TEGAS.CO,. JAKARTA – Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa dalam hal ini kepala desa (Kades). Data tersebut menunjukan bahwa praktik korupsi marak dilakukan oleh perangkat desa atau Kades setelah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pihak swasta.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI), Alexander Marwata, berpendapat kepala desa yang terjerat perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) dapat bebas dengan mengembalikan uang yang dikorupsi bernilai kecil tanpa harus lewat putusan pengadilan. Langkah itu dapat dilakukan jika uang yang dikorupsi tidak bernilai besar, lebih tepatnya Kades tersebut dapat dipecat berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat.
“Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede,” Kata Alex di Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Rabu (1/12).
“Artinya apa? Enggak efektif, enggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh. Ya sudah suruh kembalikan, ya, kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya,” sambungnya.
Alex mengatakan pemecatan Kades yang terbukti melakukan Tipikor bisa menimbulkan efek jera bagi kepala desa lainnya. Ia menjelaskan tolok ukur keberhasilan memberantas korupsi bukan dengan ukuran berapa banyak orang yang dipenjara.
“Kita sudah sepakat bahwa kalau menyangkut kerugian negara, kerugian daerah, kerugian keuangan desa, ya, bagaimana semaksimal mungkin uang itu bisa kembali ke kas daerah, kas negara, kas desa. Itu saya kira lebih efektif dibanding kita memenjarakan orang. Lah dia punya istri, istrinya enggak kerja, anaknya tiga, bisa bubar semua,” ujarnya
“Ini menjadi PR kita bersama dan desa antikorupsi ini tidak semata-mata menyangkut aparat desanya tetapi juga masyarakatnya,” tandasnya.
Laporan: FAISAL
Editor: Redaksi
Komentar