Gejolak (volatility) harga pangan di pasaran saat ini memang luput dari perkiraan sebelumnya. Anggapan demikian, hanya lebih cocok disematkan pada orang-orang yang ingatannya pendek.
Tengoklah masa lalu (abad 20) setidaknya ada tiga periode dimana harga pangan melonjak cepat. Pertama, waktu Perang Dunia I. Kedua, tepatnya 30 tahun kemudian, harga pangan kembali naik ketika sebagian besar negara masih dalam pemulihan pasca Perang Dunia II. Ketiga, pada 1970-an ketika terjadi lonjakan kenaikan permintaan, cuaca ekstrim, naiknya harga minyak bumi dan gangguan-gangguan dalam perdagangan yang berakibat terjadinya gejolak harga pangan.
Itu juga terjadi di Indonesia. Bagaimana dengan abad 21 khususnya Indonesia? sama saja, terjadi gejolak harga seperti minyak goreng, jagung, beras, kedelai (tempe), telur, daging, cabai, dan lain-lain.
Dalam 3 bulan terakhir, masyarakat menengah kebawah dibuat pusing tujuh keliling untuk mendapatkan pangan yang murah dan mudah sebagaimana minyak goreng langkah dan mahal, kedelai langka, dan sebagainya. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Suatu yang berulang. Sebabnya adalah karena pelaku industri memperdagangkan derivatif komoditas.
Gejolak harga jelas mempengaruhi perekonomian Indonesia bukan saja secara mikro tetapi juga dari sisi makro seperti inflasi.
Pada setiap kejadian kenaikan harga pangan, selalu diikuti pula dengan penurunan harga yang dalam. Selama 100 tahun lebih, kecenderungan harga pangan dunia, setelah disesuaikan dengan inflasi memang mengarah pada pasar hasil pertanian dengan pola berulang, melonjak dan menukik.
Namun, kejadian demikian cenderung menjadi tetap sehingga menyiratkan makna adanya suatu penyebap yang sifatnya berulang. Teorinya bahwa saat harga rendah, laju investasi di sektor pertanian ditahan.
Keadaan ini menyebapkan produksi mandek, kadang terjadi kekurangan dalam jumlah besar dan harga naik. Fenomena ini kemudian dijawab dengan investasi kembali masuk dengan membawa temuan teknologi baru atau setidaknya teknologi pertanian yang sudah eksisting dan menjadi ajang pemulihan keadaan karena keuntungan usaha pertanian kembali naik.
Namun bagi petani tetap menjadi malapetaka sebab ketika mereka memproduksi berlebih, harga anjlok. Jadi menurut teori ini, kenaikan harga yang terjadi akhir-akhir ini pada dasarnya hanya garis balik akhir dari daur yang sama.
Kedepan persoalan bisa jadi lebih serius karena kebijakan pemerintah yang terus mendorong kearah agribisnis dengan sokongan investasi. Pengembangan food estate adalah contoh nyata. Padahal food estate jelas bertentangan dengan upaya mendorong ekonomi kerakyatan khususnya ekonomi kaum tani. Food estate akan merubah karakter produksi pangan Indonesia dari berbasiskan keluarga tani menjadi berbasis perusahaan.
Sejarah harusnya memberikan pembelajaran, di masa lalu Indonesia juga banyak negara lain ketika urusan hajat hidup orang banyak diserahkan (dominan) pada perusahaan pertanian (MNC) justru melemahkan kedaulatan pangan.
Mungkinkah Pangan Murah Berakhir
Sikap bernada suram pakar kependudukan seperti Paul R. Ehrlich yang tahun 1980 meramalkan harga-harga lima komoditas pangan tidak akan naik pada dasawarsa mendatang jelas tidak terbukti juga.
Ada beberapa faktor yang harus dilihat baik permintaan maupun penawaran pangan yang mengarah pada kesimpulan bahwa masa pangan murah kemungkinan memang akan berakhir.
Harga pangan mungkin tidak akan konstan pada harga tertinggi selamanya, tetapi tetap saja akan kembali pada tingkat yang pasti lebih tinggi dibandingkan rerata harga 30 tahun yang lalu.
Alasan yang bisa menjelasakan itu, salah satunya dari sisi penawaran dimana ongkos produksi pangan cenderung naik dan subsidi saprodi terus dikurangi seperti pupuk. Input pertanian seperti bahan bakar, pupuk terus akan digunakan tetapi harganya pasti akan lebih mahal.
Harga mahal itu juga dipengaruhi oleh ongkos produksi minyak mentah dan gas alam. Singkatnya, kalau harga energi mahal, maka struktur biaya usaha pertanian seperti pangan akan terangkat naik dan pada akhirnya akan membuat harga pangan ikut naik.
Alasan lainnya, petani semakin didesak untuk menghitung biaya “tanggungan luar” yang mereka akibatkan pada lingkungan hidup. Dan ini sudah mulai terjadi seperti di Inggris.
Dalam kaitannya dengan lahan pertanian yang subur sebagian besarnya sudah digunakan. Perluasan atau pembukaan lahan baru hanya bisa dilakukan dikawasan pinggiran dan jauh dari pemukimannya akan membuat petani hanya akan berproduksi jika harga pangan cukup tinggi, ada peluang keuntungan yang lebih besar.
Tingginya biaya produksi pangan, meliputi ongkos kerusakan lingkungan dan kebutuhan perluasan areal pertanian baru pada lahan-lahan marjinal akan meningkatkan biaya produksi yang tidak bisa dihindari akan membuat harga pangan ikut naik.
Bagaimana dengan faktor permintaan? Jelas akan melambungkan harga pangan yakni minangkatnya jumlah permintaan dan ini eksponensial, dari penduduk Indonesia dan kelas menengah yang terus bertambah besar sehingga dibutuhkan pangan yang besar pula. Belum lagi satu faktor lain yang dampaknya mulai kelihatan yaitu semakin penting dan berkembangnya perekonomian berbasis bahan bakar hayati.
Permintaan bahan bakar hayati yang trennya naik meskipun lambat memainkan peran kunci dalam mendorong naiknya harga pangan saat ini dan dimasa-masa depan.
Apalagi jika harga minyak bumi mahal seperti sekarang, maka bahan bakar hayati memiliki keunggulan ekonominya sendiri bahkan tanmpa disubsidi masih tetap jauh lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil.
Untuk semua sebab, apakah itu permintaan maupun penawaran, ada dalil dasar yang sangat kuat untuk mengatakan bahwa harga pangan pada masa-masa mendatang cenderung akan naik.
Dan itu sudah dimulai dengan kenaikan beragam kebutuhan pokok dalam 3 bulan terakhir. Cara untuk memahaminya bisa dilihat dengan mengamati pergeseran dalam timbal balik perdagangan antara komoditas pertanian dengan sector perekonomian lain seperti yang sudah dijelaskan diatas.
Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia (Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI)
PUBLISHER: REDAKSI
Komentar