Anak Rentan Covid-19, Prioritaskan Evaluasi PTM 100 Persen

Oktavia Tri Sanggala Dewi, S.S., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen telah bergulir secara serentak selama beberapa pekan ini.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Jumeri menjelaskan, sebanyak 59 persen sekolah masuk dalam kategori A yang telah memenuhi sejumlah syarat pelaksanaan PTM 100 persen.

Iklan KPU Sultra

Sejumlah syarat tersebut antara lain, berada di daerah PPKM Level 1 dan 2, tingkat vaksinasi dosis 2 peserta dan tenaga kependidikan (PTK) lebih dari 80 persen, serta vaksinasi dosis 2 lansia di kabupaten/kota lebih dari 50 persen (Cnnindonesia.com, 03/01/2022) Respons beragam pun muncul menyusul penyelenggaraan PTM 100 persen tersebut.

Banyak pihak justru dilema, karena masih banyak sekolah yang belum siap secara protokol kesehatan dalam penerapan kembali pembelajaran tatap muka. Pihak sekolah bakal kewalahan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai protokol kesehatan.

Siswa dan orang tua pun turut dilema, karena mereka tetap khawatir akan risiko penularan Covid-19 yang begitu cepat dan tak terduga. Terlebih, adanya kemunculan varian baru Covid-19, yaitu Omicron yang kasus positifnya terus meningkat.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merilis beberapa temuan dari penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen ini. Beberapa temuan pada lapangan adalah kebijakan yang tergesa-gesa, pelanggaran Prokes, dan kurangnya pengawasan (Inilah.com, 12/01/2022) Komisi X juga turut menyoroti lalainya penerapan Prokes hingga kasus positif.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Syaifudian, menilai pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) serentak perlu dilakukan perbaikan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona (Tribunnews.com, 18/01/2022) Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman turut meminta agar pemerintah mengevaluasi kembali proses pembelajaran tatap muka (PTM) untuk mengantisipasi prediksi gelombang ketiga Covid-19 pada Februari-Maret tahun ini (Mediaindonesia.com, 23/01/2022)

Bila ditelusuri, dilema ini muncul karena negara tidak memiliki panduan lengkap dan sahih tentang penyelenggaraan pendidikan. Sebab, selama ini pendidikan diselenggarakan dalam sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang menyimpang dari Islam.

Hal ini tampak antara lain dari kurikulum pendidikan yang tak memberi ruang cukup bagi pembentukan kepribadian Islami melalui upaya memahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) Islam. Sementara penguasaan materi seperti sains, matematika, dan literasi (merujuk penilaian PISA) jauh lebih dominan.

Walhasil, baik materi ajar maupun guru hingga lingkungan sekolah tak mampu membentuk suasana spiritualisasi yang melahirkan ketaatan total kepada Sang Pencipta. Banyaknya problem moral remaja saat ini cukup menjadi bukti sekulernya pendidikan Indonesia.

Beban berat kurikulum tersebut bertambah parah dengan minimnya kualitas guru dan sarana prasarana penunjang, apalagi pada kondisi pandemi. Baik tatap muka maupun jarak jauh sama-sama beratnya.

Semua ini sebenarnya berpulang pada sistem pendidikan. Karenanya, hanya sistem pendidikan Islam saja yang selayaknya diemban negara untuk mengelola pendidikan di Indonesia. Islam sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebenarnya memiliki solusi bagi seluruh problematik manusia.

Problem pendidikan saat pandemi pun sangat bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam. Bahkan solusi tersebut seharusnya dijalankan dalam kehidupan. Sebab, dari segi paradigma utama asas, yaitu akidah Islam begitu selaras dengan fitrah insaniah. Terlebih lagi kita meyakini bahwa aturan yang berasal dari Allah pasti baik untuk manusia.

Dalam situasi pandemi, Islam yang terepresentasi dalam sistem Khilafah menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka. Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.

Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat.

Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.

Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah.

Inilah, mengapa sistem Khilafah menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab, ia menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia. Terlebih kebutuhan pendidikan, yang tak boleh terjeda oleh wabah. Prosesnya harus terus berjalan.

Sistem pendidikan Islam mampu mengantarkan siswa menjadi manusia pembangun peradaban mulia. Gambaran ini setidaknya bisa menginspirasi insan pendidik dan seluruh umat termasuk penguasa untuk menerapkannya pada kondisi serumit apa pun, termasuk saat pandemi kini.

 

Penulis: Oktavia Tri Sanggala Dewi, S.S., M.Pd (Aktivis Dakwah Islam)

Editor: H5P

 

Komentar