Harga Cabai Naik Pedas, Islam Solusi Tuntas

Risnawati, S.Tp. (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Masih ditengah pandemi covid 19 kembali terjadi kenaikan harga pangan, salah satunya harga cabai naik lagi. Seperti dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia – Mayoritas harga pangan naik pada awal pekan ini, Senin (16/8).

Kenaikan tertinggi dialami oleh komoditas cabai merah besar. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga cabai merah besar meningkat 4,18 persen ke Rp32.400 per kilogram (Kg).

Iklan KPU Sultra

Harga termahal Rp62.500 per Kg, berlaku di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sementara, harga termurah tercatat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Rp10 ribu per Kg. Selain cabai merah besar, kenaikan harga juga dialami oleh cabai merah keriting sebesar 1,66 persen menjadi Rp30.700 per Kg. Harga tertinggi tercatat di Kota Tual, Maluku, Rp82.500 per Kg dan termurah, Rp22.750 per Kg, di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Peningkatan harga juga tercatat pada komoditas daging ayam ras segar sebesar 1,22 persen menjadi Rp33.150 per Kg. Selanjutnya, kenaikan harga di bawah 1 persen terjadi pada daging sapi, telur ayam ras, minyak goreng curah, gula pasir lokal, minyak goreng kemasan bermerek, dan beras. (Senin,16/8/2021)

Pasalnya, kenaikan harga selalu terjadi setiap tahun dengan siklus yang sama. Padahal, pangan adalah kebutuhan pokok utama masyarakat. Seharusnya, siklus yang meresahkan warga ini mampu dihilangkan negara dengan menyediakan pasokan yang memadai dan menghilangkan semua distorsi pasar. Mengapa siklus kenaikan harga terus berulang?

Kapitalisme, Akar Masalah

Menurut sistem kapitalis kenaikan harga kebutuhan pangan disebabkan kurangnya ketersediaan bahan pangan komoditas tertentu. Kondisi seperti ini dianggap sebagai permasalahan ekonomi karena harga ditentukan berdasarkan supplay (penawaran) dan demand (permintaan) terhadap barang tersebut. Karena itu, jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedangkan permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga akan naik.

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak pada rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga.Tentu masih terngiang di benak kita sikap instan pemerintah yang mengatasi kelangkaan bahan pangan melalui kebijakan impor.

Menurut pengamat kebijakan pangan, Emilda Tanjung, permasalahan utama pertanian yang berimbas pada gejolak harga pangan adalah penerapan sistem ekonomi yang kapitalistik neoliberal. Sistem inilah yang menjadikan peran negara dibuat seminimal mungkin, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak pro rakyat dan cenderung berpihak pada korporasi.

Maka, wajar saja problem pangan tak berkesudahan, lantaran negara memposisikan diri sebagai regulator, sedangkan operatornya adalah korporasi. Ini menyebabkan terciptanya kapitalisasi korporasi pangan yang semakin menggurita dan tak terkendali. Mulai dari kepemilikan lahan, penguasaan rantai produksi distribusi, hingga kendali harga pangan, semua dikuasai korporasi.

Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme kerap fokus pada produksi dan mengabaikan distribusi. Sistem ini menjadikan harga sebagai satu-satunya pengendali distribusi. Artinya, setiap orang diperlakukan sama dan dipaksa berjuang bersama untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli. Tidak ada mekanisme lain kecuali dengan cara membeli. Faktanya, setiap orang tidak memiliki akses yang sama terhadap bahan pangan. Orang miskin tentu akan kesulitan mengakses pangan jika harga menjadi pengendali satu-satunya. Apalagi orang cacat yang untuk bekerja saja mereka tak mampu. Namun, ini adalah realitas sistem pasar bebas yang tak menghendaki campur tangan negara dalam distribusinya. Wajar saja distribusi pangan menjadi buruk.

Kelangkaan pangan juga bisa muncul sebagai akibat minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran. Ketika stok pangan menipis, maka harganya akan melambung tinggi. Saat itu, biasanya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan yang beredar di pasaran.

Dan selama ini negara kita memang sangat bergantung pada impor. maka hal ini juga berimbas pada kemampuan Indonesia mengimpor bahan pangan termasuk cabai, yang akan berdampak pada stok pangan nasional. Inilah akibat terlalu bergantung pada komoditas impor. Sementara potensi negeri yang luar biasa ini diabaikan.

Betapa tidak, problem kenaikan harga pangan yang  selalu berulang, karena adanya mafia pangan dan ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian seperti pada kasus impor beras menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini. Penyebabnya tidak lain adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dimana pihak penyelenggara pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Islam Solusi Tuntas

Islam sebagai satu-satunya dien yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan umat manusia, termasuk masalah kenaikan harga kebutuhan pangan ini.

Pangan adalah masalah krusial. Karena itu, negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, biaya produksi ringan, dan keuntungan bisa besar.

Syariah Islam menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Walhasil, solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat dan berbagai kesulitan pangan hanyalah dengan kembali kepada penerapan Islam kafah. Sebab, hanya dalam Islam kita mendapati pemerintahan yang benar-benar tulus dan serius mengurusi rakyat. Rasulullah saw. telah mengingatkan, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Risnawati, S.Tp. (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Editor: H5P

Komentar