Kasus Pawai Budaya, Keterangan Ahli Pidana Penghasutan: Tidak Memenuhi Unsur Pidana

Berita Utama, Kendari1175 Dilihat
Ahli Pidana Penghasutan Dr Jabar Rahim SH MH

TEGAS.CO, KENDARI – Dalam sidang lanjutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam kasus Pawai Budaya yang berakhir kericuhan antar oknum organisasi masyarakat (ormas), yang terjadi pada Kamis (16/12/2021) lalu disekitaran Kendari beach.

Dengan persangkaan pidana penghasutan Pasal 160 KUHP, pada Selasa 12 April 2022 memasuki agenda mendengarkan Keterangan Ahli Pidana.

Ahli Pidana yang dihadirkan para terdakwa adalah Dr Jabar Rahim SH MH. Dimana dalam keterangannya, Dr Jabar Rahim membacakan dan menjelaskan 6 point, yakni ;

1. Pasal 160 KUHP unsur-unsur pidana sebagai berikut ;
a. Setiap orang/barang siapa
b. Di muka umum
c. Tulisan dan lisan
d. Menghasut
e. Melakukan kekerasan
f. Penguasa umum
g. Maksud hasutan

2. Dalam kasus ini tidak terpenuhi unsur pidana formil maupun materilnya, dimana dalam kajian ahli secara normatif bahwa surat undangan, baik konten video, percakapan, para terdakwa tidak ada upaya perkataan dengan upaya menghasut para peserta pawai untuk melakukan tindak pidana, seperti apa hal yang di tuduhkan oleh penyidik Polda Sulawesi Tenggara, dimana kekerasan, pengrusakan terjadi akibat dari penghasutan dari pihak penyelenggara pawai budaya Tolaki.

3. Ahli berpendapat bahwa dalam keterangan ahli pidana, pemeriksaan di Pengadilan Negeri Kendari, tanggal 12 april 2022 menjelaskan secara keilmuan hukum pidana dan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7/PUU-VII/2009 tentang penghasutan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini mengarahkan syarat penghasutan harus ada yang terhasut untuk melakukan kekerasan, dan pengrusakan atau tindak pidana lainnya.

Sedangkan terjadinya kekerasan, kerusuhan, dan pengrusakan para pelaku tidak mengakui bahwa tidak ada ajakan, hasutan terhadap pelaku untuk melakukan tindak pidana oleh para penyelenggara atau panitia pawai budaya Tolaki.

4. Ahli berpendapat bahwa sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7/PUU-VII/2009 Pasal 160 KUHP yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung di pidana tanpa melihat ada tidaknya akibat dari penghasutan tersebut.

5. Dalam aspek ilmu kriminologi mens rea dan actus reus pun tidak terpenuhi, mens rea dalam kajian hukum pidana harus mendahului sebelumnya terjadi tindak pidana, mens rea merupakan niat pelaku sebelum melakukan tindak pidana, mens rea harus terbentuk dengan memiliki waktu yang cukup sebelum melakukan tindak pidana, sedangkan actus reus merupakan perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.

“Unsur Pasal 160 KUHP yang didakwakan kepada panitia pawai budaya beserta ketua-ketua ormas belum terpenuhi. Namun dalam proses peradilan semuanya akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut,” ujar Dr Jabar Rahim.

Keterangan saksi ahli pidana itu sangat meringankan terdakwa. Dimana Dr Jabar Rahim, SH MH sendiri adalah salah satu dosen tetap di Perguruan Tinggi Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK).

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ketua Tim Kuasa Hukum Terdakwa, Andre Darmawan SH MH CLA CIL CRA dan Sabri Guntur SH MH.

Andre mengatakan, bahwa keterangan ahli pidana ini sangat membantu dan dapat meringankan tuntutan hukum para terdakwa untuk dapat terhindar dari tuntutan pidana penghasutan pasal 160 KUHP.

“Tetapi kita tetap berpegang pada hukum acara pidana, dimana akhir dari persidangan akan ditentukan oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut,” ujarnya.

Laporan: MAHIDIN

Editor: YUSRIF

Komentar