Melantarkan Orang Tua, Bukti Kedurhakaan Anak

Opini1367 Dilihat
Nurfia (Aktivis Dakwah Kampus)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Fenomena anak menelantarkan dan menitipkan orang tua di panti jompo masih terus bergulir. Getir rasanya bagi orang tua karena tidak lagi mendapat kasih sayang anak-anaknya. Kisah pilu lansia yang “terbuang” seolah tidak berujung. Selalu terjadi dalam sistem kapitalisme.

Ada rasa membuncah, antara sedih dan marah menyatu dalam hati. Atas alasan apa menitipkan seorang ibu lansia di panti jompo? Kondisi fisik lemah tidak berdaya, hanya bisa menangisi diri karena anak-anaknya meninggalkannya.

Dilansir dari SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Seorang pria lanjut usia (lansia) akhirnya meninggal di salah satu lokasi dalam wilayah Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Keberadaan pria lansia yang sedang sakit ini diketahui berdasarkan laporan telepon yang diterima oleh Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKSK) Dinsos Aceh.

Selain itu dalam wawancara dengan tvOne (31/10/2021), ada seorang ibu bernama Trimah (65) yang dititipkan ke panti jompo Griya Lansia Husnul Khatimah, Malang, mengatakan alasan anaknya menitipkannya ke panti jompo karena mereka tidak mampu membiayai orang tua. Ia berharap hati anak-anaknya suatu saat terbuka untuk merawatnya.

Hal yang sama juga terjadi  di Nusa Tenggara Barat, seorang anak melaporkan ibu kandungnya ke polisi karena masalah motor. Namun laporan tersebut ditolak langsung oleh Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyo Suhartono.

Menanggapi hal ini, Sosiolog dari Uneversitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono mengatakan fenomena munculnya panti jompo dan perdebatan patut tidaknya menitipkan orang tua disana merupakan tanda dari suatu perubahan sosial, lanjut dia, ditambah dengan ikatan dari niliai-nilai agama, nilai-nilai tradisional bahwa orang tua itu terhubung dengan Tuhan secara langsung, maka berdosa ketika melantarkan orang tua.

Adanya kasus di atas menunjukkan pada kita, bahwa sistem sekuler menjadikan interaksi dalam keluarga hanya sebatas materi. Hal itu menjadi landasan hubungan antara ibu dan anak, semua diukur berdasarkan untung rugi.

Anak Durhaka Buah dari Liberalisme

Masalah utama dalam keluarga disebabkan liberalisasi keluarga. Pertama, liberalisme berhasil mengikis pemahaman tentang menjaga kewajiban dan hak antar anggota keluarga. Hal itu disebabkan ditinggalkannya nilai-nilai Islam dalam keluarga.

Kedua, liberalisme berhasil mencabut fitrah seorang ibu, demi memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin tinggi standarnya lalu mencapai kemandirian ekonomi. Para ibu meninggalkan rumah dan mengabaikan peran utamanya sebagai pendidik generasi dan pencetak generasi cemerlang.

Gempuran pemikiran juga begitu deras menyerang keluarga-keluarga di Indonesia. Serangan pemikiran liberalisme yang menjadikan pertimbangan di dalam keluarga bukan halal-haram, melainkan materi sebagai nilai yang tertinggi. Jika salah satu anggota keluarga tidak memberi manfaat maka akan disingkirkan, tak terkecuali orang tuanya sendiri.

Tidak ada lagi rasa hormat terhadap orang tua, bahkan anak menjadi durhaka. Pemicunya karena materi (uang), kerasnya tekanan gaya hidup, ketidakadilan ekonomi serta lemahnya penanaman nilai agama yang menjadikan seseorang kehilangan fitrahnya sebagai manusia. Begitu hebatnya liberalisme menghancurkan bangunan keluarga.

Hubungan antar anggota keluarga semakin rusak sebab keluarga tidak lagi bisa menjadi tempat yang mengayomi, merawat dan memberi teladan bagi anggotanya. Orang tua pelaku kemaksiatan, mengonsumi miras dan narkoba, sementara anak tak lagi memberi rasa hormat pada orang tua akibat edukasi dari nilai-nilai liberal. Nilai HAM membuat keluarga individualis, tak mau mendengar nasihat sesama dan sebagainya.

Negara pun turut andil, sangat lemah memberantas hal-hal yang mempengaruhi lahirnya disfungsi keluarga. Misal, negara lemah dan membiarkan tontonan porno, kekerasan, juga produksi miras dan peredaran narkoba tak kunjung dapat diberantas. Pendidikan sekuler juga cacat, karena menghasilkan orang yang cakap ilmu tapi bobrok perilaku. Sebab sistem pendidikan sekuler memisahkan urusan agama dari kehidupan.

Dari kasus-kasus yang terjadi semestinya negara melakukan evaluasi untuk mewujudkan keluarga yang mampu melakukan fungsinya secara memadai. Negara juga harus mengubah pendidikan sekuler dengan pendidikan berbasis Islam hingga bisa menghasilkan pribadi Islami yang utuh, cakap ilmu dan berakhlak mulia. Tidak akan ditemukan kekerasan yang dilakukan, baik antara ibu dan anak, atau suami dan istri.

Semua anggota keluarga hidup penuh harmonis. Tentu masyarakat mengharapkan negara yang mengakhiri perseteruan yang sering terjadi dalam keluarga dengan menerapkan syariat Islam sebagai aturan yang adil dan melindungi setiap individu rakyatnya. Dan hal itu hanya terjadi jika Khilafah Islamiyah tegak sebagai institusi penerap syariat.

Islam Melahirkan Generasi yang Memuliahkan Orang Tua

Tujuan berkeluarga dalam Islam adalah beribadah kepada Allah SWT, yakni untuk melestarikan keturunan, dan mewujudkan ketenteraman (sakinah mawaddah wa rahmah); bukan semata memuaskan naluri seksual atau semata status sosial. Karena itu Islam sangat menekankan paradigma dan mentalitas bertanggung jawab dalam mendidik generasi.

Setelah sebuah keluarga terbentuk, maka ridha Allah adalah menjadi tujuannya. Setiap anggota keluarga haruslah taat pada seluruh aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Karena kebahagiaan yang dituju bukan hanya di dunia, tapi kehidupan yang abadi kelak yaitu di akhirat yang kekal.

Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Islam juga mendidik generasi menghormati orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda, menghargai sesama bahkan mewajibkan anak “Birul Walidayn” dan memuliakan orang tuanya.

Kewajiban berbuat baik kepada orang tua, bahkan Allah posisikan setelah beribadah dan mentauhidkan-Nya. Oleh karena itu, bersuara keras mengucapkan kata “Ahh” saja dilarang apalagi sampai melaporkan ke polisi dan memenjarakan ibu kandunganya sendiri tentu tidak dilakukan.

Interaksi Anak terhadap Orang tua dalam Islam Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasul menjawab, “Shalat pada waktu-waktunya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Berbakti kepada orang tua.” Aku bertanya kembali.” Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.” Kemudian aku terdiam dan tidak lagi bertanya kepada Rasulullah Saw. Andaikan aku meminta tambahan, maka beliau akan menambahkan kepadaku.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).

Jika berbakti kepada orang tua merupakan amalan paling utama, tentu pola interaksi yang harmonis terjalin antara anak dan orang tuanya dalam Islam. Apalagi anak yang senantiasa berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya akan memperoleh keberkahan hidup berupa umur panjang dan kemudahan rezeki. Nilai Islam sebagai perekat di antara sesama anggota keluarga, lahirlah pribadi beradab dan bertakwa menghasilkan anak yang hormat pada kedua orang tua.

Wallah alam bi ash-shawab

Penulis: Nurfia (Aktivis Dakwah Kampus)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar