TEGAS.CO,. NUSANTARA – “Lonjakan kasus Covid-19 di mana-mana? Jangan salahkan mutasi virus yang ganas, salahkan ganasnya perilaku ugal-ugalan kita.” Kalimat itu terpampang dalam kanal Instagram Pandemictalks yang selama ini aktif memberi kabar mengenai kondisi dan perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Sangat wajar jika penguasanya dianggap abai dan gagal menuntaskan pandemi ini.
Sedih yang mendalam jika harus melihat keluarga, saudara, teman, kerabat, dan tetangga mengalami sakit akibat pandemi. Begitu cepat penyebaran virus terjadi, hingga angka terpapar terus meningkat dan angka kematian kian tinggi.
Indonesia Mabok Covid
Tingginya lonjakkan angka Covid-19 di Indonesia membuat Indonesia dicap negara paling lamban mengantisipasi penyebarannya. Dilansir dari Kompas, temuan kasus positif harian yang semula ada di kisaran 5.000 kasus pada Senin (21/6/2021), angkanya sudah melebihi 14.000 kasus. Jumlah kasus baru di hari itu pun memecahkan rekor sebagai kasus harian tertinggi sejauh pandemi yang berlangsung di Indonesia. Hal ini berarti, secara nasional kasus infeksi sejak 4 minggu terakhir mengalami peningkatan sebesar 92 persen.
Ketua Tim Peneliti Whole Genome Sequence SARS – CoV-2 dari FK – KMK UGM, dr Gunadi PhD, SpBA, mengatakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya lonjakan kasus karena adanya interaksi sosial yang masif dan pelanggaran protokol kesehatan saat libur Idul Fitri. Hal ini diperburuk dengan adanya varian virus Corona baru yang lebih cepat penyebarannya.
Kepala Dinkes Kepala Dinkes DKI Jakarta Widyastuti menyatakan temuan 3 varian baru virus korona di Jakarta. Varian Alpha (B.1.1.7) pertama terdeteksi di Inggris, Beta (B.1.351) pertama terdeteksi di Afrika Selatan, dan Delta (B.1.617) pertama terdeteksi di India. Varian delta asal India disebut lebih mudah menular dengan gejala berat.
Bercermin pada Strategi yang Setengah Hati
Menanggapi lonjakan kasus yang terjadi di sejumlah daerah, pakar epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman mengatakan sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah mengubah strategi dalam menangani pandemi Covid-19. Menurutnya, gelombang pertama kasus Covid-19 akan mencapai puncaknya pada akhir Juni sampai awal Juli 2021.
Bukan hanya testing dan tracing yang rendah, tetapi pemahaman masyarakat tentang Covid-19 selama setahun ini masih saja kurang. Menurut Dicky, kesalahan selama setahun penanganan pandemi adalah pendekatan yang tidak berbasis sains, datanya minim, sehingga respons dan strategi yang dilakukan tidak cukup memadai untuk menangani kasus Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah memberi respons terhadap lonjakan kasus di beberapa daerah. Satgas Covid-19 melakukan prinsip 3K, yaitu komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi, dengan daerah yang mengalami lonjakan kasus Covid-19. (Detik, 15/6/2021). Sekalipun sudah dilakukan upaya 3T (testing, tracing, and treatment), jika kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah, hal itu tidak akan berjalan efektif. Dari awal, penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah tampak setengah hati.
Saat itu, anjuran para ahli untuk melakukan karantina wilayah tak digubris. Pemerintah justru mengambil langkah moderat dengan menerapkan PSBB hingga berganti istilah ke PPKM Mikro. Belum lagi bergulirnya New Normal yang kian mengaburkan pemahaman masyarakat mengenai Covid-19. Salah memahami, berujung pada sikap abai masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Sikap plinplan pemerintah juga menambah buruknya komunikasi publik mengenai Covid-19. Seperti kebijakan pilih-pilih mengenai kerumunan. Kerumunan Pilkada tak mengapa, sementara kerumunan yang lainnya kena pidana.
Siapapun yang jujur pasti akan bisa menilai tindakan ketidakadilan yang dirasakan oleh penguasa, seorang ulama divonis berat dengan tuduhan melanggar prokes, sementara pejabat negara ada yang melanggar prokes lolos begitu saja.
Belum lagi disaat negara lain perketat pintu masuk warga negara asing akibat perkembangan kasus varian baru corona, Pemerintah masih terlihat ‘santai’ dengan melonggarkan masuknya WNA secara bergelombang. Mudik dilarang, TKA dibiarkan berdatangan. Fatal akibatnya, Covid-19 varian delta yang berasal dari luar negeri, merebak ke Tanah Air.
Selain sikap plinplan, sikap kurang tanggap dalam menangani covid-19 terlihat jelas hari ini. Realitanya, tanah yang kosong sekejap bisa berubah menjadi lahan galian kuburan korban Covid-19, apalagi kejadian ini didukung oleh keterbatasannya penyediaan tabung oksigen, ruangan rumah sakit tak mencukupi kapasitas, hingga mobil ambulans pun tak memadai untuk membawa pasien dan jenazah pasien C-19.
Salah satu contoh terjadi pada 63 pasien di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Semua meninggal dunia dalam sehari semalam pada Sabtu (3/7/2021) hingga Minggu (4/7/2021) pagi akibat menipisnya stok oksigen. Hal ini dikonfirmasikan oleh Komandan Posko Dukungan Operasi Satgas Covid-19, Pristiawan Buntoro, di Yogyakarta. (foto.bisnis.com, 4/7/2021).
Sungguh miris, saat ini butuh strategi kebijakan yang tepat dan cepat dari penguasa untuk menghadapi pandemi ini. Jika perlu memangkas rantai pasokan oksigen agar langsung didapat masyarakat untuk penanganan pasien C-19.
Saatnya Kembali pada Aturan Pencipta
Di negeri ini yang mayoritas penduduknya Muslim, justru banyak terjadi pelanggaran terhadap aturan sang pencipta (dalam bahasa arab disebut ; syariah) seperti kasus penistaan agama, permusuhan terhadap ulama, moderasi beragama, sikap islamophobia, sebutan Intoleran dan radikalisme yang berusaha disematkan kepada muslim, dan beragam kezaliman yang dirasakan oleh rayat sudah terlalu banyak dan sering.
Eratnya hubungan kemungkaran dan kezaliman sebagai sebab datangnya bencana adalah pekara yang jelas, Allah berfirman ; “Ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka. Lalu ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami menyisa mereka secara tiba tiba. Ketika itu mereka terdiam putus asa”. (TQS al An’am [6]: 44)
Rasulullah saw menjelaskan bahwa saat kejahatan merajalela, Allah SWT akan meratakan bencana. Zainab bunti Jahsyi ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah kita akan binasa wahai Rasulullah, padahal disekitar kita ada orang orang shalih?” Beliau menjawab “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela (HR al- Bukhari).
Saat ini kemungkaran sudah merajalela, lalu datang bencana juga menimpa orang orang shalih. Selama pandemi ini dilaporkan ada sekitar 584 ulama yang meninggal karena wabah (news.detik) Belum termasuk para imam, pengurus masjid serta para ustadz pembimbing umat lainnya yang juga tidak tercatat meninggal dalam wabah.
Wafatnya para ulama adalah musibah besar bagi kaum muslimin dan harusnya menjadi alarm keras untuk menundukkan segala sesuatu yang terjadi di negeri kita hari ini adalah Kuasa Allah. Sebagai seorang hamba, kita harus segera menyadari bahwa penguasa hari ini tidak memiliki kepemimpinan yang serius meriayah (mengurus) urusan masyarakatnya. Meledaknya pandemi adalah rangkaian ketidakberdayaan dan ketidakseriusan Penguasa menangani wabah. Ketika rakyat diminta untuk mematuhi aturan PPKM namun tak ada upaya selaras dengan penjaminan kehidupan rakyat.
Rayat terpaksa harus melawan arus demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Hari ini, masyarakat membutuhkan pemimpin yang benar benar mau mengurus rakyatnya, melindungi mereka dari bencana. Pemimpin ini tentu mengurusi masyrakat dengan syariah islam, yang didalamnya ditanmakan keimnan kepada pencipta, menanamkan ketakwaan pada warganya sehingga menjaga diri dari berbagai tindakan madarat, taat pada protokol kesehatan, serta memberikan pelayanan kesehatan yang sebaik baiknya termasuk menhindari negeri dari sumber penyakit.
Penulis : Ahsani Ashri, S.Tr.Gz (Pemerhati Kebijakan dan Generasi)
Editor : YUSRIF
Komentar