PBB Jadi Andalan, Benarkah Mampu Mensejahterakan

PBB Jadi Andalan, Benarkah Mampu Mensejahterakan. foto istimewa

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) kota Kendari menargetkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Bumi dan Banguanan (PBB) tahun 2022 sebesar Rp 22 milyar. Menurut  Sri Yusnita ketua Bapenda Kota Kendari salah satu langkah yang dilakukan dalam upaya meningkatkan pajak dari sektor pajak bumi dan bangunan pihaknya melakukan upaya jemput bola kemasyarakat dengan turun langsung memberikan pelayanan pembayaran dengan melibatkan salah satu perbankan agar capaian PBB tersebut terwujud. (rri.co.Id, 24/04/2022)

Nyata saja hal ini akan dilakukan, karena dalam system saat ini pajak adalah sumber utama pendapatan, dan selalu ditekankan bahwa tanpa pajak pembangunan tidak akan bisa berjalan. Jika tidak ada pembanguanan maka nihil kesejahteraan yang harusnya dinikmati oleh rakyat.

Walau dipastiakn pungutan pajak ini akan menambah beban kehidupan masyarakat, bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal, di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Inilah system kapitalis, menjadikan pajak dan berbagai pungutan memang menjadi salah satu urat nadi pendapatan. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, mengatakan, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah system kapitalis.” Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan. Bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.

Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara

Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Pasalnya, Kas Negara atau Baitul Mal dalam sistem pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dsb. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tak perlu ada pungutan batil di luar ketentuan syariah.

Memang adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah.

Pungutan itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara. Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitul Mal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti dalam sistem kapitalisme.

Obyek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Non-Muslim (ahludz-dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga Muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.: Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya (HR al-Bukhari).

Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan. Maka dipastikan dengan diterapkan system khilafah mampu mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Masyaallah. Wallahualam.

Penulis: Ruli Ibadanah Nurfadillah, SP (Pemerhati Sosial dan Anggota Menulis Kreatif)

Publisher: YUsrif Aryansyah

Komentar