TEGAS.CO,. NUSANTARA – Masyarakat kembali menjerit. Setelah harga minyak goreng mulai berangsur turun dari yang sebelumnya melambung tinggi. Kini yang jadi persoalan baru yang dihadapi masyarakat adalah kenaikan harga telur ayam ras di pasaran.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, tercatat per 23 Agustus 2022 harga telur ayam ras di tingkat eceran mencapai Rp 31.000 per kilogram atau naik sekitar 2,9 persen dibandingkan seminggu sebelumnya dan naik sekitar 6,1 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. (Kompas.com, 25/08/2022).
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan bahwa kenaikan harga telur ayam disebabkan oleh adanya Bantuan Sosial (Bansos). Permintaan telur ayam dari Kementerian Sosial untuk keperluan Bansos membuat demand akan telur ayam tinggi, sehingga berpengaruh pada kenaikan harga. (Kompas.com, 26/08/2022)
Sebelumnya, Presiden Peternak Layer Indonesia Ki Musbar Mesdi juga sempat membeberkan penyebab harga telur ayam ras naik menjadi Rp 30 ribu per kilogram. Dia mengatakan kenaikan terjadi karena harga pakan melambung.
Di saat yang sama, kondisi geopolitik dunia dan pandemi Covid-19 telah menekan harga komoditas pangan secara global. Kenaikan harga pakan ayam menyentuh 27 persen. Sedangkan untuk harga jagung melonjak 30 persen. Melambungnya harga jagung tak terlepas dari peningkatan harga pupuk yang menyentuh 20 persen. (Tempo.co, 3/6/2022)
Di satu sisi terdapat wacana yang menyebutkan konflik Rusia dan Ukraina berdampak pada rantai produksi maupun distribusi pangan pada beberapa negara menjadi terhambat. Alhasil hal ini juga berdampak pada melonjaknya harga komoditas tertentu, termasuk harga pakan ayam.
Fakt lain kemudian dijelaskan oleh salah satu peternak ayam petelur asal Desa Karangcengis, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Eko Sugitno terkait persoalan ini. Dia menjelaskan, keputusan para peternak memangkas populasi karena kerugian yang dialami para peternak pada periode September 2021 hingga April 2022.
Pada periode itu, para peternak rugi karena banyaknya pemodal besar yang mendadak membuka peternakan ayam petelur. Hal ini dipicu permintaan yang begitu tinggi seiring kebijakan pemerintah menggelontor bantuan sosial berupa bahan pangan.
Sayangnya, kebijakan bansos belakangan tak berlanjut. Padahal para peternak terlanjur menambah populasi ayam untuk memenuhi permintaan. Sehingga, terjadi over populasi. Produksi telur melimpah namun serapan minim. Para peternak akhirnya banting harga dan mengalami kerugian signifikan. Ini membuat sebagian peternak gulung tikar. (Liputan6.com, 25/82022)
Kaptalisme Tak Memihak Rakyat
Seperti tidak ada habisnya, hampir tiap waktu rakyat di buat gigit jari dengan kenaikan berbagai bahan pokok. Melonjaknya harga telur ayam menjadi salah satu bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola masalah peternakan.
Kapitalisme terbukti gagal menjadikan negara mandiri dalam penyediaan pakan ternak sebab masih bergantung pada suplay luar negeri, padahal pakan ayam salah satunya jagung sendiri sudah cukup berlimpah di dalam negeri.
Di samping itu, kapitalisme juga memberi ruang kepada para korporat menguasai salah satu sumber ekonomi negara dari peternakan.
Terbukti dari fakta yang diungkapkan oleh peternak ayam petelur asal Purbaliggo tersebut dimana, dengan mudahnya para pemodal besar membuka peternakan ayam saat permintaan telur sedang meningkat, yang akibatnya tentu akan berdampak pada peternak-peternak kecil.
Kapitalisme pada dasarnya memang dibangun di atas landasan materialisme yakni berstandar pada nilai materi. Hak-hak rakyat menjadi terabaikan sebab yang menjadi tolak ukur keluarnya suatu kebijakan dari para penguasa bukan berdasar pada kemaslahatan rakyat tetapi hanya berdasar pada nilai keuntungan semata.
Buktinya di saat ekonomi rakyat belum stabil pasca pandemi, beban rakyat justru ditambah dengan berbagai kenaikan harga bahan-bahan pokok. Tak hanya itu, harga BBM subsidi pun ikutan naik, imbasnya tarif ojol pun ikutan naik pula. Maka tak heran bila kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi kapitalis yang di emban negara saat ini lambat laun bisa saja mulai lenyap.
Saatnya Kembali Pada Sistem Shahih
Mewujudkan kemandirian pangan tak bisa terwujud kecuali hanya jika sistem yang diterapkan oleh negara adalah sistem shahih yang telah teruji kebenaran dan kesempurnaannya.
Sistem tersebut tentu hanya bersumber dari sang maha sempurna pula. Di jelaskan di dalam Al-Quran, satu-satunya agama yang sempurna hanyalah Islam. Islam tak sekadar sebuah aqidah tapi juga merupan mabda (ideologi) yang melahirkan sistem kehidupan yang paripurna.
Di dalam politik pangan Islam, negara memiliki kewajiban menjamin pemenuhan pangan seluruh individu rakyat secara adil dan merata dengan harga yang terjangkau.
Negara juga akan membatasi keterlibatan aktor asing baik dalam produksi maupun distribusi pangan. Sebab memang telah menjadi tugas dan peran negara menjadi pelayan dan pengurus urusan setiap rakyat, termasuk dalam hal pengelolaan kebutuhan pangan.
“Imam/ Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dengan mekanisme seperti ini pelonjakan harga bahan pokok seperti telur akibat pengaruh impor pangan dari luar negeri dapat dihindari.
Negara juga dapat lebih mandiri dalam pengelolaan dan pengaturan harga bahan kebutuhan pokok, para petani lokalpun dapat terhindar dari persaingan impor luar negeri. Oleh sebab itu, saatnya kembali pada sistem Islam yang sempurna ini agar kenaikan-kenaikan bahan kebutuhan pokok yang mencekik rakyat tak lagi terjadi.
Wallahu’alam Bisshawab
Penulis: Nurhikmah (Tim Pena Ideologis Maros)
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar