Natuna Utara Selatan: Traffic Separation Scheme (TSS), Krisis Pangan, Indonesia Menjadi Negara Adidaya?, Butuh Strong Leadership

Natuna Utara Selatan: Traffic Separation Scheme (TSS), Krisis Pangan, Indonesia Menjadi Negara Adidaya?, Butuh Strong Leadership

TEGAS.CO,. NUSANTARA – “Perang Pasifik diprediksi tahun 2030. Namun, kampanye perang sudah dilakukan sejak sekarang hingga nanti. Bahkan, media – media memberitakan sudah antisipasi dan kesiapsiagaan berbagai negara adidaya, seperti Amerika Serikat cs dan China cs. Mampukah Rating Umur Indonesia bertahan (Survival Rate)?. Apalagi posisi Indonesia sekarang, jalannya diatas pisau bermata dua, yakni akomodir kepentingan keduanya, Amerika Serikat cs dan China cs. Maka, banyak pengamat menilai; “apakah Indonesia mengambil jalan sendiri? atau menjadi Panitia Perang (Adhoc) persetujuan DK PBB ?. Indikatornya, penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) atau Skema Pemisahan Lalu Lintas Kapal (SPLLK) merupakan upaya menjaga alur perdagangan dunia, menghindari perang.”

Kampanye perang di wilayah Natuna, membuat China kekeh kekal sikapnya mengklaim wilayah yurisdiksi Indonesia di Natuna Selatan dan Utara. Kini, beberapa kelompok negara adidaya seperti Amerika Serikat agresif merespon upaya gertakan perang Pacifik. Bahkan, di iringi tindakan patroli dan pengiriman armada perang disekitar Natuna Utara dan Selatan.

Iklan ARS

Pertanyaannya, Indonesia berada dimana? apakah akan menjadi panitia perang Pasifik? atau memilih diplomasi keduanya: Amerika Serikat cs versus China cs. Maka, perlu dilakukan Indonesia sekarang, penguatan pengawasan keamanan maritim terpadu di Natuna Utara dan Selatan. Karena, Natuna merupakan Navigasi Indonesia. Hal ini, salah satu upaya penting Indonesia dalam rangka meningkatkan keselamatan arus ekonomi dan navigasi di perairan Indonesia sendiri. Tentu, lebih jauh, pada 1 Juli 2020, Indonesia telah menetapkan Skema Pemisahan Lalu Lintas Kapal (Traffic Separation Scheme – TSS) di jalur pelayaran Internasional di perairan Indonesia, khususnya di selat Sunda dan Selat Lombok.

Penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) dilakukan untuk menjaga keselamatan navigasi kapal yang melalui selat‐selat penting Indonesia dan kepentingan pengawasan maritim kapal asing yang melalui Indonesia. Dengan menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS), setiap kapal yang melewatinya wajib melaporkan diri sehingga pemerintah bisa mengetahui dan memantau kapal‐kapal yang melalui daerah strategis tersebut, baik kapal niaga hingga kapal militer.

Selain menjaga keselamatan navigasi di perairan Indonesia. Tentunya melindungi hak dan keselamatan para pelaut, baik yang bekerja di kapal berbendera Indonesia, maupun yang di kapal asing. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memastikan keselamatan para pelaut dan awak kapal Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pembukaan jalur publik untuk melaporkan kasus‐kasus yang terjadi.

Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri pada tahun 2018-2020 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama dari AIS Forum akhir 2021 lalu, pertegas komitmen bersama negara-negara anggota PBB untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh negara pulau dan kepulauan.

Dinamika Natuna Utara dan Selatan sangat dinamis. Majelis Umum PBB meminta China kedepankan perdamaian, tidak asal mengklaim kedaulatan negara lain. Apalagi, Filipina sudah peringatkan China agar tidak klaimnya sembarangan atas kedaulatannya. Begitu pun Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand menunjukkan sikap menekan keras atas wilayah yang disengketakan oleh China yang mengakui wilayah sebagai Laut Cina Selatan.

Filipina, Jepang, Taiwan, Thailand dan Korea Selatan mengajukan mosi ke DK PBB untuk menambah senjata dan ajukan klaimnya atas wilayahnya masing-masing diseputar kepulauan yang diklaim China. Terutama, Filipina sudah ajukan sengketa untuk Kepulauan Spratly ke pengadilan PBB. Sementara, Tiongkok klaim kedaulatan atas Spratly dan perairan sekitarnya. Tapi Filipina dan Vietnam, serta beberapa negara lain, turut mengklaim wilayah yang berpotensi kaya mineral tersebut. Konfrontasi yang melibatkan kapal-kapal patroli Tiongkok telah memicu kekhawatiran internasional.

Sementara, posisi Indonesia masih sibuk merebut kembali menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah umumkan hasil pemungutan suara yang berlangsung secara rahasia. Indonesia meraih 144 dukungan dari 190 negara yang memberikan suara di sidang plenary di New York tersebut, mengungguli Maladewa yang mendapatkan 46 dukungan.

Kali keempat Indonesia menduduki kursi anggota tidak tetap DK PBB sebagai representasi dari grup Asia Pasifik. Sebelumnya, Indonesia pernah mencapai hal yang sama pada tahun 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008. Capaian Indonesia, merupakan bentuk diplomasi untuk jembatan perdamaian dunia. Indonesia masih bangga, menduduki satu dari sepuluh kursi anggota tidak tetap DK PBB.

Namun, persoalan nasional dalam negeri Indonesia tak kunjung membaik; kemiskinan bertambah, nasionalisme memudar, ekonomi mundur, alutsista angkatan perang minus, sumberdaya alam kian terketuk, hutang bertambah ribuan triliun, konflik vertikal horisontal antar generasi kian mencuat dan Natuna kian memanas persiapkan diri masing – masing negara menghadapi perang.

Lalu, Indonesia dapat apa masuk DK PBB. Hanya dapat kursi. Sementara, perlawanan terhadap negara – negara adidaya seperti China yang mengklaim sebagian wilayah laut Indonesia, tak mampu konfrontasi. Ya, indikator berdaulatnya Indonesia, bukan berada pada kursi PBB yang di dapatkan. Bukan suatu kebanggaan. Karena Indonesia tetap di jajah oleh negara lain, melalui skema investasi ekonomi: startup, infrastruktur, konflik atas nama narasi agama dan lainnya.

Mestinya, jawaban Indonesia kepada dunia yakni menunjukkan kedaulatan dan peran keras pada dunia internasional bahwa Indonesia negara merdeka, tak ada tempat bagi negara lain yang ingin menganggu atau mencaplok kedaulatan Indonesia. Walaupun, dalam politik bebas aktif untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Tetapi, konteks kedaulatan, Indonesia harus bersikap keras terhadap asing yang ingin menguasai wilayah Indonesia.

Tesis dan analisisnya diatas, negara harus andalkan kekuatan nasionalisme sipil untuk pertahanan. Namun, sejauh ini pengelolaan negara diserahkan kepada swasta (perusahaan) tanpa proteksi. Mekanisme pasar mendominasi dalam penentuan kebijakan sehingga berakibat pada lemahnya eksistensi negara dalam menentukan masa depannya.

Tetapi, riset – riset politik di Asia Tenggara dan Asia Pasifik beberapa tahun belakangan, membaca Indonesia diprediksi masuk diantara negara kuat di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan dari laporan riset Lowy Institute Asia Power Index 2021 Edition, bahwa delapan indikator untuk memetakan kekuatan negara-negara di Asia-Pasifik, antara lain: kemampuan ekonomi, kemampuan militer, ketahanan, sumber daya di masa depan, hubungan ekonomi, jejaring pertahanan, pengaruh diplomatik, dan pengaruh budaya.

AS sendiri masih berada di peringkat teratas sebagai negara kuat yang mengalami tren kenaikan di kawasan Indo-Pasifik. Sebaliknya, China yang berada di peringkat kedua justru mengalami penurunan relatif, sama seperti sebagian besar negara-negara kekuatan menengah seperti Jepang, India, dan Rusia.

Indonesia sendiri mampu merangsek naik dua peringkat di posisi sembilan negara kuat di kawasan Asia-Pasifik. RI kini berada di atas Thailand dan Malaysia dengan skor 19,4. Indonesia berada di bawah Korea Selatan dan Singapura yang menempati posisi ketujuh dan kedelapan. Kekuatan yang paling menonjol dari delapan komponen bagi Indonesia adalah pengaruh diplomatis dan sumber daya di masa depan.

Riset Lowy Institute Asia Power Index 2021, katakan Asia-Pasifik dalam risiko pecah perang. Risiko perang berasal dari fakta bahwa terdapat perlombaan senjata di kawasan itu (Asia-Pasifik). Ini bakal melibatkan AS dan China, juga bisa melibatkan negara-negara lain seperti India, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam yang memiliki sengketa laut dengan China. Ada banyak faktor bahwa perang bisa pecah karena tensi yang semakin meningkat. Setidaknya, ada dua negara dengan kekuatan terbesar yang bisa menyebabkan efek domino. China sebagai kekuatan baru dengan arogansinya, sementara AS khawatir terhadap kebangkitan China. .

Namun, apapun hasil riset Lowy Institute Asia Power Index 2021 yang mengungkap Indonesia melimpah sumberdaya alam. Perlu, lakukan kajian kebijakan politik karena belajar dari penjajahan Jepang yang menguras energi, sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Tentu, jelas Indonesia yang berada di Asia tentu akan menerima dampak dari Perang Asia Pasifik.

Fakta sejarah, jika awalnya Indonesia berada di bawah pemerintahan Belanda, maka sejak 8 Maret 1942 berada di bawah militer Jepang. Dalam buku Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan (1987) karya Soejitno, Jepang yang ikut dalam Perang Dunia II membuat Indonesia harus menyediakan bahan keperluan perang Jepang, termasuk sumber daya manusia. Pada zaman Jepang, terjadi berbagai perubahan yang menjadikan bangsa Indonesia lebih sengasara, terlebih secara ekonomi.

Politik penjajahan Jepang di Indonesia bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan mendapatkan sumber daya manusia untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya. Sehingga dalam bidang ekonomi, pemerintahan Jepang mengeluarkan surat keputusan yang mengatur distribusi barang yang dibutuhkan dalam perang. Barang-barang tersebut seperti besi, tembaga, kuningan, dan lainnya.

Pemerintah pendudukan Jepang juga memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia untuk keperluan Perang Asia Timur Raya. masyarakat di pedesana Jawa dijadikan tenaga kerja paksa atau romusha. Mereka dipaksa untuk membangun bangunan yang berkaitan dengan keperluan perang, seperti membuat benteng pertahanan atau lubang pertahanan, jembatan. pelabuhan, dan gudang menyimpan bahan makanan.

Sekarang pun, hampir sama terjadi seperti itu, melalui kebijakan terbuka soal investasi ekonomi dan startup oleh China melalui berbagai regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Dibidang sumberdaya manusia, pemerintah memfasilitasi dengan membentuk lembaga BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang baru saja dibentuk, tentu semua dilakukan di awal kontrol – kontrol negara – negara yang memberi dukungan terhadap riset – riset, terutama berkaitan sumberdaya manusia dan alutsista perang.

Namun, masih banyak masalah nasional Indonesia yang belum tuntas. Terutama, problem yang sangat membahayakan itu: krisis ketahanan pangan yang di perkirakan berlangsung kelaparan rakyat Indonesia hingga 2040. Saat ini pun, sudah mulai terasa ditengah pandemi covid. Namun, dengan upaya kolektif dan cepat, ada harapan bahwa Indonesia kembali ke jalurnya untuk mencapai tujuan pembangunan pangan.

Tantangan paling berat bagi Indonesia yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, pengentasan kelaparan yang menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) pada 2030 belum berjalan secara baik. Sebenarnya, Indonesia pada pertumbuhannya di sektor pertanian, kelautan dan perikanan yang merupakan sektor paling signifikan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan secara efektif di negara berpenghasilan menengah ke bawah, seperti Indonesia.

Kerawanan pangan global pada 2020 telah mencapai level tertinggi dalam 15 tahun, karena hilangnya pendapatan sekitar sepersepuluh dari populasi global. Tahun 2021 hingga 2040 kondisinya diperkirakan semakin memburuk karena inflasi komoditas dan rantai pasokan terganggu dengan melonjakkan harga pangan dunia ke level tertinggi dalam hampir satu dekade, terutama berita buruk bagi negara-negara miskin yang bergantung pada impor pangan.

Sementara itu, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) perkirakan kelaparan global akan melonjak sekitar sepertiga tahun 2021 – 2025. Bisa juga lebih berat lagi hingga tahun – tahun mendatang. Dilansir Bloomberg, Minggu (22/8/2021) lalu, penilaian tahunan Departemen Ketahanan Pangan di 76 negara berpenghasilan menengah dan rendah memperkirakan tambahan 291 juta orang di negara-negara tersebut tidak akan mendapat cukup makanan pada 2021.

Secara keseluruhan, 1,2 miliar orang di 76 negara yang tercakup dalam laporan USDA akan rawan pangan untuk dimasa mendatang. Sebelum pandemi, USDA memperkirakan 761 juta orang, atau kurang dari 20 persen dari populasi itu, termasuk dalam kategori di negara-negara tersebut.

Sebagian besar orang yang diperkirakan USDA akan jatuh ke dalam kerawanan pangan berada di Asia, yang menyumbang 72 persen dari peningkatan tersebut, seperti Bangladesh, India, Pakistan, dan Indonesia akan mengalami lonjakan besar dalam jumlah orang tanpa makanan yang cukup. Indonesia diproyeksikan memiliki prevalensi kelaparan tinggi, dengan lebih dari 60 persen populasi di masing-masing negara tidak cukup makan. Pendorong utama meningkatnya kerawanan pangan adalah penurunan pendapatan yang terus-menerus di Indonesia akibat pandemi.

Dalam situasi seperti saat ini, Indonesia butuh strong leadership dalam mengelola kekuatan nasional, seperti sumberdaya alam, ekonomi, pangan, kelautan – perikanan, pertahanan, maritim, dan pembangunan. Tetapi, mengelola kehendak rakyat juga penting. Pada sistem negara demokrasi seperti Indonesia, membutuhkan leadership yang kuat (strong) untuk menentukan arah negara sehingga mampu bertahan.

Indonesia saat ini, hadapi kondisi dilematis. Masyarakat merasa, negara belum hadirkan keadilan. Maka, strong leadership dibutuhkan Indonesia agar ditakuti dunia. Sudah pasti negara pesaing tidak akan puas hanya dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, akan berusaha mempengaruhi dengan cara apapun.

Indonesia semakin kompleks dan masa depannya tak menentu. Bisa jadi awal lenyap dimuka bumi ataukah selamat diantara banyak negara gagal. Karena, Indonesia saat ini, bukan saja hadapi persoalan pelik di dalam negeri. Tetapi, politik luar negerinya pun dibawah ketiak asing, seperti Amerika Serikat dan China sehingga tak menentu.

Beberapa tahun kedepan, Asia Pasifik berperang, Indonesia krisis pangan dan sumberdaya peluang kerja untuk bertahan. Demografi dan populasi penduduk semakin meningkat. Kebutuhan pangan semakin naik. Apa yang akan dilakukan Indonesia?. Apakah hanya memindahkan Jalur Pelayaran Kapal atau Traffic Separation Scheme (TSS) untuk menjaga lalu lintas ekonomi dunia. Kemudian, menyatakan Indonesia kuat?.[]

Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar