Erupsi Semeru dan Buruknya Sistem Mitigasi

Erupsi Semeru dan Buruknya Sistem Mitigasi. foto: istimewa

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Baru-baru ini Indonesia kembali dilanda bencana, dimana gunung tertinggi di pulau yang terletak di perbatasan Kabupaten Lalang dan Lumajang, Jawa Timur, meletus, gunung tersebut erupsi, mengeluarkan guguran awan panas pada sabtu sekitar pukul 15:00 wib (4/12/2021). Guguran tersebut mengarah ke Besuk Kobokan, Desa Supit Utang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (06/12) pukul 20.15 WIB, setidaknya 22 orang tewas, sementara 22 orang dinyatakan hilang dan 56 lainnya mengalami luka-luka. Erupsi juga berdampak terhadap 5.205 jiwa. (bbc.com, 07/12/2021)

Situasi ini juga disampaaikan warganet dimedia sosial, yang dimana warga panik, berhamburan keluar rumah untuk menghindari hujan abu vulkanik, jembatan ambruk, rumah rusak, dan banyak hewan ternak tidak terselamatkan. Juga terlihat seorang anak kecil yang berlarian dalam suasana sekitar yang cukup gelap tertutupi oleh awan panas dari erupsi gunung tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, apa tidak ada peringatan sebelumnya? Apa tidak diberlakukan early warning system dalam saat-saat darurat seperti ini? Padahal early warning system sangat penting dan diperlukan untuk menunjang mitigasi bencana demi keselamatan warga sekitar.

Sementara itu Wigyo Ketua DPW KAWALI Jawa-timur menyampaikan Early warning system harus selalu aktif dan tersedia di setiap daerah yang rawan bencana seperti di desa sekitar gunung berapi. Sebagai sensor yang dipasang di dekat seismometer yang akan berbunyi sebagai informasi bahwa ada peningkatan aktivitas/pergerakan besar gunung berapi.

“Namun pada kejadian erupsi Gunung Semeru ini diketahui bahwa tidak ada peringatan/pemberitahuan dini sebelumnya, maka sangat bahaya sekali bagi masyarakat sekitar. Sedangkan penjelasan dari Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Eko Lelono menyebutkan bahwa pada sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf, tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB ketika masyarakat berhamburan panik saat erupsi terjadi,” Ungkap Wigyo (porosnews.com, 05/12/2021).

“Dalam hal ini BMKG yang memiliki peranan untuk menyampaikan informasi dan peringatan dini kepada instansi, pihak terkait, dan masyarakat berkenaan dengan bencana akibat faktor geofisika pun dapat dikatakan gagal menjalani perananannya. Kegagalan sistem mitigasi bencana ini harus mendapat perhatian dari pemerintah pusat karena ini menyangkut nyawa dan keselamatan masyarakat,” Ungkap Fati dalam rilisnya yang diterima Redaksi, 5 Desember 2021.

Pemerintah memang menklaim telah melakukan peringatan dini melalui pengumuman status Semeru pada level waspada, serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mengetahui adanya tanda-tanda erupsi. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menjelaskan, proses mitigasi dan sistem peringatan dini (early warning system) saat akan terjadi awan panas guguran Gunung Semeru sudah berjalan. (kompas.com,05/12/2021) . Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah sosialisasinya kepada masyarakat karena ternyata banyak warga yang tidak mengetahui peringatan tersebut.

Namun buruknya mitigasi bukan terjadi pada kali ini saja, tapi hampir setiap bencana selalu banyak menelan korban jiwa. Faktor utamanya adalah lagi dan lagi karena penguasa lalai dalam setiap penanganan bencana. Sehingga akibat buruknya sistem mitigasi ini jangankan harta benda, nyawapun banyak yang tidak terselamatkan, puluhan korban jiwa, korban luka bakar serius, dan banyaknya korban yang belum ditemukan, menjadi cerita yang kembali berulang saat terjadi bencana.

Oleh karena itu, jika penguasa benar-benar memperhatikan rakyat, mereka tidak akan lalai mengenai mitigasi. Sebab, ini menyangkut nyawa rakyatnya dan bukan hanya itu saja saat bencana terjadi ketidaksiapan penguasa dalam menyediakan tempat pengungsian yang layak selalu menjadi sorotan, kebutuhan pangan yang tersaji juga hanya sedikit. Sehingga banyak berebutan makanan demi bertahan hidup. Kebutuhan air bersih untuk aktivitas harian para pengungsi pun masih belum tertangani dengan baik. Tak bisa dibayangkan betapa sengsaranya para pengungsi bencana. Begitulah sistem demokrasi kapitalistik, selalu saja memproduksi penguasa yang lalai dari mengurusi ummat.

Dalam Islam, negara adalah pihak sentral yang berkewajiban mengurusi umat, termasuk mitigasi bencana. Negara tidak boleh abai, apalagi menyerahkannya pada swasta. Dengan demikian, bantuan masyarakat akan sesuai dengan arahan pemerintah dan semua pihak dapat bersinergi menyelesaikan permasalahan bencana.

Selain itu, Islam memandang bahwa mitigasi bencana bukan hanya mengurangi resiko bencana. Tapi, lebih dari itu mitigasi adalah mekanisme negara dalam jiwa dari bencana alam. Hal ini karena syariat Islam senantiasa menjaga agama, akal, harta, termasuk jiwa. Mitigasi juga menjadi tanggungjawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinan. Yakni sebagai pengurus (rain) dan penjaga (junnah) umat yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Sedangkan aktivitas menolong yang bisa dan biasa masyarakat lakukan secara swadaya merupakan kebaikan yang agama anjurkan.

Oleh karena itu negara harus memperhatikan pengurusannya termasuk teknologi dan pendanaan untuk keberhasilan mitigasi bencana. Bencana memang ketetapan Allah, tetapi mitigasi harus berjalan untuk menghindarkan manusia dari kerusakan parah, baik harta maupun jiwa.

Penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana. Sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Diantaranya menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau yang bisa mengundang azab Allah, seperti zina, riba dan lain-lain.

Di tempat lain khususnya yang rawan bencana harus ada kebijakan yang lebih khusus. Tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga manajemen kebencanaan yang lebih sistemis dan terpadu. Seperti sistem peringatan dini, sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatanyang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan; termasuk di dalamnya, pemerintah harus menerapkan kebijakan tata ruang, tata wilayah, dan pembangunan infrastruktur yang berbasis kelestarian dan ketahanan lingkungan.

Juga tak kalah penting adalah kesiapan penguasa menerapkan kebijakan pendidikan berbasis akidah sehingga terwujud masyarakat taat syariat. Masyarakat seperti ini akan siap menjaga alam semesta sesuai kehendak Sang Pencipta, sekaligus memiliki pemahaman soal kebencanaan. Sehingga ketika terjadi bencana mereka akan mampu mengendalikan rasa trauma, depresi dan dampak psikologis lainnya, karena paham semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dan Allah SWT memerintahkan manusia untuk bersabar dan ikhlas atas segala yang terjadi.

Hanya saja, kondisi ideal seperti ini memang akan sulit terwujud dalam sistem sekarang. Karena paradigma kapitalistik sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam). Alih-alih maksimal menjauhkan dan atau menolong rakyat dari kebinasaan, kekuasaan oligarki yang tegak hari ini justru menjadi salah satu penyebab bencana terjadi berkepanjangan.

Untuk itu hanya dengan penerapan sistem Islamlah yang mampu menyelesaikan problema kebencanaan dan memberikan solusi yang mendasar dan menyeluruh. Solusi yang tidak hanya menyelamatkan kita dari bencana di dunia, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat. Maka pilihan terakhir ada pada kita, tetap mengambil kapitalisme yang merusak atau menggantinya dengan Islam yang membawa rahmat.

Wallahu a’lam.

Penulis : Ulfiah

Publisher: Yusrif

Komentar