Skandal Gorder DPR, Minusnya Empati dan Hilangnya Nurani

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, Ungkapkan yang pas untuk menggambarkan keputusan kontroversi pengadaan gorden rumah DPR senilai Rp48,7 miliar yang akhirnya ketuk palu dan kini sudah melalui tahap tender walau dari awal pengajuannya, banyak pihak menentang proyek tersebut karena dianggap tidak urgen sama sekali.

Lebih miris saat mengetahui perusahaan pemenang tender gorden ini adalah perusahaan yang mengajukan penawaran tertinggi. Padahal, adanya tender seharusnya untuk mencari harga termurah dengan kualitas terbaik. Wajar kalau kemudian KPK mengendus adanya praktek korupsi.

Sontak, koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia(MAKI), boyamin Saiman menyatakan keheranannya lantaran perusahaan yang menang tender menyodorkan harga tertinggi.(detiknews. Kamis,5/5/2022)

Protes juga datang dari wakil ketua umum partai Gelora Fahri Hamza yang mengaku sedih jika ada peran pimpinan DPR di balik pengadaan gorden DPR ini, dan beliau meminta ketua DPR untuk bertanggung jawab.(detiknews. sabtu,7/5/2022)
Yang pasti, Proyek pengadaan barang dan jasa seperti ini memang rentan menjadi ladang para pejabat pemburu rente untuk mengerat uang rakyat.

Jangan heran, inilah negeri demokrasi. Para pejabatnya sibuk memperkaya diri dan menyenangkan keluarga dan partainya. Tidak peduli meski rakyatnya mati, apalagi hidup dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Matinya Nurani

Banyak rakyat mengelus dada saat melihat besaran rupiah yang dikeluarkan APBN untuk kebutuhan ini. Padahal, jika dialokasikan untuk kebutuhan rakyat, jumlah sebanyak itu akan sangat lebih bermanfaat. Nyatanya, besaran proyek ini tidak mempertimbangkan keprihatinan kondisi ekonomi rakyat yang terpuruk.

Berdasarkan data Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), terdapat delapan juta lebih rakyat terkategori miskin ekstrem, yaitu kemiskinan hingga taraf menunda makan karena tidak punya uang. Jika anggaran sebesar Rp48 miliar itu digunakan untuk keperluan mereka, setidaknya mereka bisa makan sehari tiga kali dengan kecukupan nutrisinya.

Lagi pula, jika memang gorden sudah benar-benar lapuk dan harus diganti, apakah gaji pejabat yang ratusan juta itu tidak bisa dialokasikan untuk gorden? Mengapa semua harus dibebankan pada APBN, sedangkan pemasukan terbesar APBN berasal dari pajak rakyat. Artinya, gorden seharga miliaran tersebut disumbang dari rakyat.

Buah dari Sistem Politik Demokrasi

Selain mempertanyakan urgensi proyek pengadaan gorden ini, penolakan juga telah datang dari berbagai kalangan. Meski demikian, proyek ini tetap berjalan dan kini aroma korupsi semakin pekat tercium. Pasalnya, pemenang tender adalah penyodor tawaran harga tertinggi. Padahal, yang namanya pengadaan barang dengan sistem tender, normalnya akan mencari barang dengan kualitas terbaik dan harga paling ekonomis.

Sedangkan gorden itu bahannya mudah sekali didapatkan sehingga untuk kualitas akan mampu bersaing antarperusahaan. Selain itu, di tahap awal, perusahaan yang tidak sesuai kualifikasinya sudah gugur sehingga ketiga perusahaan yang dianggap layak sudah teruji kualitasnya. Namun, mengapa dari ketiga perusahaan tersebut justru penawar dengan harga tertinggi malah yang memenangkan tender?

Tidak ayal, proyek ini dianggap mudarat dan tidak pantas disahkan di tengah karutnya permasalahan bangsa. Namun demikian, ini bukanlah proyek satu-satunya yang memperlihatkan hilangnya nurani para pejabat. Lihatlah proyek baju dinas, mobil dinas, dan seabrek fasilitas wah yang dialokasikan APBN untuk kenyamanan hidup para pejabat.

