TEGAS.CO., NUSANTARA – Balada impor garam Indonesia kembali terjadi. Pemerintah melalui Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menyepakati alokasi impor garam industri sebanyak 3,07 juta ton dengan angka kebutuhan garam nasional tahun 2021 mencapai 4,6 juta ton. Sebanyak 1,5 juta ton garam akan dipenuhi dari produksi lokal dengan rincian sebesar 1,2 juta ton diperoleh dari industri besar pengolahan garam dan 300 ribu dari Industri Kecil Menengah (IKM) (cnnindonesia.com, 24/9/2021).
Ada pun realisasi impor yang dicatat oleh Kementerian Perdagangan telah terealisasi per 28 September 2021 oleh importir garam industri telah mencapai 1,8 juta ton atau sekitar 60 persen dari total alokasi yang diterbitkan pada tahun 2021 sebesar 3.077.901 ton. (kontan.co.id, 1/10/2021). Angka ini terus meningkat, tahun sebelumnya tahun 2020 tercatat hanya sebesar 2,61 juta ton dengan nilai mencapai US$ 94,56 juta (bps.go.id, 19/7/2021).
Peningkatan impor ini diklaim pemerintah dengan tiga alasan yaitu pertama, karena tak mencukupinya kebutuhan garam nasional, kedua, kualitas garam lokal yang dianggap tidak memenuhi standar industri dan ketiga, stok garam petani lokal untuk industri masih rendah (kompas.com, 27/09/2021).
Pernyataan ini ditanggapi oleh Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Indonesia, Muhammad Hasan mengatakan kebijakan pemerintah mengimpor 3,07 juta ton tersebut berlebihan “Kebutuhan impor 3,07 juta ton ini terlalu berlebihan. Jadi tanpa memperhitungkan kebutuhan data nasional yang kurang 3,2 juta ton lah. Jadi ada kelebihan sekitar 500 sampai 600 ribu ton”, pungkasnya (detiknews.com, 27/09/2021). Sedari awal Hasan mengingatkan bahwa impor garam dengan alasan kualitas garam rakyat rendah hanyalah pembenaran bagi importer. Stok garam rakyat tahun lalu sebanyak 1,3 juta ton dan stok garam perusahaan pengolah garam yang diimpor tahun 2020 masih menumpuk. (kompas.com, 26/03/2021)
Nilai impor garam dari tahun ke tahun yang semakin meningkat sangatlah berlawanan dengan cita-cita swasembada garam yang mulai digaungkan pemerintah di tahun 2015 lalu. Bisa jadi target swasembada garam hanya impian semata.
Untuk itu perlu, perbaikan secara menyeluruh yang meliputi sektor hulu sampai ke hilir. Menurut Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam memaparkan perlunya pemerintah mendorong peningkatan kualitas garam produksi dalam negeri dengan perbaikan metode produksi serta penerapan teknologi baik di lahan maupun di industri pengolah garam. Sehingga garam lokal memiliki perbaikan kuantitas, kualitas, kontinuitas pasokan dan kepastian harga bagi industri (kompas.com, 15/03/2021).
Dengan begitu diharapkan kualitas dan kuantitas produksi garam lokal dapat meningkat. Apalagi potensi sebagai negara maritim masih dimiliki oleh Indonesia dengan luas garis pantai sebesar 95.181 km dan sebanyak 71 persen wilayahnya adalah lautan dengan sinar matahari bersinar sepanjang tahun serta memiliki SDM melimpah. Dengan potensi sebesar itu, target swasembada garam harusnya mampu diwujudkan sedari dulu. Sayangnya, negara sebagai pemegang segala kebijakan belum mampu memalingkan dari keberpihakannya kepada oligarki kekuasaan. Wajar saja, tiap kali keran impor garam dibuka, petambak garam menjerit.
Untuk itu, perlu peran negara dan pemerintah agar dapat bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat, mulai dari merencanakan (produksi-distribusi-konsumsi) hingga merealisasikan yaitu terpenuhinya hajat rakyat dan keberlangsungan usaha petambak garam. Sebagaimana dalam Hadis Nabi SAW dinyatakan bahwa :“Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” HR. Ahmad, Bukhari).
Menurut Pengamat Kebijakan Publik Emilda Tanjung, M. Si., ada beberapa hal yang mestinya diperbaiki yaitu pertama, dalam hal produksi, negara harus memaksimalkan potensi sumber daya alam dengan mendukung para petambak dengan memaksimalkan edukasi dan pelatihan, dukungan sarana produksi serta infrastruktur penunjang.
Dalam hal distribusi negara mesti menciptakan pasar yang sehat dan kondusif serta menghilangkan penyebab distorsi pasar, sedangkan pada konsumsi, negara mesti menjamin penyediaan bahan makanan halal dan thayyib.
Kedua, institusi teknis yang menjadi perpanjangan tugas negara atau BUMN wajib mengedepankan fungsi layanan. Ketiga, edukasi dan sanksi yang berefek jera kepada pelaku kejahatan pangan termasuk pelaku kartel dan keempat, anggaran yang berbasis Baitumal (muslimahnews.com, 31/03/2021). Solusi tersebut akan berjalan baik jikalau ada perbaikan sistem yang menyeluruh di negeri ini, sehingga cita-cita swasembada garam tercapai dan kesejahteraan masyarakat terwujud. Wallahu A’lam.
Oleh: Zuharmi. H, S. Si (Pemerhati Sosial)
Editor: H5P
Komentar