Bandara Sepi dan Utang Bengkak, Apa Solusinya?

Fhya N (Aktivis Dakwah Kampus)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Pembangunan infrastruktur pada dasarnya hanya menambah beban negara. Alih-alih terbilang berhasil, pembangunan itu justru membawa negara ke jurang kerugian. Selama ini banyak proyek pembangunan yang tidak tepat sasaran.

Bukannya memberikan laba, malah menambah beban bagi anggaran daerah ataupun anggaran negara. Contohnya KA ke Bandara Soetta yang sepi penumpang dan LRT di Palembang. Keduanya ternyata membebani APBN dan APBD. Semua ini telah membelalakkan mata kita bahwa janji keuntungan dari pembangunan infrastruktur ternyata nol belaka.

Iklan Pemkot Baubau

Selain itu, dapat dilihat dari kumparanBisnis Pengelolaan sejumlah bandara baru yang sepi penumpang, jadi salah satu penyebab membengkaknya utang BUMN. Contohnya adalah Bandara Baru Yogyakarta (YIA). Imbas dari membengkaknya biaya operasional bandara baru yang sepi penumpang ini, memiliki beban utang mencapai Rp 35 triliun. Utang itu bahkan bisa bengkak jadi Rp 38 triliun.

Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan kondisinya memang berat, dengan utang Rp 35 triliun dan rate loss(kerugian rata-rata) per bulan Rp 200 miliar. Kalau tidak direstrukturisasi, setelah pandemi utangnya bisa mencapai Rp 38 triliun, lanjut dia, beban utang membengkak karena menanggung biaya operasional yang tinggi dari sejumlah bandara baru. Sementara di tengah situasi pandemi, jumlah penumpang pesawat udara jauh menurun.

Konsep seperti ini tidak lepas dari prinsip kapitalistik yang berorientasi pada keuntungan semata. Berguna atau tidak infrastruktur yang ada, yang penting ada keuntungan di sana.

Utang Bengkak Ulah Siapa ?

Pembangunan infrastruktur berupa bandara memang cepat, boleh jadi mengalami perkembangan pesat. Namun, akibat ambisi tersebut, utang Indonesia membengkak, beban APBN kian berat, dan ada beberapa proyek mubazir.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35% dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Beban APBN makin bertambah tatkala proyek infrastruktur mangkrak dan membengkak.

Lantas, apa jadinya bila ambisi pembangunan infrastruktur justru membuat negeri ini babak belur dengan utang? Setiap proyek infrastruktur pasti berasal dari dua sumber pendanaan investasi, yaitu dengan modal dan utang.

Padahal, jauh-jauh hari sudah banyak kalangan mengingatkan terkait pembangunan infrastruktur yang jor-joran. Mereka menyebut banyak proyek mubazir, tak sesuai kebutuhan, pun tak sinkron dengan pembangunan di daerah.

Bandara Kualanamu di Medan, Sumatra Utara; atau Bandara Kertajati, misalnya, yang mangkrak hingga ada usulan menjadikannya bengkel pesawat.
Oleh karena itu, membanggakan pembangunan infrastruktur dari hasil gesek sana gesek sini, rasanya kurang tepat. Karena proyek itu tak bermanfaat bagi semua rakyat. Hanya mereka yang berkantong tebal atau para kapitalis yang mampu menikmatinya.

Pemerintah juga banyak melakukan divestasi saham proyek infrastruktur ke swasta. Banyak bandara yang dananya dari utang, malah terjual kepada swasta demi menutupi utang BUMN.

Apakah model infrastruktur seperti ini patut mendapat apresiasi? Yakni melakukan jual beli proyek hanya demi prestise dan ambisi perekonomian yang tidak banyak mengubah kehidupan masyarakat yang belum sejahtera. Mungkin prestasi yang mereka maksud adalah keberhasilan Pemerintah mewariskan utang menggunung kepada rakyat.

Siapa yang bakal menanggung utang bejibun itu? Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban ambisi kekuasaan. Gali lubang dengan utang, pajak rakyat siap menutup lubang utang. Begitu terus tak ada habisnya.

Islam Solusinya

Prinsip ini sangat berbeda dengan Islam. Sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna, Islam juga mengatur masalah pembangunan infrastruktur. Negara Islam (Khilafah) yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah akan melarang pembangunan ala kapitalistik. Tidak boleh meraup keuntungan dari pembangunan sarana umum Karena hal itu adalah kewajiban negara.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur haruslah memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat. Sebab, infrastruktur adalah salah satu kewajiban negara dalam menyediakan fasilitas publik yang bisa terakses semua warga negara.

Jauh sebelum peradaban Barat mendominasi, Islam sudah membangun infrastruktur mutakhir pada masanya. Pada masa kekhalifahan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan pesat.

Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Negara akan memodali secara penuh pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dananya berasal dari kas Baitulmal yang terdiri dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang.
Melihat karut-marut pengelolaan pembangunan dalam kapitalisme, masihkah kita ingin mempertahankannya? Oleh karenanya, jika kita ingin keluar dari masalah ini, hanya sistem Islam yang memiliki penawarnya.

Sistem itu ialah pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menjalankan pembangunan sebagaimana mestinya, sehingga semua orang dapat merasakan fasilitas itu, bukan segelintir saja. Waullahualam.

Penulis: Fhya N (Aktivis Dakwah Kampus)

Editor/Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar