Fakta Dibalik Penataan Smelter dan Penambangan PT Tiran Mineral

Ilustrasi

TEGAS.CO,. SULAWESI TENGGARA – Penambangan yang dilakukan PT Tiran Mineral di Waturambaha terus menjadi pro kontra, pasalnya perusahaan yang baru beroperasi sekitar awal 2021 tersebut telah melakukan penambangan di atas izin pembangunan smelter.

Hal tersebut pun dibenarkan Humas PT Tiran Mineral, La Pili. Saat ditemui awak media tegas.co, ia menjelaskan, dalam penataan pembangunan smelter ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, salah satunya adalah penataan lokasi, pembuatan jalan-jalan penghubung, jembatan, bahkan bila perlu pemangkasan gunung guna penataan lahan.

Pada tahap penataan dan pematangan lokasi inilah, lanjut La Pili, harus diobservasi kembali, apakah lahan mengandung logam mineral atau tidak. Jika ada, maka sesuai Undang-Undang mineral, logam tersebut dapat digali dan dijual.

Untuk itu, sambungnya, agar tidak menyalahi aturan, maka pihaknya membuat izin sementara, yakni izin usaha pertambangan untuk penjualan hasil komoditas mineral.

“Kalau memang ada alat berat, memang sedang ada penggalian. Tidak mungkin mineral logam yang ditemukan di lokasi akan diangkut menggunakan tangan kosong atau sepeda, tentu harus dengan alat berat, dan kita sudah punya izinnya. Tetapi semua itu, semata-mata merupakan bagian dari penataan lahan untuk pembangunan Smelter”, bebernya.

Ia membenarkan jika saat ini pihak PT Tiran Mineral melakukan penggalian dan penjualan ore, namun bukan secara ilegal, melainkan atas izin usaha penjualan hasil komoditas mineral jangka pendek.

“Secara aktivitas itu benar adanya, namun kita punya izin usaha pertambangan untuk penjualan hasil komoditas mineral,” imbuh La Pili.

Pihaknya pun telah berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan kegiatan tersebut dibenarkan karena semua izin-izin dan legalitas untuk kegiatan penjualan komoditas mineral telah dikantongi.

“Baik dari izin IPPKH sampai izin lingkungan sudah lengkap untuk PT Tiran Mineral”, tegasnya.

Menindak lanjuti keterangan Humas PT Tiran Mineral, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Dinas Kehutanan Sultra Beni Raharjo membenarkan bahwa PT Tiran Mineral telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), namun belum diterbitkan SK. Sebab penerbitan SK, kata Beni, merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Beni juga membeberkan, bahwa sampai saat ini Dishut belum mendapatkan tembusan dari KLHK.

“Dinas belum menerima tembusannya, kalau info lisan dari rekan-rekan KLHK sudah ada,” terang Beni saat ditanyai soal kejelasan IPPKH PT Tiran Mineral, Kamis (1/7/2021).

“IPPKH PT Tiran Mineral itu infonya untuk pembangunan smelter, bukan untuk melakukan penambangan,” tambahnya.

Fungsi dan Penggunaan Surat Keputusan (SK)

Surat Keputusan umumnya merupakan dasar hukum dari suatu tindakan, kegiatan, kondisi, ataupun fungsi status dari pada sesuatu atau bagi seseorang, yang dijadikan legal aspek untuk menetapkan atau mempertahankan sesuatu yang diputuskan tersebut.

Dalam implementasi penggunaan surat keputusan kadang-kadang terjadi kekeliruan dimana penggunaannya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan semula.

Oleh sebab itu orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mengamankannya memang harus berhati-hati. Sebuah surat keputusan haruslah digunakan sesuai dengan fungsi dan kegunaan yang dimaksudkan, apakah fungsi sesungguhnya atau sebatas kegunaan insidentil sebagai antisipasi kebutuhan administrasi ataupun pembuktian legalitas yang dipersaratkan, dikutip dari (Brainly.co.id).

Kajian Hukum

Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU 41/1999”) ditentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan eksplorasi terhadap hutan sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri Kehutanan. Jadi, sebelum izin tersebut diterbitkan, seharusnya kegiatan pertambangan belum boleh dilakukan.

Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-Ii/ 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (“Permenhut 43/2008”) yang mengatur bahwa pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan atas dasar izin Menteri.

Dan memang dalam pengawasannya, UU memberikan kewenangan kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya untuk bertindak sebagai polisi khusus (lihat Pasal 51 UU 41/1999). Polisi khusus ini antara lain tugasnya adalah:

  1. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
  2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
  3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
  4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
  5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
  6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Bagi perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut maka terhadap perusahaan tersebut berlaku sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU 41/1999 yaitu pidana penjara (bagi direkturnya atau yang berwenang mewakili perusahaan) dan denda serta dapat berakibat semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk mengeksplorasi hutan tanpa izin dirampas untuk Negara.

Selain sanksi pidana, pelaku usaha yang melanggar juga dapat dikenakan ganti rugi dan sanksi administratif. Jadi, polisi memang berhak untuk memeriksa kelengkapan administrasi yang perusahaan miliki dalam rangka penggunaan kawasan hutan.

Laporan : ISMITH

Editor : YA

Komentar