TEGAS.CO,. NUSANTARA – Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS) telah disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 12/4/2022. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan Pengesahan RUU TP-KS adalah hadiah bagi seluruh perempuan dan rakyat Indonesia. UU TP-KS disebut sebagai hasil kerja sekaligus komitmen bersama yang menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada tempat bagi kekerasan seksual.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan, UU TP-KS merupakan wujud kehadiran negara dalam menghadapi kekerasan seksual di Indonesia. PBB di Indonesia turut mengucapkan selamat atas pengesahan ini. Tim PBB di Indonesia telah mendukung advokasi RUU TPKS melalui kemitraan dengan Kemen PPPA, Komnas Perempuan, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Pertanyaannya, benarkah UU TP-KS akan mampu memberantas kekerasan seksual dan memberikan rasa aman bagi perempuan?
Konsekuensi Ratifikasi CEDAW
Euforia berbagai pihak, baik anggota dewan maupun para pegiat hak-hak perempuan, sangat tampak terkait pengesahan ini. Mereka berpendapat bahwa payung hukum sudah terwujud sehingga akan menyelesaikan banyaknya kekerasan seksual serta melindungi perempuan di Indonesia. Memang benar, UU TP-KS memuat banyak hal baru, mulai dari tercakupnya beragamnya jenis kekerasan di masyarakat saat ini, sampai pemenuhan hak korban dan hukuman berat serta denda untuk pelaku.
Semangat pengesahan RUU TP-KS sebagai payung hukum sejatinya merupakan amanat ratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau, konvensi yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 1979. Indonesia meratifikasi CEDAW atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU 7/1984. Konsekuensinya, Indonesia wajib mengimplementasikan mandat Rekomendasi Umum No. 19 yang diperbarui dengan Rekomendasi Umum No. 35.
Rekomendasi itu mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan langkah-langkah tepat dan efektif dalam mengatasi segala kekerasan berbasis gender (KBG); membuat peraturan perundang-undangan tentang kekerasan dan penganiayaan dalam rumah tangga, pemerkosaan, penyerangan seksual, dan bentuk-bentuk lain KBG; serta perlindungan korban, termasuk korban perkosaan.
Begitu juga penghapusan KBG yang bersifat sistemis karena telah menjadi alat sosial, politik, ekonomi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan melanggengkan stereotip peran gender. Keberadaan regulasi menjadi satu keharusan. Itulah sebab dorongan kuat pengesahan RUU TP-KS mayoritas datang dari aktivis gender. Mereka berpendapat di Indonesia belum ada payung hukum yang komprehensif yang dapat menaungi berbagai bentuk kekerasan seksual yang menimpa perempuan.
Wajar jika para aktivis perempuan dan pegiat gender mengatakan bahwa pengesahan ini adalah sebuah kemenangan perempuan setelah perjalanan panjang dan berliku selama 10 tahun.
Liberalisasi Seksual Makin Nyata
Beberapa pihak menyambut gembira pengesahan RUU TP-KS. Bahkan, Ketua DPR Puan Maharani menangis bahagia saat mengetuk palu mengesahkan RUU tersebut, disertai sorak-sorai dan tepuk tangan peserta sidang.
Namun, jangan lupa, sejatinya ada bahaya besar di balik pengesahannya. UU TP-KS lahir di tengah kehidupan yang sekularisme, yakni agama disingkirkan dari kehidupan publik dan HAM begitu diagung-agungkan, bahkan menjadi dasar semua perbuatan manusia.
Pantas jika sejak awal, usulan RUU ini ditolak berbagai kalangan muslim karena kental liberalisasi. Berbagai revisi draf RUU tetap saja beraroma liberalisasi perilaku, meskipun dalam draf terbaruyang akhirnya disahkan menjadi UU tidak lagi mengandung frasa tanpa persetujuan korban untuk mendefinisikan tindak kekerasan.
Pasal 2 menyebutkan, Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual didasarkan pada asas iman dan takwa serta akhlak mulia, juga tambahan Sebagai negara yang berdasarkan atas Tuhan Yang Maha Esa, maka Undang-Undang ini tidak dimaksudkan membenarkan perilaku seks bebas dan seks menyimpang karena hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila, norma agama, dan nilai-nilai budaya bangsa.
Dalam penjelasannya, tetap tidak dapat menghilangkan adanya potensi liberalisasi perilaku. Penggunaan kata pemaksaan makin jelas menunjukkan pengakuan atas kebebasan perilaku berdasarkan keinginan sendiri.
Tentu tak juga asing penggunaan istilah sexual consent dalam Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, secara jelas dipahami sebagai legalisasi hubungan seksual ketika saling setuju, suka sama suka, dan tanpa paksaan meski belum terikat dalam ikatan perkawinan. Pelegalan hubungan seksual atas dasar sexual concent dan bukan dalam lembaga pernikahan yang sah, jelas merupakan bentuk nyata perilaku bebas, bahkan seks bebas.
Kebebasan perilaku bagi perempuan makin nyata ketika dikaitkan dengan hak seksual dan reproduksi yang dianggap sebagai bagian dari hak asasi perempuan. Pasca-CEDAW, bergulirlah Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) pada 1994 yang memberikan perhatian secara spesifik atas hak reproduksi.
Setelah itu, berlangsung Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing pada 1995 dan mendeklarasikan Beijing Platform for Action yang menetapkan bahwa HAM mencakup hak perempuan secara bebas dan tanpa paksaan, kekerasan, atau diskriminasi untuk memiliki kendali dan membuat keputusan mengenai seksualitas mereka sendiri, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi.
Adanya kebebasan seksual makin nyata dengan adanya kampanye My Body is My Own. Kampanye ini menyerukan hak atas otonomi tubuh yang berarti bahwa setiap orang khususnya perempuan memiliki kekuatan dan berhak membuat pilihan tanpa takut akan kekerasan. Artinya, perempuan mampu memutuskan untuk kapan atau dengan siapa ia akan berhubungan seks, serta keinginan kapan akan hamil atau ingin hamil.
Pengarusan hak seksual makin kuat dengan adanya kampanye The Generation Equality Action Coalitions, yang menyusun The Global Acceleration Plan for Gender Equality 2021-2026. Kampanye ini dibuat untuk memberikan dampak nyata pada kesetaraan gender dan hak asasi anak perempuan dan perempuan.
Program ini mengusung enam tema, salah satunya adalah Bodily autonomy and sexual and reproductive health and rights (SRHR). Oleh karenanya, jelaslah kampanye kebebasan seksual sebagai perwujudan dari hak perempuan memang sedang digalakkan oleh dunia sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Demikian juga perihal keterkaitan antara pemberian hak bagi perempuan untuk memiliki pilihan bebas dari pemaksaan yang diusung UU TP-KS dengan kampanye global hak seksual dan reproduksi perempuan, semakin jelas.
Arahnya menuju pada satu makna, yakni membebaskan perempuan dalam bertingkah laku, suatu kondisi yang jelas bertentangan dengan tuntunan Islam yang mewajibkan setiap individu muslim, termasuk perempuan, untuk terikat syariat Allah.
Pengesahan RUU TP-KS menjadi UU bukan solusi untuk menangani kekerasan seksual yang terus meningkat di Indonesia, terlebih dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan. Pasalnya, keberadaan UU TP-KS tidak solutif apalagi jika bercermin pada pengesahan UU terkait lainnya.
Pengesahan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah 18 tahun, tetapi ternyata KDRT masih terus terjadi, bahkan menjadi kekerasan terbanyak di ranah domestik di Indonesia dari tahun ke tahun.
Demikian halnya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah dua kali direvisi. Revisi pertama melalui UU 35/2014, di antaranya adanya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak untuk memberikan efek jera serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis, dan sosial anak korban dan/atau anak.
Revisi kedua melalui pengesahan UU 17/2016, terdapat pemberatan hukuman yang menetapkan pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup, atau pidana paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, identitas pelaku dapat diumumkan. Pelaku kejahatan juga dapat dikenai kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Jauh panggang dari api, sayangnya, kekerasan seksual terhadap anak alih-alih bisa dicegah, justru terus meningkat, bahkan dilakukan orang dekat korban dan mereka yang seharusnya memberi perlindungan keamanan.
Adalah fakta yang memilukan ketika ayah, saudara, kakek, bahkan guru termasuk guru ngaji dan pengasuh pesantren ternyata juga menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, bahkan dengan korban dalam jumlah banyak hingga usia bayi dan balita.
Sungguh ini adalah kejahatan luar biasa yang tidak masuk nalar manusia. Di sisi lain, UU yang ada malah belum banyak diimplementasikan. Betapa sering Kemen PPPA mendorong aparat penegak hukum untuk menggunakan UU 17/2016 untuk menjerat pelaku kejahatan seksual terhadap anak demi memberikan sanksi setimpal.
Harapan Kosong Perlindungan Perempuan
Fenomena ini sangat mungkin terjadi pada UU TP-KS mengingat akar persoalan kekerasan, siapa pun objeknya, baik perempuan dewasa atau anak-anak, bahkan laki-laki, semua terjadi karena kelemahan pengendalian diri terhadap hawa nafsu yang menguasai.
Demikian juga adanya kebebasan perilaku yang menjadi tabiat hidup saat ini. Bagaimana tidak, berbagai kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya kejahatan dan kekerasan, seperti maraknya pornoaksi dan pornografi, beredarnya miras, serta keberadaan berbagai tempat maksiat., ditambah eksploitasi perempuan di segala lini.
Inilah rupa kehidupan yang jauh dari aturan agama pegiat kesenangan jasmani semata sekaligus menjadi gambaran kehidupan sekuler dengan seluruh cabangnya, yaitu kapitalisme dan liberalisme. Selama tatanan kehidupan diatur dengan sistem rusak, bukan saja kekerasan terhadap perempuan dan anak, melainkan akan terus terjadi berbagai kekerasan terhadap sesama manusia dalam segala bentuknya, meski ada beribu regulasi yang disahkan oleh dewan.
Regulasi yang hanya bersumber dari akal pikiran manusia yang serba lemah dan terbatas, meskipun hasil kesepakatan internasional sekalipun, tidak akan mampu memberantas apalagi mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Semua aturan yang lahir dari akal manusia yang lemah terbatas, persoalan tentu nihil menemui benang merah dan selesainya persoalan. ketiadaan suasana keimanan pada setiap individu, pergaulannya di tengah masyarakat, serta penerapan hukum yang bersumber dari aturan Allah oleh negara. Sekularisme kapitalisme nyata akan memberi peluang terjadinya pelanggaran hukum mengingat jargon tujuan menghalalkan segala cara.
Amat disayangkan, betapa waktu, tenaga, dan dana yang dihabiskan, hanya untuk melanggengkan harapan kosong terwujudnya lingkungan yang aman untuk semua. Pengesahan RUU TP-KS seperti ‘prank’ bagi semua perempuan dan juga seluruh rakyat Indonesia.
Hanya Islam yang Mampu
Kekerasan terhadap perempuan hanya akan tuntas melalui penerapan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan terhadap semua makhluk, apalagi terhadap sesama manusia, termasuk perempuan dan telah menetapkan sanksi tegas di dalamnya. Sanksi ini berfungsi sebagai penebus (jawabir), juga pencegah (jawazir).
Definisi kekerasan termasuk kekerasan seksual distandarkan pada tuntunan Allah Taala, bukan pada akal manusia, apalagi HAM. Dengan landasan keimanan pada Allah, tumbuh keyakinan kuat bahwa aturan Allah adalah aturan terbaik untuk manusia, sebagaimana kaidah fikih bahwa hukum syara mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).
Penerapan sistem sosial berdasarkan syariat Islam yang membawa kebaikan dalam masyarakat, mencegah tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan menyelesaikan problematika ini. Dengan demikian, perempuan akan dapat hidup aman dan nyaman di mana saja, terhindar dari tindak kekerasan dari siapa pun juga. Akidah Islam akan menjaga setiap muslim berada dalam kebaikan karena menyadari semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak. Wallahualam.
Penulis: Ummu Hanin
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar