Ulang Alik BPJS, Bukti Kesehatan Dikomersilkan

drg. Endartini Kusumastuti (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Aturan mengenai BPJS akan bergulir lagi. Kali ini bukan mengusung slogan ‘gotong royong’, melainkan berganti menjadi ‘keadilan’. Sebagimana dikemukakan pihak pemerintah sendiri, yakni Menteri Kesehatan mengatakan bahwa intinya pemerintah tidak ingin BPJS Kesehatan defisit, tapi masih harus memastikan BPJS tetap positif namun mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan peserta yang berpenghasilan lebih besar maka akan semakin besar pula nominal iurannya. Asih menegaskan bahwa perubahan besaran iuran tersebut akan diterapkan setelah revisi Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan selesai. (ekonomi.bisnis.com, 25/01/2022)

Selama ini BPJS Kesehatan tidak ubahnya asuransi. Dengan embel-embel jaminan kesehatan, rakyat membayar sejumlah premi demi mendapatkan layanan kesehatan. Namun, di manakah letak jaminan kesehatan yang dimaksud? Yang namanya jaminan kesehatan, mestinya dijamin baik dari pelayanan ataupun pembiayaannya.

Faktanya, negara ataupun BPJS Kesehatan sejauh ini belum menjamin apa-apa. Istilah “jaminan” hanyalah kamuflase untuk memalak rakyat. Lebih tepatnya, penguasa sedang menjamin dirinya sendiri agar tidak perlu repot-repot keluar biaya kesehatan untuk rakyat.

Lagi pula, kepesertaan BPJS Kesehatan tak berdampak pada layanan kesehatan untuk rakyat. Fakta di lapangan, warga harus antre demi mengurus administrasi yang ribet, pelayanannya lama, dan sering kali pasien BPJS Kesehatan mendapat perlakuan diskriminatif dibanding pasien non-BPJS Kesehatan.

Hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Status peserta BPJS Kesehatan seakan menjadi warga kelas dua yang tidak mendapat perhatian lebih. Inilah efek kapitalisasi dunia kesehatan. Layanan kesehatan menjadi komoditas bisnis untuk mengeruk keuntungan.

Dalam perjanjian GATS, kesehatan termasuk dalam sektor jasa. GATS (General Agreement on Trade in Services) merupakan salah satu perjanjian di bawah WTO (World Trade Organization) yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa. Tujuannya, untuk memperdalam dan memperluas tingkat liberalisasi sektor jasa di negara-negara anggota.

Ilusi keadilan dan pelayanan kesehatan berkualitas makin kuat karena kebatilan sejak dari asas paradigma dan konsep, yakni kesehatan adalah komoditas untuk dikomersialkan sebagaimana dicanangkan WTO dalam GATS.

Pada saat bersamaan, sesuai tuntutan good governance, negara hadir sekadar sebagai pembuat aturan (regulator) bagi kepentingan berbagai korporasi kesehatan, dalam hal ini khususnya BPJS Kesehatan.

Sebagai negara berkembang yang terikat perjanjian internasional, Indonesia harus mengikuti permainan kapitalisme global. Oleh karenanya, kapitalisasi sektor kesehatan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Negara tidak lagi menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyat. Konsep inilah yang sebenarnya menjadi penyakit bagi sistem kesehatan hari ini.

Dilihat dari segi mana pun, kapitalisme sejatinya telah gagal memberi perlindungan dan jaminan. Dari aspek kepemimpinan, penguasa terpilih tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Inpres No.1 Tahun 2022 adalah salah satu bukti konkretnya. Negara justru membuat kebijakan yang mempersulit rakyat.

Penguasa menerbitkan aturan yang mengada-ada. Apa hubungannya BPJS Kesehatan dengan SIM, STNK, dan jual beli tanah? Inikah model kepemimpinan yang merakyat dan berkeadilan?

Sangat berbeda dengan sistem Kapitalisme saat ini, Islam teruji selama puluhan abad sebagai pelayan kesehatan yang adil berkualitas. Layanan kesehatannya begitu mudah terakses kapan pun dan di mana pun saat dibutuhkan tanpa beban finansial (terjangkau bahkan gratis), hingga bagi yang berpura-pura sakit sekalipun. Karena di dalam Sistem Islam, kesehatan adalah hak dasar publik yang wajib negara penuhi.

Oleh karenanya, negara Khilafah menjadikan sistem kesehatan sebagai hal penting dan utama. Dari aspek paradigma, Islam memandang negara adalah penyelenggara utama sistem kesehatan. Negara akan memenuhi kebutuhan itu dengan memberi jaminan kesehatan berupa pelayanan maksimal dan gratis.

Dari aspek pembiayaan, Baitulmal sebagai sumber pemasukan negara akan membiayai segala hal yang dibutuhkan di bidang kesehatan. Seperti pendidikan SDM kesehatan berkualitas, rumah sakit dengan fasilitas lengkap, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan, riset biomedis, pusat penelitian dan laboratorium, gaji tenaga kesehatan yang cukup, serta segala sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan seperti listrik, air, dan transportasi.

Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika W. Durant tentang Rumah Sakit Al-Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, ” … Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan kepada tiap pasien yang sudah bisa pulang agar tidak perlu segera bekerja.” (W. Durant. The Age of Faith; op cit; pp 330-1).

Sistem kesehatan Khilafah yang tumbuh dalam sistem kehidupan Islam meniscayakan tersedianya secara memadai segala aspek yang dibutuhkan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas, dan terbaik. Allah Swt. berfirman dalam QS Ibrahim (14): 24—25, “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya menjulang ke langit; (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan izin Rabb-nya.

Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” Dengan demikian, kembalinya Khilafah ke tengah umat hari ini merupakan hajat mendesak bagi setiap insan. Lebih dari itu, Khilafah adalah ajaran Islam yang Allah Ta’ala syariatkan kepada kita semua. Wallahualam.

Penulis: drg. Endartini Kusumastuti (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar