TEGAS.CO,. NUSANTARA – Bagai telur di ujung tanduk. Begitulah kiranya menggambarkan keadaan anak-anak Indonesia saat ini. Berbagai persoalan telah menimpa anak-anak dan menyebabkan masa depan mereka berada dalam situasi yang mengkhawatirkan.
Secara nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 3.928 kasus perlakuan kekerasa terhadap anak di Indonesia kisaran usia 13 sampai 17 tahun terhitung dari Januari hingga Juni 2020. Kekerasan pada anak tersebut, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Gusti Ayu Bintang Darmawati, meliputi kekerasan seksual, fisik maupun emosional. Namun, hampir 55 persen ialah kekerasan seksual (jabarnews.com, 22 Juli 2020).
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. jumlah tersebut berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA.sementara, sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyebut, data dari kejadian di lingkungan pendidikan membuat miris.
“Jika kita lihat dari data kejadian dalam lingkungan pendidikan membuat kita miris, karena idealnya lingkungan pendidikan menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan direnggut dan dilanggar,” jelasnya dalam Webinar Peringatan Hari Perempuan Internasional dengan tema “LAWAN TABU, PEREMPUAN BERANI BERSUARA”, Selasa (8/3/2022).
Saat ini hampir tiap hari kita disuguhi oleh berita-berita yang membuat kami kaum ibu ingin selalu memeluk anak-anak kita karena begitu tidak idealnya sistem pergaulan saat ini, beberapa berita yaitu, Pilu bocah 11 tahun di jakbar dicabuli paman hingga teman kerja ayah(detikNews 18 mei 2022).
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah dengan melakukan peringatan Hari Anak Nasional yang dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia terhadap perlindungan anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal, dengan mendorong keluarga Indonesia menjadi lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak.
Bahkan berbagai payung hukum telah dikembangkan untuk memberi jaminan perlindungan terhadap anak Indonesia. Di antaranya termaktub dalam pasal 28b ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”.
Namun cita-cita mulia ini masih menjadi impian yang belum dirasakan nyata oleh seluruh anak Indonesia. Mereka masih dilanda berbagai bentuk kekerasan yang bisa memupuskan harapan meraih masa depan yang cemerlang. Hal ini jelas sangat memprihatinkan.
Berbagai persoalan yang menimpa anak Indonesia saat ini semestinya dicari akar masalahnya. Hal ini penting sebab kekerasan pada anak, apalagi kekerasan seksual, akan menyebabkan trauma mendalam pada mereka. Bahkan sering terjadi, mereka yang pada masa kecilnya pernah merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, saat tumbuh dewasa berpotensi menjadi pelaku kriminalitas. Itulah sebabnya banyak pelaku kejahatan yang terobsesi dari pengalaman masa kanak-kanaknya yang penuh dengan kekerasan.
Padahal anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi yang jiwanya mengalami kegoncangan untuk dapat memajukan negara yang akan diwariskan kepada mereka? Jelas menjadi hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak sebenarnya menunjukkan adanya kerusakan pada masyarakat.
Masyarakat yang saat ini diatur dengan sistem kapitalisme sekuler tak lagi menjadikan aturan agama dalam kehidupan. Kehidupan sekuler menguasai mereka hingga suasana keimanan terhapus dari perbuatan yang mereka lakukan. Akibatnya nuraninya tak lagi tersentuh untuk menghentikan dirinya dari mengerjakan berbagai kekerasan.
Apalagi dengan kondisi perekonomian yang semakin sulit. Penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal telah meniscayakan sektor ekonomi dikendalikan dan dikuasai oleh korporasi. Keadilan dalam mendapatkan kehidupan yang layakpun sulit. Ditambah lagi kondisi wabah Covid-19 saat ini, jumlah pengangguran semakin bertambah, sehingga meningkatkan angka kemiskinan akibat kehilangan pekerjaan.
Sementara beban hidup semakin bertambah akibat berbagai regulasi dan pengaturan negara yang minim kepedulian kepada rakyat. Kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, harga BBM yang tak kunjung turun, tarikan Tapera dan masih banyak lagi adalah contohnya. Belum lagi sekolah daring yang menambah daftar anggaran keluarga untuk biaya kuota internet, semakin membuat sesak kondisi ekonomi rakyat.
Hal ini memicu peningkatan stres pada banyak orang tua. Tanpa pemahaman yang benar, akhirnya banyak orang tua yang melampiaskan berbagai tekanan tersebut pada anak-anaknya. Apalagi anak-anak adalah kelompok yang relatif lemah dan rentan untuk mengalami kekerasan karena tak mampu melawan.
Belum lagi dengan bebasnya konten-konten pornografi yang mudah diakses siapa saja, termasuk anak-anak. Ini juga merupakan buah dari penerapan kapitalisme yang menjadikan aspek manfaat sebagai standar segala sesuatu. Bagi para kapitalis, pornografi adalah bisnis menguntungkan yang akan mangalirkan banyak keuntungan ke dalam pundi-pundi mereka. Wajarlah bila keberadaannya dipertahankan bahkan diberi ruang yang luas untuk berkembang.
Akibatnya, hal itu semakin meningkatkan dorongan untuk memuaskan nafsu syahwat bagi orang-orang yang tipis iman. Dan sekali lagi anak-anak juga yang akhirnya menjadi sasaran empuk predator seksual. Bahkan mirisnya, kekerasan seksual banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat anak.
Kebebasan berperilaku juga menghantarkan pada tumbuh suburnya perilaku menyimpang seksual seperti L637. Banyak kasus pedofilia dilakukan oleh pengikut kaum sodom seperti kasus JIS yang sempat menghenyakkan perhatian publik Indonesia beberapa tahun lalu. Ironisnya, kaum pelangi bengkok ini masih saja diberi “panggung” sehingga mereka semakin berani tampil dan menuntut pengakuan atas keberadaannya di masyarakat.
Demikianlah, jelas sudah biang kerok maraknya kekerasan pada anak dipelopori oleh kapitalisme sekuler. Sistem hidup buatan manusia ini meniscayakan kerusakan yang semakin parah di semua aspek. Karena penerapan aturannya yang tidak sesuai fitrah inilah perlindungan terhadap anak seolah menjadi mimpi yang sulit untuk diraih.
Islam Melindungi Anak
Sangat berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang anak adalah bagian dari masyarakat yang harus dipenuhi segala haknya secara utuh. Sebab Islam memandang negara adalah pengatur urusan seluruh rakyat termasuk anak-anak. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Penyelesaian kasus kekerasan pada anak akan tuntas dengan syariat Islam. Negara sebagai penerap aturan Islam pada rakyat akan menghilangkan berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhdap anak.
Negara wajib memastikan berbagai aktivitas maupun hal-hal yang dapat memicu terjadinya kekerasan pada anak tidak ada, termasuk keberadaan konten pornografi, baik yang membuat, memanfaatkan maupun yang menyebarkannya. Di sisi lain, pembinaan terhadap umat akan terus menerus dilakukan untuk menciptakan suasana kerohanian di dalamnya. Sehingga akan terwujud masyarakat yang memiliki perasaan Islam yang tinggi dan memiliki kepedulian terhadap sesama serta senantiasa menjadikan halal haram sebagai standar dalam melakukan setiap perbuatan.
Negara harus memastikan juga keluarga-keluarga dapat menjalankan interaksi dan pola asuh yang kondusif sesuai dengan syariat Islam bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga anak akan mendapatkan jaminan kasih sayang, tercukupi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya dan tumbuh menjadi sosok yang mengerti adab Islami.
Untuk itu negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara serta menciptakan keadaan yang kondusif bagi setiap orang untuk bisa menjalankan aktivitas demi pemenuhan kebutuhan primer maupun kebutuhan penunjang lainnya. Sehingga faktor ekonomi tak akan menjadi alasan untuk melakukan kekerasan pada anak.
Tak ketinggalan penerapan sanksi yang tegas harus ditegakkan. Sebab sanksi yang diberlakukan ini turut menjamin penjagaan terhadap harta, jiwa dan kehormatan setiap individu masyarakat, termasuk anak-anak. Sanksi ini bukan hanya berfungsi sebagai hukuman bagi para pelanggar syariat, namun juga menimbulkan efek jera bagi siapapun, sehingga tak ada seorangpun yang tertarik untuk melakukan hal yang serupa di masa datang
Begitulah Islam memberikan perlindungan hakiki kepada anak. Dengan penerapan Islam Kaffah, perlindungan terhadap anak bukanlah mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Bahkan anak-anak akan merasakan keamanan dan kesejahteraan yang sesungguhnya saat mereka hidup di bawah naungannya.
Dengan sistem pendidikan Islam yang dijalankan oleh negara, mereka akan tumbuh menjadi sosok berkepribadian Islam tinggi dan mulia. Menjadi penyebar risalah mulia ini serta menjadi penegak peradaban yang akan disegani di seluruh dunia. Wallahu a’lam bish-showwab.
Penulis: Fitri Ginarti
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar