TEGAS.CO.,NUSANTARA – Ibadah Haji adalah ibadah puncak umat Islam. Untuk menunaikannya banyak sekali yang harus dipersiapkan. Materi, sudah jelas. Karena besarannya cukup tinggi, sehingga mungkin mesti menabung bertahun-tahun untuk dapat terkumpul sejumlah rupiah yang dibutuhkan. Fisik, sudah pasti. Karena sebagian besar prosesi ibadah haji adalah aktifitas fisik. Dengan kondisi iklim gurun yang sangat berbeda dengan Indonesia yang beriklim tropis. Dengan kontur permukaan tanah yang turun naik, karena sebelumnya merupakan perbukitan batu. Kondisi prima menjadi salah satu pra syarat sempurnanya pelaksanaan ibadah haji.
Namun beragam kondisi sulit tersebut, tidak pernah menyurutkan tekad umat Islam, termasuk dari Indonesia, untuk tetap berniat menunaikannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah sepuh, bahkan yang memiliki komorbid penyakit berat. Gelora ruh ingin menyempurnakan status kemuslimannya di hadapan Allah. Rasa rindu yang demikian membuncah terhadap Ka’bah, kiblat kaum muslimin, yang setiap sholat di atas sajadah, senantiasa terpampang dalam benak. Dambaannya untuk menjadi tamu Allah, di rumah-Nya yang ada di muka bumi. Semuanya mengalahkan kendala-kendala berbasis logika tadi.
Namun ternyata saat ini, untuk menunaikannya, tidak sesederhana itu. Materi yang cukup, kesehatan fisik yang prima, tekad yang kuat, belum cukup untuk mengantarkan kita menjadi tamu Allah. Masih ada poin yang harus dipenuhi : sabar dan kesabaran yang tiada batas.
Untuk keberangkatan jemaah haji, harus menunggu antrian yang panjang sekali. Karena Kerajaan Arab Saudi menetapkan quota jamaah haji bagi tiap negara. Kaum muslimin pun dengan berbesar hati menerima ketetapan ini. Dan melapangkan urat sabarnya untuk menunggu giliran, yang hitungannya puluhan tahun.
Kesabaran kaum muslimin pun masih diuji lagi. Pandemi melanda. Kerajaan Arab Saudi tahun lalu, tidak memberikan quota haji. Karena dikhawatirkan terjadi cluster covid-19 para jamaah haji di Haramain. Terhadap keputusan tersebut, umat Islam dengan qona’ah menerimanya. Jika pertimbangannya adalah untuk kemashlahatan yang lebih besar. Menguatkan kembali kesabaran. Walaupun sedih menyayat hati. Rindu itu demikian berat. Terlebih rindu memandang dan mencium Ka’bah, kiblat umat Islam. Rindu untuk dirindui Al Kholiq, untuk menjadi tamu di rumah suci-Nya.
Kaum Muslimin, terutama jamaah haji yang sudah masuk waiting list pemberangkatan, berlapang hati, karena harapan besar tahun berikutnya akan berangkat.
Namun apa gerangan. Mesti dimana lagi kesabaran kaum muslimin diletakkan. Tahun ini pun, kaum Muslimin tak berhenti dipaksa untuk menelan pil pahit.
Keberangkatan haji tahun 2021 resmi dibatalkan. Keputusan ini merupakan keputusan final pemerintah. Menurut pemerintah, hal ini mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi.
Keputusan ini juga mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 juni 2021 kemarin di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M.
Pengelolaan Haji dalam Sistem Islam
Ibadah haji adalah bagian dari rukun Islam, yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu menunaikannya.
Namun, terkait dengan ibadah haji ini, selain masalah hukum syara, yang terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, yang wajib dipenuhi, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada hukum ijra’i.
Hukum ijra’i adalah hukum yang terkait dengan teknis dan administrasi. Termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja untuk pengaturannya, tentu tidak bisa diserahkan kepada individu. Terlebih bukan hanya karena rangkaian ibadah haji hanya berlangsung pada waktu tertentu (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah), namun juga karena tempatnya tertentu ( Mekkah, Min, Arafah, Muzdalifah, dan Madinah). Sehingga sangat mutlak dibutuhkan peran negara untuk membuat pengaturan yang baik.
Dalam Islam, suatu pengaturan (administrasi) haruslah bersifat: sederhana, cepat, dan profesional. Terlebih lagi dalam urusan ibadah haji. Maka negara, sebagai Ro’in (penanggung jawab), wajib menetapkan pengaturan yang dapat menjamin terlaksananya dengan baik, pelaksanaan ibadah haji umat Islam. Pemerintah harus dapat menjamin, jamaah yang sudah masuk jadwal pemberangkatan, dapat diberangkatkan, tidak ada penundaan. Pemerintah wajib memberikan fasilitas dan beragam akomodasi yang dibutuhkan oleh jamaah. Baik selama persiapan di tanah air, selama di tanah suci, bahkan ketika sepulangnya nanti ke tanah air. Juga memberikan jaminan kesehatan serta keselamatan jamaah. Karena negara berperan sebagai penanggung jawab seluruh urusan umat, termasuk pelaksanaan ibadah haji.
Hukum Penundaan Ibadah Haji
Terkait hukum penundaan pelaksanaan ibadah haji, menurut KH M. Shiddiq Al Jawi, mesti dilihat, apakah penundaanya bersifat individu ataukah penundaan yang merupakan kebijakan komunitas, terlebih lagi kebijakan pemerintah.
Jika penundaan ini terkait dengan individu, maka hukumnya boleh. Dalil bolehnya menunda haji adalah Hadits. Karena haji telah diwajibkan tahun ke-6 Hijriyah, sedang Fathu Makkah terjadi tahun ke-8 Hijriyah. Namun faktanya Rasulullah SAW tak melaksanakan haji tahun ke-8 Hijriyah itu, padahal kondisi sudah memungkinkan karena Makkah sudah ditaklukkan.
Rasulullah SAW baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau tahun ke-10 Hijriyah. Ini adalah dalil bolehnya menunda haji. (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 7/103-104; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/11).
Menurut KH M. Shiddiq Al Jawi, hukum boleh ini adalah untuk individu (perorangan). Adapun jika penundaan atau penghentian sementara tersebut merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas (suatu desa, kota, organisasi, ormas, dll), sehingga kemudian diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, maka hukumnya haram. Karena berarti penundaan atau penghentian tersebut telah menghapuskan syiar-syiar Allah (sya’airallah) yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah-tengah masyarakat.
Yang dimaksud syiar-syiar Allah (sya’airallah), adalah setiap tanda bagi eksistensi agama Islam dan ketaatan kepada Allah SWT(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/97-98).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan :
يجب على المسلمين اقامة شعائر الإسلام الظاهرة وإظهارها فرضا كانت هذه الشعيرة أم غير فرض
”Wajib hukumnya atas kaum Muslimin untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat zhahir, dan juga wajib menampakkannya [di tengah masyarakat], baik syiar itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya tidak wajib [sunnah, dll].” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 26/98).
Sebagaimana juga firman Allah SWT :
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Al Hajj [22] : 32).
Wallaahua’lam bishshowab
Penulis: Ati Solihati, S.TP (Aktivis Muslimah)
Editor: H5P
Komentar