Dugaan Permainkan Agama, Kok Malah Dibela

Nurfia (Aktivis Dakwah Kampus)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Berulang lagi kasus penistaan agama dan mempermainkan agama (menjadi mualaf) dalam sistem ini. Bahkan Menteri agama juga melakukan pembelaan agar tdk menimbulkan kegaduhan lebih besar. Ketika umat Islam menuntut keadilan dari pemerintah atas tindakan para penista, hal ini dianggap terlalu berlebihan.

Jika negara tak menjadikan Islam sebagai sumber aturan. Semua perkara susah diselesaikan, serba salah. Kalau mengambil sikap diam, tentu salah, karena diam jika agama dihinakan termasuk dosa. Sementara, kalau bersuara, dianggap tidak bersabar dan dikatakan bahwa muslim diajarkan untuk memaafkan sesama.

Iklan ARS

Dilansir dari Warta Ekonomi.co.id Menag Gus Yaqut mendadak bela Ferdinand Hutahaean. Warga diminta Tabayyun dan jangan melontarkan cacian. Ucapan itu muncul terkait cuitan kontroversial Ferdinand Hutahaean di Twitter yang dianggap menghina agama.

Menurutnya, sangat mungkin karena Ferdinand mualaf dan belum memahami agama Islam secara mendalam, termasuk dalam hal akidah. Gus Yaqut meminta semua cooling down. Masyarakat diajak menghormati proses hukum dan tidak buru-buru menghakimi Ferdinand Hutahaean.

” _Saya mengajak masyarakat untuk tidak buru-buru menghakimi Ferdinand. Kita tidak tahu apa niat sebenarnya Ferdinand mem-posting tentang Allahmu Ternyata Lemah,_ ” ujar Gus Yaqut dalam keterangan di laman Kemenag, Jumat, 7 Januari 2022.

Jika ini ada ketidaktahuan, Gus Yaqut menilai Ferdinand butuh bimbingan keagamaan, bukan cacian.

Tanggapan sebaliknya di utarakan Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212 (Wasekjen PA 212) Novel Bakmumin yang mendesak Polri agar tidak ragu untuk menetapkan Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka dalam kasus cuitan ‘Allahmu Lemah.

“ _Hari ini polisi jangan ragu untuk menetapkan tersangka berikut langsung penahanannya agar Ferdinand tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti karena cuitannya saja sudah dihapus dan itu suatu bukti kesalahannya, Agar tidak mengulanginya lagi, karena kerjaannya rutin selalu membuat gaduh republik,_”ungkapnya.

Alasan-alasan yang disampaikan Ferdinand terkait cuitannya dianggap tak akan menghalangi status tersangka. Apalagi rakyat sudah rindu keadilan.

Terjadi Berulang Kali

Menista agama Islam di negeri mayoritas muslim terjadi berulang kali, seolah mengetahui bahwa umat Islam tidak akan bertindak lebih jauh padanya. Setiap kalimat yang dilontarkannya mencitraburukkan umat dan ajaran Islam. Inilah babak baru kasus penistaan agama dalam sistem sekuler demokrasi.

Publik tak ragu lagi menyatakan, “Hal ini biasa terjadi dalam negeri sekuler yang menjamin berbagai kebebasan.” Kalaupun ditindak, tidak ada sanksi tegas yang membuat jera. Malah makin menggila dengan adanya berbagai olok-olokan baru yang menghina Islam. Tak sedikit pun ia menghormati dan menghargai ibadah agama lain.

Padahal, penistaan agama termasuk dalam kejahatan yang serius, tapi ironisnya, tidak cepat ditindak dan kasusnya jarang terurus. Inikah bukti dari pengamalan toleransi beragama? Jika nonmuslim yang mengalami kerugian, begitu cepat suara mengatakan “intoleran”. Berbeda jika muslim yang dihinakan, diminta untuk tetap bersabar dan si penista masih bebas berkeliaran.

Ini menjadi konsekuensi dari negara yang berlandaskan kebebasan adalah yaitu siapa pun bebas berkata semaunya, meski menyinggung atau mengolok-olok agama lain. Sah-sah saja bagi mereka melakukan tanpa takut ditindak aparat. Cukup mengatakan, “Setiap warga negara dijamin atas hak berpendapat dan berperilaku.”

Lalu siapa yang bisa membungkam lisan mereka saat menistakan agama? Apakah umat Islam berharap sistem sekuler ini bisa mengatasinya? Rasa-rasanya hal itu mustahil. Yang ada, umat diharuskan bersabar, tidak boleh reaktif atau bertindak anarkis menghadapi para penista.

Memangnya apakah maksud dari sikap sabar? Apakah dengan tidak berbuat apa-apa? Bukankah sabar itu ialah mengerahkan segala daya dan upaya atas suatu perkara? Artinya, jika umat Islam diminta bersabar, seharusnya pemerintah lewat aparatnya harus mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengatasinya. Pembiaran ini justru menyebabkan para penista tetap lancar beraksi.

Pemimpin negaranya juga tidak berkata apa-apa, aparatnya pun maju mundur menyikapi kasus penistaan agama. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mendesak agar kasus ini segera diusut, nyatanya publik hanya dipertontonkan wacana-wacana kosong tanpa aksi nyata.

Sebenarnya, aturan kehidupan yang diterapkan atas masyarakat di negeri ini sangat memengaruhi cara pandang penguasa dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Jika masih menggunakan aturan selain Islam, wajar saja tidak akan didapatkan keadilan dan keamanan bagi warga negaranya. Kasus demi kasus penistaan agama bak tumpukan berkas yang menggunung entah kapan bisa dituntaskan. Akan selalu terjadi sepanjang masa.

Islam Menindak Tegas Penista Agama

Satu-satunya sistem yang mampu melindungi umat dan ajaran Islam dari penistaan agama hanyalah sistem Islam. Kehidupan antarsesama pemeluk agama dapat berjalan harmonis, saling menghormati, dan menghargai ajaran masing-masing. Tidak ditemukan penguasa yang lemah menghadapi penista agama.

Para Khalifah telah memberi teladan kepada umat Islam dalam menyikapi para penista agama. Khalifah Abu Bakar ash- Shiddiq misalnya, yang memerintahkan untuk membunuh penghina Rasulullah saw (Lihat: Abu Daud rahimahullah dalam Sunannya hadis No. 4363).

Hal yang sama juga dilakukan Khalifah Umar bin Kaththab ra., beliau pernah mengatakan, “Barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia!” (Diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah yang bersumber dari Mujahid rahimahullah).

Sultan Hamid II—sultan ke-34 Kekhalifahan Utsmaniyah—juga mengikuti jejak para Khulafaurasyidin. Ia pernah marah dengan tindakan pemerintah Prancis. Saat itu, surat kabar Prancis memuat berita tentang pertunjukan teater yang melibatkan Nabi Muhammad saw. Sultan mengatakan, “Ini penghinaan terhadap Rasulullah. Aku tak akan mengatakan apa pun. Mereka menghina Baginda kita, kehormatan seluruh alam semesta.”

Bahkan, Sang Sultan siap bangkit dari kematian jika terjadi penghinaan atas agama Islam dan Nabi saw. Beliau mengatakan, “Aku akan menarik pedang ketika sedang sekarat. Aku akan menjadi debu dan terlahir kembali dari debuku, dan berjuang bahkan jika mereka memotong leherku, mencabik-cabik dagingku demi melihat wajah Baginda Nabi saw.. Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut,” ucap Sultan dengan nada geram sembari melemparkan koran kepada delegasi Prancis. (Film Payitaht bersumber dari catatan harian Sultan Abdul Hamid saat menjabat sebagai Khilafah).

Inilah sikap para pemimpin Islam, tegas dalam menindak para penista agama demi menjaga kemuliaan Din Allah, pantang berkompromi atau bersikap lemah di hadapan penista. Sebab, salah satu maqashid syariat (tujuan-tujuan syariat) adalah hifdzhu ad-din (menjaga agama). Maka, menjadi kewajiban bersama bagi umat Islam untuk memperjuangkan penegakan Islam. Dengan sistem Islam, umat Islam tidak akan terhina dan syariat-Nya senantiasa terjaga. Waullahu’alam.

Penulis: Nurfia (Aktivis Dakwah Kampus)

Publisher: Yusrif

Komentar