Penegak Hukum Harus Tinjau Aspek Celah Hukum Pengadaan Kapal dan Mesin Kapal

Rusdianto Samawa, Salasatu Pendiri LBH Nelayan Indonesia

TEGAS.CO,. NASIONAL – Tulisan ini mereview celah pelanggaran hukum pada pengadaan kapal perikanan tahun 2017 di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pada 9 Desember 2018 lalu, dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi dan Hak Asasi Manusia sedunia, Front Nelayan Indonesia bersama LBH Nelayan Indonesia pernah audiensi ke Kejagung dan hasilnya ada lampu hijau akan segera menetapkan tersangka atas pengadaan kapal pada 2016, 2017 dan 2018.

Maka ada baiknya melalui tulisan ini, Kejaksaan Agung dan Lembaga penegak hukum lainnya, pertimbangkan untuk melanjutkan perkara dugaan korupsi pengadaan kapal tahun 2016 – 2018 itu.

Pengadaan kapal perikanan tahun: 2016, 2017 dan 2018, menuai banyak kritik dan penuh dugaan korupsi. Pasalnya, pengadaan kapal banyak sekali yang tidak tepat sasaran dan terjadi disclaimers dalam perhitungan anggaran APBN 2016 – 2018 lalu.

Pengadaan kapal tangkap ikan di 2018 saja terdiri: Pertama, kapal < 5 GT sebanyak 300 unit; Kedua, kapal 5 GT sebanyak 100 unit; Ketiga, kapal 20 GT sebanyak 60 unit; Keempat, kapal Pengangkut Ikan 28 GT sebanyak 24 unit; Kelima, kapal Pengangkut Ikan 60 GT sebanyak 12 unit; Keenam, kapal Pengangkut Ikan 120 GT (Multi Years Contract TA 2018 (30%) dan TA 2019 (70%); Ketujuh, Lanjutan pembangunan kapal penangkap ikan 120 GT (Multi Years Contract) sebanyak 3 unit; Kedelapan, Lanjutan pembangunan kapal pengangkut ikan 100 GT (Multi Years Contract) sebanyak 3 unit.

Catatan penting lagi, pengadaan kapal Pengangkut Ikan 120 GT dan 100 GT melalui tahapan Multi Years Contract Tahun Aanggaran 2018 sebesar 30% dan tahun anggaran 2019 sebesar 70% merupakan perubahan skema anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi Multi Years Contract (MYC) yang di lakukan KKP dalam beberapa program yang dijalankan. Hal ini dilakukan setelah program pengadaan kapal tahun 2016 dan 2017 ini mengalami kegagalan.

Waktu itu, skema perubahan anggaran Multi Years Contract (MYC) pun belum ada kesepakatan antara KKP dengan DPR untuk kelanjutan program pengadaan kapal. KKP nampaknya begitu mudah merubah mekanisme penganggaran programnya tanpa ada persetujuan DPR.

Perubahan mekanisme penganggaran tersebut menabrak kelaziman sistem penganggaran yang ada sebagaimana yang atur oleh Kementerian Keuangan RI. Pasalnya skema Multi Years Contract (MYC) harus direncanakan dan diputuskan saat pembahasan RAPBN tahun 2017 – 2018 bersama DPR, terutama komisi IV waktu itu.

Walaupun argumentasi KKP jelaskan skema Multi Years Contract (MYC) kegiatan prioritas yang berdasarkan kajian teknis pelaksanaan pekerjaan lebih dari satu anggaran, yaitu pembangunan sentra perikanan nasional (National Fisheries Center – NFC) Muara Baru, Kapal angkut 100 GT, Kapal penangkap ikan 120 GT, Pasar ikan modern Muara Baru, Pusat Riset PIAMARI dan MIAMARI.

KKP RI menganggap hal itu mengacu pada peraturan Menteri Keuangan No. 238 Tahun 2015 tentang tata cara pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Multi Years Contract (MYC) dalam pengadaan barang / jasa pemerintah kepada menteri keuangan.

Pengusulan Multi Years Contract (MYC) tersebut diklaim telah dilengkapi dengan kajian teknis serta surat rekomendasi bahwa Multi Years Contract (MYC) perlu dilakukan pada tahun jamak (lebih dari satu tahun anggaran).

Dalam proses penerbitan persetujuan Multi Years Contract (MYC), telah melalui mekanisme pembahasan / penelaahan dengan Ditjen Anggaran, Kemenkeu.

Tahun 2017 lalu, telah terbit surat persetujuan Multi Years Contract (MYC) dari Menkeu No. S-137/MK.2/2017 tanggal 31 Agustus 2017 untuk kegiatan pembangunan NFC, Kapal Penangkap Ikan 120 GT dan Kapal angkut 100 GT, sedangkan untuk kegiatan yang lain diperkirakan akan terbit pada minggu ke-3 Oktober 2017 yang lalu.

Sebagaimana diungkapkan dalam BPK LHP – LK Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 tentang catatan B.4 atas Laporan Keuangan, KKP RI melaporkan realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 sebesar Rp. 4.499.681.414.60 4,00. Realisasi belanja tersebut diantaraya sebesar Rp. 209.227.547. 845,00 berupa pembayaran pembangunan kapal perikanan untuk diserahkan kepada masyarakat. Pembayaran tersebut telah dilaksanakan 100% atas fisik pekerjaan kapal yang belum diselesaikan 100%.

Berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) per 31 Desember 2016, kapal yang telah diserahkan dari Galangan ke Koperasi penerima, sebanyak 48 kapal dari 756 kapal yang telah direalisasikan 100% pembayarannya.

BPK tidak dapat peroleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang kewajaran nilai tersebut. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut diatas.

Sementara, dalam Catatan C.6 atas Laporan Keuangan, KKP RI menyajikan piutang netto per 31 Desember 2016 sebesar Rp 3.640.225.183,00. Dari nilai tersebut masih terdapat transaksi di tahun 2016 yang berdampak pada penyajian anggaran dan belum disajikan dalam laporan keuangan. Transaksi tersebut berasal dari pekerjaan pembangunan kapal perikanan.

BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat terkait besaran progres pekerjaan untuk menetapkan Bank Garansi yang seharusnya dijadikan sebagai dasar penyajian piutang dalam laporan keuangan. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut diatas.

Begitu juga dalam catatan C.10 atas Laporan Keuangan, KKP RI melaporkan persediaan per 31 Desember 2016 sebesar Rp. 854.140.342.585.00. Saldo persediaan tersebut sebesar Rp. 367.377.029.467.00 merupakan saldo persediaan pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang sebesar Rp. 308.503.750.296,00 berupa 12 kapal perikanan sebesar Rp. 4.613.716.152,00, 684 unit kapal perikanan dalam proses sebesar Rp. 204.538.754.929, 00 dan 834 unit mesin kapal perikanan sebesar Rp. 99.351.27 9.215,00.

Atas persediaan kapal perikanan, KKP RI mencatat persediaan kapal berdasarkan pembayaran 100% fisik pekerjaan kapal yang belum di selesaikan 100%. Atas persediaan mesin kapal perikanan, sebanyak 467 unit berada di lokasi galangan, diantaranya 391 unit tanpa berita acara penitipan.

BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut di atas per 31 Desember 2016. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut diatas.

Dalam catatan C.11 atas Laporan Keuangan, KKP RI menyajikan nilai aset tetap tanah per 31 Desember 2016 sebesar Rp. 2.206.142.213.572,00. Dari nilai tersebut, terdapat aset tetap tanah seluas +/-469.870 m2 terletak di Kabupaten Sidoarjo yang berasal dari perjanjian ruislag tanah yang belum dicatat, disajikan, dan diungkapkan dalam Neraca per 31 Desember 2016.

BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang aset tanah tersebut di atas, posisi per 31 Desember 2016, karena tidak tersedia data dan informasi pada satuan kerja terkait. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut diatas.

Begitupun dalam catatan C.16 atas Laporan Keuangan, KKP RI menyajikan aset tetap konstruksi dalam pengerjaan per 31 Desember 2016 sebesar Rp. 471.823.686.758,00. Dari nilai tersebut, sebesar Rp. 20.700.000.00 0,00 merupakan realisasi pembelian tahap pertama atas tanah milik PT Pertamina. Sedangkan pembayaran tahap kedua tidak direalisasikan karena terkendala pengosongan lahan. Atas realisasi pembayaran tahap pertama tersebut, KKP RI belum menerima haknya.

Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat sebanyak 272 unit Konstruksi Dalam Pekerjaan (KDP) yang memiliki nilai negatif dengan total nilai sebesar Rp. 76.708.657.407,00. BPK tidak dapat memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang nilai tersebut di atas per 31 Desember 2016. Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut di atas.

Kalau dasar normatif yang sama juga digunakan untuk pengadaan kapal tahun 2018 itu disesuaikan dengan: pertama, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan lndustri Perikanan Nasional; Kedua, Presiden Joko Widodo pada 13 Januari 2017 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan lndustri Perikanan Nasional;

Ketiga, Meningkatnya angka potensi perikanan tangkap yang semula 6,5 juta menjadi 9,9 juta ton per tahun; Keempat, Penertiban perizinan khususnya kapal-kapal markdown yang saat ini sedang diukur ulang; Kelima, Pemanfaatan tol Iaut untuk mengangkut hasiI-hasil penangkapan ikan; Keenam, Masih terdapat kebutuhan di lapangan untuk bantuan kapal nelayan di Provinsi Kepulauan dan daerah perbatasan;

Ketujuh, Untuk pengadaan kapal penangkap dan pengangkut > 30 GT: a) Mengisi kekosongan armada penangkapan ikan akibat ditinggal kapal – kapal asing; b) Pengelolaan oleh koperasi perikanan dengan off taker BUMN Perikanan untuk menjaga stabiiisasi harga dan menjamin kemampuan membeli hasil dari nelayan. c) Untuk daerah perbatasan yang rawan IUUF; d). kapal angkut untuk membawa ikan dari daerah terpencil masuk ke dalam rute tol Iaut.

Maka dasar itu juga akan mengalami kegagalan dalam pengadaan kapal. Karena tujuan dan dasar yang sama juga lakukan pengadaan kapal sebelumnya.

Pelaksanaan pembangunan kapal penangkap ikan tersebut yang bertujuan untuk: Pertama, Meningkatkan kemampuan jelajah operasi penangkapan ikan oleh nelayan hingga ke wilayah penangkapan ikan di ZEE dan Laut Lepas; Kedua, Mengurangi tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan di wilayah perairan pantai; Ketiga, Meningkatkan produksi, mutu hasil tangkapan dan produktivitas nelayan dengan menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan; Keempat, Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; Kelima, Meningkatkan daya saing nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya Ikan khususnya di perairan WPP NRI, ZEEI dan Laut Lepas.

Sementara khusus kapal berukuran 30 GT, maka pengelolaannya berdasarkan tujuan kebijakan itu sendiri: Pertama, Untuk mengisi kekosongan kapasitas Penangkapan lkan di Wilayah ZEE; Kedua, Dukungan terhadap Sentra Kelautan dan Perikanan di Wilayah perbatasan; Ketiga, Adanya tambahan penangkapan kuota tuna untuk Indonesia (CCSBT); Keempat, Mengatasi permasalahan ABK yang memiliki keahlian teknis dan yang bekerja di dalam maupun luar negeri; Kelima, Dukungan terhadap SLIN sesuai dengan pasal 6 PERMENKP No.5 Tahun 2015; Keenam, INPRES No.7 Tahun 2016 & Perpres 3 Tahun 2017 terkait Percepatan Pembangungan lndustri Perikanan Nasional;

Selama ini penerima bantuan kapal hanya orang-orang tertentu, dimana penyerahan bantuan kapal itu tidak tepat sasaran walaupun ada penyerahan resmi dan ada berita acaranya. Padahal syarat penerima bantuan itu sangat jelas, seperti: Pertama, Berbadan hukum koperasi; Kedua, Harus merupakan koperasi yang memiliki keiayakan modai dan usaha; Ketiga, Memiliki keahlian teknis di bidang penangkapan ikan; Keempat, Menguasai manajemen bisnis dan pemasaran; Kelima, Pernah operasikan Kapal > 70 GT.

Syarat penerima sangat jelas dengan latar belakang anggota koperasi dan nelayan. Namun, investigasi ke sentra-sentra penyerahan bantuan itu sangat tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan.

Kalau masih memakai paradigma lama sebagai rencana alokasi pengadaan kapal bantuan kurun waktu tahun 2016, 2017 dan 2018. Maka harus ada persiapan pembangunan kapal perikanan yang sesuai peruntukan dan syarat yaitu: pembentukan tim teknis, evaluasi desain dan penyusunan spesifikasi teknis, dan rencana seleksi koperasi penerima dengan melibatkan unsur konsultan maupun asosiasi dan partisipasi masyarakat.

Apalagi ada unsur koperasi penerima yang dialokasikan pengadaanya tahun 2017 itu di indikasikan banyak fiktif dan tidak terbangun karena gagal lelang maupun penyedia / galangan tidak selesai membangun maka di alokasikan kembali pengadaannya di tahun 2018. Ditambah, data atas daftar koperasi penerima kapal mayoritas fiktif.

Atas hal tersebut diatas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki jejak berbagai rentetan kasus korupsi, baik yang sudah terbukti maupun belum terungkap. Sehingga aparat penegak hukum, perlu bergerak cepat menyelidiki kembali kasus tersebut, secara tuntas.

Jadi penegak hukum harus menuntaskan dugaan kasus tersebut, dengan memanggil dan memeriksa siapapun yang terlibat dalam pengadaan kapal saat itu. Walaupun saat ini berjalan pelan tetapi aktor dibalik kasus tersebut belum terungkap. Berbagai nama yang muncul belum juga diproses secara fair. Kedepan, sangat berharap penegak hukum bekerja cepat menentukan posisi kasus tersebut.

Hasil pemeriksaan penyidik, unsur tindak pidana korupsi akan dianggap terpenuhi apabila dua alat bukti sudah bisa didapatkan. Sepanjang pemeriksaan saksi dan alat bukti tersebut sudah terpenuhi sehingga penengak hukum bisa menetapkan tersangkanya secara cepat. Penegak hukum, jangan terlalu lama menetapkan tersangka pengadaan kapal dan mesin kapal di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Walaupun kasusnya pada 2017 hingga 2018 yang lalu. Penegak hukum harus segera memeriksa para saksi dan gelar perkara dalam penetapan tersangka, terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi, pengadaan Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain itu, perlu juga penegak hukum menyelsaikan kasus yang progresnya cepat,.seperti kegiatan pengadaan mesin kapal perikanan sejumlah 1.445 unit dengan Pagu Anggaran sebesar Rp 271.409.030.000,- (dua ratus tujuh puluh satu milyar empat ratus sembilan juta tiga puluh ribu rupiah). Dimana terdapat 13 unit mesin kapal senilai Rp1.060.996.200,- terpasang pada kapal yang belum selesai pembangunannya dan berada di galangan tanpa kontrak di tahun 2017.

Akibat pembatalan kontrak kapal, masih terdapat 13 unit mesin kapal senilai Rp1.060.996.200,- yang ditahan pihak galangan di karenakan mesin tersebut sudah dipasang pada kapal yang sedang dalam tahap pembangunan meskipun kontraknya telah dilakukan addendum pengurangan atas mesin yang telah terpasang tersebut.

Namun pihak Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak membuat perikatan dengan pihak galangan di tahun 2017. Selain itu diduga ada markup harga dalam pengadaan mesin kapal perikanan pada saat proses e-Katalog.

Penegak hukum juga harus periksa semua yang terlibat dalam kasus tersebut, atas dugaan korupsi pengadaan mesin kapal tersebut. Penegak hukum, juga harus segera menetapkan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan mesin dan kapal.

Perkara dugaan korupsi pengadaan mesin kapal ini melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Salasatu Pendiri LBH Nelayan Indonesia

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar