Hari Guru Sedunia, Guru Belum Sejahtera

Risnawati, STP (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

TEGAS.CO.,JAKARTA., – Dihimpun dari kalderaNews.com  setiap 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru sedunia atau World Teacher’s Day. Di Indonesia juga ada perayaan khusus Hari Guru Nasional tiap 25 November. Dan ternyata, negara-negara juga memiliki perayaan khusus bagi para guru. Misal, di Amerika Serikat yang jatuh pada minggu pertama Mei, Argentina pada 11 September, Hong Kong pada 10 September, dan Korea Selatan pada 15 Mei. Sementara, Indonesia setiap 25 November yang bertepatan dengan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Hari Guru Sedunia bermula pada 5 Oktober 1994. Saat itu, UNESCO dan International Labour Organization (ILO) atau organisasi buruh internasional menggelar konferensi di Paris, Perancis. Konferensi itu merekomendasi status guru yang disebut Recommendations Concering the Status of Teachers. Pada saat itulah ditetapkan World Teacher’s Day.

Pada 2021 ini, Hari Guru Sedunia mengangkat tema “Teachers at the heart of education recovery”. Di tengah pandemi Covid-19, guru menjadi “jantung” dari pemulihan kondisi pendidikan yang ikut terpuruk. Guru mesti menjadi motor penggerak pemulihan kembali suasana sekolah yang sepi selama pandemi.

 

Guru Dalam Sistem Kapitalis

Sesungguhnya penghormatan yang diberikan karena jasa para guru yang begitu besar demi kemajuan bangsa harusnya menjadi perhatian. Pasalnya, guru adalah orang tua kedua bagi anak bangsa yang bersekolah. Perjuangan mereka dalam mendidik pun luar biasa. Di masa pandemi sekolah mewajibkan pelaksanaan pengajaran dengan daring meski saat ini sudah diterapkan kembali kebijakan pendidikan tatap muka (PTM), namun persoalan kesejahteraan dan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan. Sayangnya, jasa dan kesejahteraan para guru masih belum menjadi fokus perhatian oleh pemerintah. Mereka diabaikan, kesejahteraan mereka dilupakan, jasa mereka seakan tak berarti apa-apa untuk negeri ini.

Setelah sebelumnya, para guru ini telah datang dari berbagai daerah di Indonesia demi menagih janji kesejahteraan untuk guru honorer dari presiden, Joko Widodo sejak 1 Juni 2014. Berarti sudah tujuh tahun berlalu, para guru honorer ini mengharap ada perubahan untuk kehidupan mereka menjadi sejahtera, meski baru saja dilaksanakan penerimaan PPPK tenaga honorer untuk mendapatkan penghasilan yang layak, bila mereka sudah berusia lebih dari 35 tahun. Namun, tetap saja solusi itu bukan penunaian janji presiden yang dengan jelas berjanji akan mengangkat guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Padahal mereka telah mengabdi mengajar selama puluhan tahun. Begitu pula dengan naiknya gaji tidak lantas membuat guru sejahtera.

Hal ini kesejahteraan tidak bisa dipandang hanya dari aspek gaji. Karena kesejahteraan ini erat kaitannya dengan makro ekonomi yang ada di negeri ini. Secara realitasnya, dengan kenaikan gaji itu sering berkejaran dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, diikuti pula dengan inflasi yang cukup tinggi. Meski kita perlu  mengapresiasi kenaikan guru honorer menjadi PPPK merupakan langkah yang baik. Tetapi kalau melihat kesejahteraannya memang berkaitan dengan makro ekonomi secara luas. Butuh peran Negara secara totalitas.

Alhasil, sepertinya sangat sulit menghadirkan kesejahteraan bagi guru honorer dalam sistem kapitalisme sekuler. Alasan pun yang berulang kali muncul akan kembali diberikan. Mulai dari tawaran cara lain yang bisa ditempuh guru honorer agar bisa menjadi pegawai negeri sampai alasan bahwa gaji guru honorer bukan tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Alasan lainnya, bahwa APBN sudah banyak mengalokasikan dana untuk pendidikan hingga 20%, tetapi kenyataannya tetap tidak mampu membiayai gaji seluruh guru di negeri ini. ini menunjukkan pula, bahwa dengan pengelolaan negara dengan sistem sekuler dan memakai sistem ekonomi kapitalis, tidak mampu menghormati guru. Tidak mampu melihat terhormatnya profesi guru yang menjadi ujung tombak pencetak Sumber Daya Manusia Indonesia di masa yang akan datang.

 

Guru Sejahtera Dalam Islam

Sangat kontras sekali dengan bagaimana Islam mendudukkan profesi guru. Sebagai orang yang berilmu, dalam al-qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11, Allah Swt. meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu daripada yang lain.

Dalam Islam guru adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah Swt. Dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga guru cerdas secara spiritual yakni memiliki kepribadian Islam.

Karena itu, perhatian negara kepada para guru tidak berhenti pada pribadi sang Guru, tetapi juga kepada keluarganya dan anak-anaknya. Untuk menjamin kesejahteraan guru di zaman Khilafah, gaji besar bagi guru bukanlah suatu masalah. Tidaklah mengherankan para Khalifah sangat memuliakan guru. Para Khalifah berpesan kepada anak-anaknya, bahwa seorang Khalifah sekalipun, di depan seorang guru dia adalah orang yang hina. Kecintaan dan penghormatan mereka ditunjukkan dengan sering berkunjungnya para Khalifah dan anak-anaknya untuk sekadar meminta nasihat dan petunjuk akan suatu masalah.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madihah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).

Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Sungguh luar biasa, dalam sistem Islam para guru terjamin kesejahteraannya. Mereka bisa memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa harus dipusingkan lagi untuk membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan. Tidak hanya itu, negara juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya.

Walhasil, kesejahteraan guru tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.  Karena hanya sistem Islam lah, kesejahteraan dan rahmatan lil alamin segera terwujud nyata, inilah new normal life. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Risnawati, STP (Pegiat Opini Muslimah Kolaka)

Editor: H5P

 

Komentar