RUU TPKS Legalisasi Seks Bebas

Ummu Abiyyu (Pemerhati Sosial)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dan dibuat geram dengan sejumlah kasus seksual yang mengerikan, pertama bunuh dirinya seorang mahasiswa yang berpacaran dengan oknum polisi sampai hamil dan menggugurkan kandungannya.

Kedua kasus seorang guru pesantren yang memperkosa 13 santri sampai 8 diantaranya melahirkan anak. Sungguh ini perilaku biadab yang hukuman setimpalnya adalah hukuman mati, sungguh ironis nasib kaum hawa saat ini karena tidak ada lagi ruang yang membuat mereka aman untuk bebas dari kejahatan ini.

Kejadian ini menjadi katalisator pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS).

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyambut baik draf Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akhirnya akan segera dibawa ke Paripurna DPR yang nantinya akan dibahas bersama DPR dan pemerintah.

Menurutnya, ketika sudah disahkan nanti, para institusi penegak hukum harus segera aktif mensosialisasikan dan membuat aturan turunan yang disesuaikan dengan lembaganya masing-masing.

“Tentunya kita sudah dengar bahwa draf RUU TPKS sudah disetujui oleh 8 fraksi dan akan segera dibawa ke Paripurna. Lantas, akankah RUU TP-KS mampu membela nasib perempuan? (hidayatullah.com).

kalau kita menelisik lebih dalam, keberadaan RUU ini bukanlah aturan baru. Penyusunan draf RUU tersebut sudah sejak beberapa tahun lalu. Pada 2015, rancangannya sudah diajukan ke Badan Legislatif dengan nama RUU P-KS.

Namun, dalam proses pengesahannya terjadi pro dan kontra. Yang akhirnya, draf RUU ini berubah menjadi RUU TP-KS dengan harapan akan segera diterima. Ternyata, masih banyak pihak yang tetap tidak setuju. Salah satunya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belum menyetujui draf RUU TP-KS.

Mereka menganggap RUU tersebut dapat melegalisasi zina. Sebagaimana namanya, pembahasan pada RUU itu hanya sebatas kekerasan seksual pada perempuan, tidak ada aturan mengenai zina.

Sebagaimana fraksi PKS sampaikan, RUU TP-KS berpotensi memunculkan liberalisasi pergaulan dan rawan untuk disalah artikan oleh penzina Mereka akan merasa bebas melakukan aktivitas seksual tanpa takut hukuman.

Alhasil, penerapan sistem kapitalisme melahirkan liberalisasi pergaulan yang semakin marak dan merusak generasi kaum muslimin.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan Islam, dimana Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sempurna. Ia mampu menjadi solusi untuk segala permasalahan hidup yang sedang dihadapi manusia, termasuk dalam persoalan kejahatan seksual.

Solusi yang Islam berikan tidak hanya berbicara solusi kuratif (penanggulangan), namun juga memberikan solusi preventif (pencegahan). Solusi tersebut tercakup dalam tiga mekanisme yaitu: pertama, membentuk sebuah sistem yang baku berlandaskan syariat Islam. Islam memandang kejahatan seksual (jarimah jinsiyyah) pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang meluap-luap.

Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi.

Oleh sebab itulah dibutuhkan penerapan sistem Islam yang berlandaskan pada Aqidah Islam yaitu penerapan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.

Mulai dari mengatur urusan berpakaian, berinteraksi sampai dalam masalah penjagaan terhadap unsur-unsur pornografi yang bertebaran di masyarakat, baik melalui Medsos, TV, musik, dll.

kedua, adanya aktivitas amar ma’ruf nahyi  munkar. Islam memandang, bahwa manusia bukanlah robot. Ketika seorang manusia diberi pemahaman tentang mana yang benar dan salah, akan tetap ada kecenderungan dalam diri manusia untuk mengingkari apa yang telah masuk ke dalam sistem berpikirnya.

Maka di sinilah Islam menempatkan peran amar ma’ruf, nahyi mungkar sebagai sebuah alat kontrol sosial. tentu, hal ini hanya akan terwujud bila pemerintah dan para ulama menghidupkan sistem yang dapat mendongkrak kapabilitas dan kapasitas keilmuan masyarakat tentang agamanya.

Ketiga, diterapkannya sanksi tegas untuk pelaku. Contohnya tindak perkosaan, maka dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini yang mempunyai saksi adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah).

Sebagian ulama’ menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban. Islam memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal. Yang tentu saja hukuman tegas ini akhirnya akan memberikan efek jera (Zawajir) kepada si pelaku, dan sekaligus menjadi penghapus dosa (Jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumil hisab nanti.

demikianlah Islam mengatur dan menjaga rakyatnya dari kemaksiatan, dan penerapan mekanisme di atas bukanlah hal yang utopis untuk direalisasikan ketika kita kembali pada hukum-hukum Islam secara sempurna.

Wallahu A’lam

Penulis: Ummu Abiyyu (Pemerhati Sosial)

Editor: H5P

Komentar