Bahasa Arab Jadi Ciri Terorisme, Apa Kata Syariat?

Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Isu Terorisme kembali mencuat saat seorang pengamat militer dan intelijen mengatakan bahwa bahasa arab dinilai sebagai ciri terorisme, meski sudah diklarifikasi pernyataan tersebut, namun tetap saja persoalan terorisme selalu membidik Islam. Sungguh miris.

Dilansir dari Suara.com – Sosok pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati baru-baru ini ramai jadi sorotan publik. Ia disorot usai menyinggung bahasa Arab dalam pemaparannya mengenai terorisme di Indonesia.

Susaningtyas pun tegas menyatakan bahwa ia tidak ada sedikit pun niat untuk secara sengaja menghina Islam yang merupakan agama yang ia imani.

Melansir dari Hops.id – jaringan Suara.com, Susaningtyas menolak anggapan bahwa ia telah menghina Islam lewat pernyataannya mengenai terorisme di Indonesia.

“Saya sebagai Muslim secara sadar sangat menghormati Islam sebagai agama saya. Ajaran Islam yang saya pelajari adalah agama yang cinta sesama bahkan juga dengan umat beragama lain.” ujar wanita yang karib disapa Nuning tersebut, dikutip dari keterangan resmi, Kamis 9 September 2021. Dalam pernyataannya, Nuning kembali menekankan bahwa dirinya tak pernah mengatakan bahasa Arab sebagai ciri atau lambang terorisme.

Terorisme Bidik Ajaran Islam

Dalam kamus, definisi terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;

Isu terorisme sering sekali dikaitkan dengan kata radikal. Pasalnya dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “Radikal” sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang bertentangan dengan mainstream yang ada. Sehingga, radikalisme dianggap suatu paham yang menginspirasi terjadinya berbagai teror dan lahirnya para teroris. Seseorang di anggap menjadi teroris, berawal dari radikal. Orang menjadi radikal karena mendalami ajaran agama. Sehingga akhirnya muncullah stigma negatif terhadap ajaran Islam sebagai pemicu tindakan terorisme dan radikal. Ironisnya, stigma negatif kelompok radikal itu disematkan hanya pada kelompok Islam saja dan tidak berlaku bagi kelompok di luar Islam.

Bahkan untuk menghadapi aksi terorisme ini, lagi-lagi moderasi ditawarkan sebagai solusi. Menag mengimbau para tokoh agama untuk terus meningkatkan pola pengajaran agama secara baik dan menekankan pentingnya beragama secara moderat. Sedangkan tawaran moderasi dengan menyimpangkan Islam dari ajaran yang benar adalah tindak penyesatan. Mode rasi mengajarkan untuk selalu mengambil jalan tengah dalam setiap penyelesaian masalah, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.

Dengan demikian narasi terorisme dan radikalisme bukanlah narasi yang bersifat objektif, namun telah dikemas untuk menghantam Islam dan kaum Muslim yang menginginkan tegaknya Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Walhasil, berbagai faktor pemicu terorisme hanya muncul dalam sistem yang tidak menerapkan Islam secara totalitas.

Bahasa Arab, Khazanah Umat Islam

Kita memahami bahwa bahasa arab adalah bahasa yang dipakai dalam wahyu Al-Qur’an dan karena itu juga menjadi bahasa Islam. Ketika Islam sampai kepada orang-orang non Arab, mereka memeluk Islam dan mulai belajar bahasa Arab. Segera setelah itu, orang Islam non Arab tersebut tidak hanya menguasai bahasa Arab, tetapi juga memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang Islam.

Mengenai kedudukan bahasa Arab sebagai potensi yang tidak boleh dipisahkan dengan potensi Islam, atau dengan kata lain harus diintegrasikan menjadi satu kekuatan (mazj at-thaqah al-lughawiyyah ma’a at-taqah al-Islamiyah), ini ditegaskan Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab.

Adapun  keistimewaan bahasa Arab, sebagai potensi yang tidak bisa dipisahkan dari potensi Islam. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait. Jika Islam dipisahkan dari bahasa Arab, maka terjadilah apa yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, jika Islam disatukan dengan potensi bahasa Arab, maka berbagai kemajuan intelektual umat Islam akan berhasil diraih kembali, sebagaimana zaman kejayaannya. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa Islam, Al-Lughah al-‘Arabiyyah lughat al-Islâm. Karena sesungguhnya sangat relevan dengan kedudukan bahasa Arab hubungannya dengan Tsaqiflah Islam.

Maka, bahasa arab adalah sebagai kunci memahami syariat, Alquran, dan Sunah. Bahkan, menurut Syekh Ibrahim al-Baijuri, para ulama sepakat bahwa ilmu nahwu dan sharaf adalah pengantar untuk seluruh disiplin ilmu (ilmu syar’i), terlebih ilmu tafsir dan ilmu hadis.

Sudah seharusnya umat Islam senantiasa waspada terhadap upaya musuh-musuh Islam yang hendak menjauhkan potensi bahasa arab dari Islam, karena sama saja dengan upaya menjauhkan umat Islam dari hukum-hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis Rasulullah. Karena itulah, kita tidak dapat memisahkan Islam dari bahasa Arab. Sehingga, mengatakan bahasa arab sebagai ciri atau lambang terorisme merupakan hal yang menyakitkan bagi kaum muslim.

Karena itu, isu terorisme dan radikalisme selama ini bukanlah ajaran dari Islam, terlebih lagi jika bahasa arab dijadikan sebagai simbol terorisme, ini sungguh menyesatkan. Masifnya narasi terorisme dan radikalisme saat ini, melainkan upaya stigmatisasi musuh-musuh Islam dalam mendiskreditkan Islam sebagai agama yang radikal, tidak toleran dan sangat kejam dengan kekerasan. Sehingga umat muslim hanya mencukupkan Islam sebatas pada agama ritual seperti pengaturan Shalat, zakat, puasa, haji. Namun, takut jika membahas berkaitan dengan aturan Islam terkait pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi hingga politik yang memang sebenarnya juga diatur di dalam Islam.

Sesungguhnya Islam adalah agama menyempurna rahmatan lil ‘alamiin, untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Ajarannya paripurna, Allah Swt. berfirman, “…..pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.Al Maidah: 3). Wallahu a’lam.

 

The Author : Risnawati, S.Tp (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Editing by: H5P

 

Komentar