TEGAS.CO,. NUSANTARA -:Pemangkasan alias pengurangan masa hukuman pada Jaksa Pinangki Sirna Malasari yakni dari hukuman 10 tahun penjara dipotong menjadi 4 tahun penjara terus menuai kritikan dari berbagai pihak. Kasus bermula dari Pinangki yang menjadi makelar kasus agar terpidana korupsi Djoko Tjandra bisa lolos dari hukuman penjara. Yang dilakukan dengan mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung (MA). Dalam dakwaannya, sejumlah nama juru kunci hukum di negeri ini turut terseret oleh Pinangki untuk memuluskan Fatwa MA itu. Mulai dari Ketua Mahkamah Agung hingga Jaksa Agung. Padahal, seperti yang kita ketahui, saat itu status Djoko Tjandra masih buron. Namun ternyata, usaha Pinangki terbongkar dan akhirnya harus mempertanggungjawabkannya (detik.com).
Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pinangki divonis 10 tahun penjara. Namun siapa sangka, ternyata mendapat diskon hingga 60% menjadi hukuman 4 tahun penjara. Ketua majelis Muhammad Yusuf mengungkapkan alasannya, karena terdakwa adalah seorang perempuan dan ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun), hingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Ia pun menambahkan bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Tentu saja putusan ini mendapat banyak kecaman, dari rakyat biasa hingga wakil rakyat dan juga para petinggi partai. Petisi dari Indonesia Corruption Watch misalnya. Sebanyak 16.542 orang telah menandatangani petisi dari ICW (Indonesia Corruption Watch), agar jaksa mengajukan kasasi atas vonis Pinangki yang mendapat diskon.
Maka, dalam kasus putusan banding perkara Jaksa Pinangki ini, ada beberapa hal yang harusnya menjadi perhatian kita bersama dan patut untuk dikritisi.
Yang pertama, kasus Jaksa Pinangki ini benar2 mencederai rasa keadilan masyarakat dan menunjukkan makin kuatnya mafia peradilan di Indonesia. Tentu saja ini bukanlah kasus yang pertama terjadi di bumi pertiwi. Seringkali para tikus berdasi diberi remisi hingga akhirnya tidak ada efek jera bagi para pelaku. Lalu di manakah penerapan kesaktian Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang selama ini digaungkan?
Jelas tertera dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Prinsip persamaan dalam pasal ini berisi menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, maka artinya antara laki-laki dengan perempuan tidak ada perbedaan. Bukankah hal ini turut menjadikan pincangnya hukum di negeri ini?
Yang kedua, secara normatif, hukum tidak membedakan jenis kelamin. Merupakan suatu kejanggalan jika alasan potongan hukuman dengan dalih “perempuan”. Bukankah hal ini nantinya akan membuat polemik, dan juga akan menuai protes dari para narapidana lain yang juga berjenis kelamin perempuan? Sulit dipahami jika gender turut mempengaruhi pidana.
Hukum dalam Islam pun tidak membedakan jenis kelamin. Dalam firman-Nya pada surat Al-Maidah ayat 38, “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Dalam hukum fikih jinayah, hukuman yang dijatuhkan Allah dalam Al-Qur’an bagi para pelaku tindak pidana baik pria atau wanita, ialah sama dan tidak ada perbedaan. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya kesamaan dalam memikul tanggung jawab di hadapan hukum.
Bahkan Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang ketiga, hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum hasil buatan manusia yang saat ini diterapkan dalam demokrasi-sekuler, mengandung banyak kebobrokan, kelemahan, rentan, dan mudah dipermainkan. Disalahgunakan sesuai dengan kepentingan. Maka, mengharapkan keadilan dan kesamaan hukum di dalam sistem demokrasi ialah bagaikan mimpi di siang bolong.
Pemberantasan korupsi tidak akan selesai kecuali dengan pendekatan perangkat hukum yang tegas dan keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir, maka Allah swt menekankan iman dalam menanamkan akhlaqul karimah dan memberantas kemungkaran. Islam memperbaiki kondisi manusia dimulai dengan meluruskan orientasi hidup. Islam, menerapkan keadilan serta sanksi tegas dan juga hukuman setimpal. Hukuman setimpal atas koruptor diharapkan memberikan efek jera. Dalam hukum Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir (mengumumkan tindak pidana pelaku kepada publik), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Selain itu, pelaku pun akan ditindak tegas tanpa ada negosiasi atapun pandang bulu.
Betapa sempurnanya islam dengan seperangkat aturan yang telah diturunkan Allah dan juga dicontohkan Rasulullah dalam mencegah dan mengatasi permasalahn hidup. Termasuk masalah korupsi yang seolah tak mampu dibasmi dengan hukum yang ada dalam sistem demokrasi. Salah satu cara agar hal ini dapat mewujud ialah berdirinya suatu kepemimpinan Islam yang hanya menerapkan hukum-hukum Allah dalam tatanan negara.
Penulis : Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb
Editor : YA
Komentar