angka tertinggi stunting saat ini berdasarkan data tahun 2020 berada di Buton Selatan yang mencapai 30,79 persen atau sebanyak 1.718 balita, 10 desa masuk ke dalam zona merah. (zonasultra.com, 12/4/2021). Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Selatan, Laode Budiman mengatakan hasil ini hampir sama dengan tahun 2018 yakni sebesar 30,8 persen. Adapun tugas menurunkan angka stunting bukan hanya tupoksi jajaran kesehatan atau individu saja tapi diperlukan satu kesehatan yang terintegrasi mulai dari pengambil kebijakan para OPD terkait. Camat, Kades organisasi wanita, dharma wanita, PKK, organisasi profesi Perguruan tinggi para pelaku usaha sampai ke tingkat masyarakat. “Pencegahan stunting merupakan investasi pembangunan jangka panjang. Jika tidak, akan menjadi beban Indonesia kedepannya. Kuncinya ada pada kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku semua pihak harus ikut berperan karena sendirian, “pungkasnya (zonasultra,12/4/2021). Berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi tak mampu menghilangkan permasalahan stunting di negeri  ini. Karena sebenarnya permasalahan stunting sangat erat kaitannya dengan persoalan ekonomi masyarakat.

 

Bila merujuk kepada pengertian stunting dapat dikatakan bahwa stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang lama dan  berakibat kepada postur tubuh anak berbadan lebih pendek daripada seusianya  kecerdasan anak di bawah, rata-rata, sistem imun yang kurang baik dan anak beresiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke dan kanker (kemenkes.go.id). Kurangnya asupan gizi sangat erat kaitannya kondisi ekonomi keluarga. Alih-alih memikirkan nilai asupan gizi makanan yang dikonsumsi, untuk dapat makan saja sudah  sangat disyukuri.

 

Untuk itu, pencegahan stunting haruslah secara menyeluruh dan oleh semua pihak, utamanya pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan pelayan masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri inilah yang menjadi sumber penyebab persoalan stunting  karena masih berorientasi kepada materi dan untung rugi serta  diskriminatif karena pro kepada kepentingan pemilik modal. Persoalan stunting merupakan persoalan yang sistemik karena menyangkut berbagai sektor, bukan hanya ekonomi saja.

 

Berbeda dengan sistem Islam yang secara alami akan menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya hingga mampu mencegah stunting dan gizi buruk pada ibu hamil dan balita. Kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan rakyatnya. Islam telah mengharuskan kepala negara sebagai penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Selain itu,  negara juga harus menguasai pengelolaan sumber daya alam, yang dikelolanya secara mandiri dan  membuka lapangan kerja di berbagai sektor, mulai tenaga ahli hingga tenaga terampil sehingga tidak lagi ada pengangguran. Selain itu, Islam juga mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah buat kelurganya. Dengan begitu masyarakat akan jauh dari kemiskinan serta kesejahteraan akan mudah diraih di dunia dan akherat. Wallahu a’lam.

Penulis: Zuharmi Hamaku, S.Si (Pemerhati Masalah Sosial)

Komentar