TEGAS.CO,. NUSANTARA – Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan secara resmi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang pada Selasa (12/04/2022) dalam rapat paripurna DPR. (kompas.com).
Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen dalam kurun waktu 12 tahun sejak 2008 hingga 2019.Sedangkan pengaturan tentang kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terbatas sehingga kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses secara hukum. Ini yang menjadi alasan para aktivis perempuan berusaha menggolkan RUU TPKS.
UU TPKS yang semula bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini sudah melewati perjalanan panjang sejak digagas sepuluh tahun lalu oleh Komnas Perempuan. Penyusunan draft RUU PKS ini telah dilakukan sejak tahun 2014 kemudian diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, baru masuk dalam daftar Penambahan Prolegnas pada tahun 2016. Kemudian ditarik lagi dari Prolegnas Prioritas pada tahun 2020. Baru pada tahun 2021, RUU PKS ini masuk kembali dalam RUU Prolegnas Prioritas akibat munculnya berbagai kasus kekerasan seksual yang beruntun di tengah-tengah masyarakat. (kompas.com 12/4/22).
Meski demikian, satu pihak dari DPR masih menyuarakan penolakan terhadap pengesahan RUU TPKS yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurutnya, dalam RUU TPKS tidak memuat aturan mengenai pelarangan perzinahan dan penyimpangan seksual atau LGBT. Justru payung hukum yang mengatur detail tentang kesusilaan, seperti seks bebas, termaktub dalam Revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) yang belum disahkan.
Akibat Sistem Sekulerisme
Ditengah kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi hari ini sesungguhnya akibat dari diterapkannya sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem sekuler mengagungkan paham liberal atau kebebasan. Sehingga membentuk individu-individu yang cenderung melakukan kebebasan tanpa melihat apakah perbuatannya bertentangan dengan syariat Islam atau tidak. Termasuk dalam hal meraih kepuasan seksual. Tidak peduli bagaimana caranya meraih kepuasan seksual tersebut, baik pemuasan seksual dengan sesama jenis ataupun dengan lawan jenis yang dilakukan sebelum adanya ikatan perkawinan.
Selain itu, sistem sekuler tidak mengatur batasan pergaulan dengan lawan jenis. Tanpa sadar membuat perempuan hanyut dalam pergaulan dengan lawan jenis. Kondisi ini bisa membuka peluang terjadinya pelecehan ataupun kekerasan seksual terhadap perempuan.
Orang-orang yang tenggelam dalam paham liberal ini tidak lagi menjadikan syariat Islam sebagai standar perbuatannya. Mereka menjadi budak hawa nafsunya untuk mencari kebahagiaan hidup. Tentunya paham ini sangat berbahaya jika diadopsi oleh umat Islam.
UU TPKS Sarat Dengan Paham Liberal
Sama halnya UU TPKS yang baru saja disahkan. Sebenarnya sejak masih berupa RUU sudah menuai kritikan dari tokoh-tokoh muslim. Hal ini bukan karena ketidakberpihakan pada korban dan membiarkan kekerasan seksual terus terjadi, namun terdapat beberapa hal yang kontroversial didalamnya. Menurut UU TPKS, jika aktivitas seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan berdasar kesepakatan atau persetujuan kedua belah pihak (sexsual consent), maka perbuatan itu dibolehkan oleh UU ini. Paradigma seperti ini menunjukkan bahwa UU TPKS ini melegalkan paham liberal.
Kekerasan seksual sudah bersifat sistemis maka perlu dituntaskan dari akarnya. Sementara UU TPKS ini tidak akan mampu memberantas kekerasan seksual. Justru hanya membuka pintu kebebasan dan kerusakan baru ditengah masyarakat. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang dibuat untuk menyelesaikan problem kekerasan seksual tidak akan mampu diselesaikan selama kapitalisme liberal masih menjadi acuan dalam kehidupan.
Islam Solusi Tuntas
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna yang mampu menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia. Islam mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan yang bersandarkan pada akidah Islam. Termasuk dalam hal interaksi dengan lawan jenis, hanya dibolehkan pada sektor yang memang membutuhkan interaksi seperti di lingkungan pendidikan, muamalah (jual beli) dan kesehatan (pengobatan).
Islam sangat menghormati dan memuliakan perempuan. Islam melarang perempuan-perempuan muslimah keluar rumah tanpa menutup aurat dan bertabarruj (berhias secara berlebihan). Sebab itu bisa memicu rangsangan dari luar yang kemudian membangkitkan naluri seksual (gharizah nau’).
Adapun dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual, Islam mengatur setiap hubungan seksual laki-laki dan perempuan harus dalam ikatan pernikahan yang sah. Jika dilakukan diluar pernikahan, Islam menyebutnya “perzinaan” yang haram hukumnya dan merupakan dosa besar, serta menetapkan sanksi yang tegas terhadap pelakunya sebagaimana tercantum dalam QS An-Nur ayat 2 “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”
Sanksi tegas yang diterapkan Islam ini tidak hanya berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) tapi juga memberi efek jera kepada pelaku (zawajir). Penerapan sistem sanksi berdasarkan syariat Islam akan membawa kebaikan dan rasa keamanan dalam masyarakat, mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan, dan menyelesaikan segala bentuk tindak kekerasan seksual
Selain itu, akidah Islam akan menjaga setiap individu muslim agar selalu berada dalam kebaikan karena meyakini bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu menyelesaikan persoalan ini. Namun, semua ini hanya bisa diwujudkan ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam sebuah institusi bernama Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bisshowab
Penulis: Wildani (Komunitas Lingkar Pena Ideologis Maros)
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar