Tak Jera Kekerasan Seksual Terus Mendera

Risnawati, STP (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Sebuah ironi, runtuhnya moralitas keluarga yang mendorong terjadinya inses yang menjadikan anak menjadi korban kekerasan, baik dari orang tua dan saudara (tiri maupun kandung) dan sanak keluarga lainnya yang bermental bejat. Bukan lagi rahasia umum, jika banyak fakta yang menyatakan pelaku-pelaku kekerasan di tengah masyarakat berasal dari orang-orang terdekat.

Dilansir dari laman Upeks.Co.Id— Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara (Sultra) Hj. Andi Wahidah ditemui wartawan di aula Sasana Praja Pemda Kolaka usai melakukan Launching Aksi perubahan “Sadar Peran” desa/kelurahan sadar perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak pada (6/9/21).

Iklan Pemkot Baubau

Dalam keterangannya kepada wartawan, Wahidah terlebih dahulu menegaskan stop terhadap kekerasan perempuan dan anak dalam rumah tangga. Diakuinya bahwa memang tidak bisa dipungkiri kadang-kadang ada yang merasa kebiasaan tindakan kekerasan baik secara pisik maupun kekerasan verbal sebahagian menilai bahwa hal itu tidak perlu diangkat sebagai kejahatan.

Budaya Patriarki kata Wahidah sebuah sistim sosial menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan dalam rumah tangga.

Menurut Wahidah kini sudah menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kolaka, bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak ini sungguh menjadi dilema dan miris. Ada beberapa fakta terjadi di Kolaka terjadinya pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri.

“Bersyukur kasus ini sudah diproses secara hukum, dan korbannya juga dilakukan pemulihan secara psikis dibantu oleh dokter psikiater,” kata Wahidah juga mantan Sekdis BKPSDM.

Untuk dirinya menginisiasi suatu program Sadar Peran mulai dar tingkat kecamatan, kelurahan dan desa dibentuk suatu kelompok bertujuan sebagai wadah untuk melakukan edukasi kepada masyarakat ketika terjadi tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kelompok sadar peran ini dengan melibatkan semua pihak-pihak berkompeten memberikan edukasi kepada masyarakat agar jangan lagi ada kekerasan dalam rumah tangga,” kata Wahidah.

Demokrasi, Akar Masalah

Banyak faktor penyebab maraknya kasus kekerasan seksual di negeri ini. diantaranya adalah maraknya konten pornografi. Sekalipun pemerintah sudah memblokir konten – konten porno dan memberlakukan UU ITE, namun hal itu tidak efektif membasmi pornografi. Terjadinya kekerasan seksual pada anak tidak hanya terjadi karena ada dorongan seksual dari dalam diri orang tersebut.0 Rata-rata, orang yang melakukan kejahatan seksual juga terjadi karena faktor pendukung seperti minum-minuman keras dan narkoba.

Di banyak kasus pelaku kejahatan dalam melakukan kejahatannya sedang dalam pengaruh minuman keras dan narkoba. Minuman keras masih di jual bebas di pasaran, pemerintah tidak serius untuk melarang peredaran minuman keras ini. Bahkan ada kepala pemerintahan daerah yang membolehkan penjualan minuman keras. Belum lagi pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita menjadi pemandangan yang biasa saja di masyarakat, bagaimana wanita bebas mengumbar aurat nya. Tidak hanya itu, merebaknya video porno yang dapat diakses dengan mudah pun juga menjadi salah satu penyebab masalah ini. Belum lagi jika ada persoalan dalam rumah tangga pelaku, yang menyebabkan dirinya melampiaskan kepada orang lain.

Berdasarkan survei nasional sebanyak 2 dari 3 anak Indonesia berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan. Kasus kekerasan terhadap anak meliputi kekerasan seksual, kekerasan fisik maupun kekerasan emosional, tapi hampir 55 persennya adalah kekerasan seksual. Selain itu, faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Hukuman yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberi andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Hukuman bagi pelaku pun tidak ada efek jera, karena hukuman yang di berlakukan bagi pelaku kejahatan seksual paling lama hanya 12 tahun. Ya wajar saja kasus demi kasus kekerasan seksual mencuat di karenakan tidak adanya kontrol individu ,masyarakat, serta pemerintah dalam penjagaan nya terhadap rakyatnya. Dan yang paling fatal dari semua itu di karenakan pemerintah menerapkan sistem sekularisme dan liberalisme. Pemerintah tidak menerapkan syariat Islam pada rakyatnya, padahal mayoritas rakyatnya muslim.

Berbagai faktor penyebab masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak ini menunjukkan adanya kegagalan sistemis dari sistem kapitalisme sekuler melindungi keluarga dan anak-anak. Kita butuh sistem kehidupan lain yang lebih melindungi, mengayomi dan meminimalkan kasus kekerasan, khususnya terhadap anak.

Kembali Kepada Islam

Islam menanamkan setiap individunya bertakwa pada Allah SWT, merasa takut akan azab Nya. Takwa menjadi pengendali pribadi, karena individu yang bertakwa senantiasa mengharapkan surga dan takut akan azab Allah SWT akan berusaha mengendalikan dirinya agar tidak melakukan tindakan kriminal. Masyarakat juga di kondisikan untuk tidak terbawa arus pergaulan bebas. Para wanitanya di wajibkan menutup auratnya dan menjaga kehormatannya.

Karena itu, selama solusi yang diberikan bukanlah solusi fundamental yang mampu menyelesaikan masalah sampai ke akarnya, maka tetap saja kejahatan ini akan terus berlangsung tanpa henti.

Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mendorong setiap individu warga negara untuk taat terhadap aturan Allah SWT. Negara juga mengharuskan penanaman akidah Islam pada diri setiap individu melalui pendidikan formal maupun nonformal melalui beragam sarana dan institusi yang dimiliki negara.

Negara akan memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku kekerasan maupun kejahatan terhadap anak, baik fisik maupun seksual. Di mana sanksi tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain. Maka, seharusnya negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utamanya yaitu penerapan ekonomi kapitalis, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi. Masyarakat juga mesti meminta negara menerapkan Islam secara kafah dalam institusi Khilafah.

Karena, secara keseluruhan sistem Islam (Khilafah) akan menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan terhadap anak dari berbagai faktor pemicu kekerasan terhadap anak, mengunci pintu munculnya kekerasan anak, memberikan hak anak sesuai fitrah tanpa mengeksploitasi. Dengan hukuman seperti ini, pastilah akan menimbulkan efek jera kepada pelaku sehingga tidak akan berani untuk kembali melakukan tindakan kejahatan, sekaligus menjadi pencegah bagi orang-orang lain yang akan berbuat.

Alhasil, penanganan kasus kekerasan seksual ini hanya bisa diselesaikan oleh Islam. Maka, aturan Islam yang lengkap tidak hanya dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual saja, tetapi juga seluruh masalah yang menimpa seluruh umat. Ini hanya akan terwujud jika Islam diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Penulis: Risnawati, STP (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Editor: H5P

Komentar