Semua proyek tersebut mulus tanpa hambatan. Dengan dalih agar kerja optimal, para anggota dewan tersebut dianggap layak “dianakemaskan”. Padahal, kerja mereka masih banyak disangsikan publik. Masih banyak program yang tidak menyentuh esensi persoalan, bahkan terkesan program-program yang dikerjakan hanyalah “pesanan” yang jauh dari maslahat rakyat.

Jika pun nantinya memang terbukti ada tindak korupsi, rakyat tidak akan begitu heran karena telah jamak diketahui bahwa proyek pengadaan barang dan jasa merupakan ladang basah para koruptor untuk mengerat dana. Pun, bukan hal yang aneh jika ternyata perusahaan tersebut nantinya terbukti merupakan perusahaan bodong atau perusahaan yang sengaja dibuat untuk memenangkan tender.

Ya, banyak proyek yang jika diusut akan berakhir sama. Itulah sebab, proyek gorden ini akhirnya seperti hanya menunggu “lobi-lobi politik” saja. Jika daya tawar kuat maka tidak akan terkuak. Sebaliknya, jika lemah akan berakhir di penjara. Sebab, bukan lagi satu rahasia bahwa KPK sebagai badan pemberantas korupsi pun tidak benar-benar lepas dari kepentingan politik.

Rasanya rakyat sudah muak dengan tingkah laku para pejabat yang kian hari makin berani untuk melakukan korupsi. Semua ini tentu karena para koruptor itu tidak sendiri. Mereka berjemaah dalam melakukan aksinya. Jadilah politik saling sandera, lebih baik menutup aib koruptor lainnya, dari pada korupsi yang ia lakukan dibongkar tetangga. Walhasil, sangat sulit memberantas korupsi di negeri demokrasi, karena wajah maling dan polisinya serupa. Astagfirullah
Inilah buah sistem politik demokrasi yang kapitalistik hanya menghasilkan pejabat yang tidak peka terhadap kebutuhan rakyatnya. Sedari awal mencalonkan pun bukan untuk memenuhi amanat rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan partainya. Jika pun ada pejabat yang masih memiliki hati nurani dan mementingkan rakyat ketimbang diri dan partainya, sungguh selain jumlah mereka sedikit, mereka pun akan tergerus dan tersingkir.

Pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi bagai mencincang air. Betapa tidak, hal tersebut akan sia-sia dilakukan. Sesungguhnya, demokrasilah yang menyuburkan korupsi.

Dengan sistem ini, aturan bisa diubah sesuai rezim yang berkuasa. Jika KPK dianggap ancaman maka akan dilemahkan. Jika masih ingin berkuasa, dibuatlah masa jabatan tiga periode.

Jika tidak mau dikritik, dibuatlah UU ITE. Jika banyak ormas mengancam kekuasaan, dibuatlah UU Ormas yang telah manjur membubarkan sejumlah ormas Islam. Pun, masih banyak lagi aturan yang dibuat dan diubah sesuai kepentingan penguasa.

Khatimah

Sesungguhnya, proyek minus empati seperti pengadaan gorden DPR hanyalah satu dari sekian proyek mubazir yang selalu saja diproduksi sistem demokrasi.Oleh karena itu, sungguh sia-sia saja memberantas korupsi dan menjadikan pejabat memiliki hati nurani pada sistem hari ini. Itulah sebab, harus ada sistem pengganti yang sempurna tanpa cacat. Dan Sistem pengganti itu harus lahir dari pencipta manusia, yaitu Allah Swt. agar rakyat kembali hidup dengan sejahtera dan berkeadilan. Sistem Islamlah yang mampu mewujudkan semua itu.

Sistem Islam memiliki seperangkat aturan mulai dari akidah Islam sebagai landasan bernegara, hingga penerapan hukum yang paripurna. Seperti sistem peradilan tdan sanksi yang akan menjerakan koruptor, sistem pemilihan yang hanya akan meloloskan individu yang mumpuni dan amanah.Tidakah kita semua merindukan sistem Islam yang nyata selama ratusan tahun memberikan jaminan keadilan bagi smua manusia? Wallahu a’lam.

Penulis: Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar