TEGAS.CO,. NUSANTARA – “Cukup aku wae sing ambyar. Negoroku Ojo!”. Begitulah tulisan yang tertera di sebuah papan yang dibawa oleh peserta aksi buruh. Sepanjang tahun 2021 para buruh terus menerus melakukan aksi jalanan. Meskipun situasi masih pandemi covid-19, adanya kepentingan yang jauh dirasa penting membuat para buruh terus menyuarakan aspirasinya yakni menuntut kesejahteraan.
Masih tersimpan dalam memori, bagaimana para buruh berjuang menolak RUU Omnibus Law saat itu. Bahkan di saat UU ‘Tik Tok’ (baca:baru diketik sudah diketok) disahkan tengah malam, gelombang aksi terus dilakukan. Pasalnya isi dalam UU sapu jagad itu sangat merugikan para buruh. Sebut saja masalah jaminan kesejahteraan, pengangkatan pegawai kontrak seumur hidup, masalah cuti, upah dll.
Gelombang aksi besar-besaran kembali terulang saat para buruh menuntut besaran upah minimum (UMP) 7-10%. Lagi-lagi seperti tidak didengar aspirasinya, aksi buruh pun meluas hampir merata dari Sabang sampai Merauke. Saat itu pemerintah mengumumkan besaran kenaikan UMP tidak lebih dari 1%.
Melansir dari detik.com (27/11/2021), Presiden KSPI Said Iqbal memberikan komentar mengenai besarnya UMP DKI Jakarta lebih kecil dari biaya sewa toilet umum. Menurutnya kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar Rp37.749 jika dibagi 30 hari maka kenaikan hariannya hanya sekitar Rp 1.300 sedangkan tarif toilet saja sebesar Rp2.000.
Hal ini tentu saja memperlihatkan bahwa kesejahteraan buruh masih jauh dari harapan. Padahal adanya pandemi covid-19, para buruh adalah pihak yang banyak terkena dampaknya. Tidak hanya dampak kepastian kerja bahkan PHK, tapi juga dilema serasa mengabaikan nyawa karena tetap bekerja. Sedangkan situasi di awal tahun 2021 angka kasus harian covid-19 terus melonjak.
Lantas bagaimana nasib kaum pekerja ini? Akankah berubah lebih baik di tahun 2022 nanti?
Bukti Perekonomian Rapuh
Bak gelombang tsunami, aksi buruh terus silih berganti. Bahkan publik melihat aksi buruh menuntut kenaikan UMP terus meluas dari Sabang sampai Merauke. Peristiwa ini sejatinya menunjukkan kesejahteraan buruh masih dipertanyakan.
Musibah pandemi covid-19 yang memukul perekonomian secara global telah membawa dampak pada semua lini kehidupan. Tak terkecuali berdampak pada nasib buruh. Di saat pemerintah menetapkan karantina wilayah, persis para pekerja tidak melakukan apa-apa. Bahkan demi mempertahankan roda usaha, pemilik usaha banyak yang mengambil kebijakan mem-PHK karyawannya.
Hingga pnademi berlangsung selama dua tahun, dampak pandemi masih terasa. Masyarakat dihadapkan pada situasi yang suram. Membuka usaha tidak mempunyai modal, tetapi mau bekerja juga susah mencari lowongan pekerjaan.
Sedangkan para buruh yang masih bekerja upahnya tidak naik secara signifikan. Mirisnya, kebutuhan sehari-hari makin meroket saja. Para pelaku usaha juga dihadapkan pada situasi ekonomi global yang tidak menentu. Mereka dituntut supaya negara tidak mengalami inflasi.
Semuanya menunjukkan bukti bahwa perekonomian saat ini belum pulih, kondisinya masih rapuh. Jika menelisik lebih dalam, maka carut marutnya perekonomian saat ini dikarenakan sistem makroekonomi yang dipakai adalah sistem yang bermasalah. Sistem ekonomi kapitalisme lah yang sejatinya dipakai saat ini.
Bertumpu pada lembaga perbankan, bursa saham, pasar bebas, valuta asing, suku bunga hingga sistem mata uang dolar tanpa jaminan emas dan perak membuat situasi ekonomi tidak pernah stabil. Antara kondisi deflasi dan inflasi silih bergy terjay. Resesi tidak bisa dihindari, bahkan akan terjadi secara siklik, sewaktu-waktu akan terjadi penggelembungan uang.
Sedangkan penyetir kapitalisme yakni Amerika Serikat terus menjebak negara berkembang dan miskin melalui utang, investasi yang ditawarkan. Sistem dolarisasi membuat negara-negara Islam yang memiliki sumber daya alam berlimpah mudah dikuras kekayaannya.
Oleh karenanya akar persoalan kondisi carut marutnya ekonomi saat ini tidak lain adalah diterapkannya sistem kapitalisme.
Kaum Pekerja Sejahtera Dalam Sistem Islam
Islam sebagai agama yang tujuan diturunkan di muka bumi ini untuk membawa rahmat bagi semesta alam tentu jika diterapkan mampu menghadirkan kesejahteraan.
Sebagai Agam yang sempurna dan paripurna Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Artinya tidak boleh hanya masalah sholat diambil, kemudian urusan ekonomi maupun politik tidak mau mengambil dari Islam.
Dalam kaitannya dengan masalah buruh atau pekerja, syariah Islam telah mengatur bahwa upah ditentukan berdasarkan aqad yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Majikan harus jelas menyampaikan di awal mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan, waktunya, dan upahnya. Sedangkan pekerja berhak mendapatkan upah setelah pekerjaannya selesai.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam Islam juga mengatur mengenai upah jika terjadi perselisihan upah antara majikan dengan pekerja, jika tidak ada titik temu maka diserahkan pada qubara’ (ahli).
Tidak ada patokan upah minimum. Pelaku usaha juga tidak dibebani dengan masalah jaminan kesehatan. Karena kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.
Secara makroekonomi, sistem Islam tidak mengenal riba, mata uang pun stabil karena memakai Dinar dirham ataupun mata uang kertas yang ada jaminan emas dan perak sesuai angka nominal.
Oleh karenanya satu keniscayaan, khilafah mampu membawa kesejahteraan, tidak hanya bagi buruh namun semua warga negara khilafah.
Wallahu a’lam.
Penulis: Dhevy Hakim
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar