Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim Dorong Ekonomi Hijau

Rapat Koordinasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang diselenggarakan oleh Bappeda Sultra bersama Kementerian PPN/ Bappenas di Claro Hotel Kendari, Selasa (11/10)

TEGAS.CO,. SULAWESI TENGGARA – Kementerian PPN/ Bappenas Bersama Bappeda Sulawesi Tenggara (Sultra) melaksanakan Rapt koordinasi (Rakor) Penurunan Emisi Gas Rumah kaca di Hotel Claro Kendari, Selasa (11/10/2022).

Dalam paparannya Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/ Bappenas yang diwakili oleh Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim Irfan D. Yananto menyampaikan bahwa kedepannya secara global akan menghadapi 3 (tiga) tantangan besar terkait dengan aspek lingkungan, yaitu perubahan iklim, polusi, dan isu tentang kehilangan keanekaragaman hayati.

Iklan KPU Sultra

“secara umum dikenal dengan Triple Planetary Crises, dimana ini adalah krisis yang mengancam kita sebagai manusia dan bumi kedepan,” katanya

Untuk perubahan iklim, sekitar 50-75 persen dari populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim yang mengancam jiwa di di 2100 (IPCC, 2022)

“IPCC di 2022 mereka sudah mengeluarkan kode merah, bahwa aspek perubahan iklim ini sudah harus ditangani lebih serius, karena di 2021 saja kita sudah mencapai suhu sampai 1,1 C,” ungkapnya.

Hal ini, jelasnya, lebih tinggi jika dibandingkan dengan masa revolusi industri. Saat ini target yang harus dicapai adalah menahan satu setengah derajat di 2050.

Sedangkan dari sisi polusi, menjadi salah satu kontributor yang cukup besar penyebab tingginya penyakit dan kematian di tingkat global hingga mencapai 4,2 juta kematian setiap tahunnya.

Begitu juga keanekaragaman hayati, tentu berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem.

“Data dari IPBES pada 2019 itu sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan mengahdapi ancaman kepunahan,” lanjutnya.

Munculnya Triple Planetary Crises di tengah wabah covid-19 dan ketidakstabilan geopolitik yang sedang berlangsung dapat mengancam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Sedangkan pada tingkat nasional, peningkatan intensitas kejadian becana hidrometeorologi di Indonesia pada 2011 hingga 2021 mencapai 5.402 kejadian bencana alam (tahun 2021).

Sekitar 98 sampai 99 persen dari total jumlah kejadian bencana alam yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi.

Jika tidak ada intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia pada 4 (empat) sektor, yaitu pesisir dan laut, air, pertanian serta kesehatan dapat mencapai Rp544 triliun, dengan rincian

  1. Pesisir dan laut 408 triliun
  2. Air 28 triliun
  3. Pertanian 78 triliun
  4. Kesehatan 31 triliun

Kebijakan ketahanan iklim sebagai salah satu prioritas dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga 2024.

Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau

Ekonomi Hijau sebagai bagian dari Strategi Transformasi Ekonomi untuk mendorong Indonesia lepas dari Middle Income Trap sebelum 2045

Diperlukan adanya transformasi ekonomi, melalui pergeseran struktur ekonomi dari sektor kurang produktif ke sektor lebih produktif (industrialisasi), pergeseran produktivitas antar sektor.

Salah satu strategi transformasi ekonomi adalah melalui Ekonomi Hijau dengan Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim

Ekonomi Hijau merupakan model pembangunan ekonomi untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dengan fokus pada investasi dan akumulasi modal yang lebih hijau, infrastruktur hijau, dan pekerjaan yang ramah lingkungan, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan.

Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim Menjadi “backbone” dalam Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Ekonomi Hijau

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di 2024 mencapai 27,3 persen. Sedangkan intensitas emisi di tahun yang sama mencapai 31, 6 persen.

Untuk pembanguna berketahanan iklim sendari dibagi menjadi pesisir dan laut, air, pertanian, serta kesehatan.

Perubahan iklim merupakan isu lintas sektoral yang melibatkan tiga dimensi keberlanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial). Pembangunan berkelanjutan tercapai ketika ketiga dimensi tersebut bertepatan.

Bappenas telah menjadikan Goal nomor 13 (Perubahan Iklim) dari SDG sebagai pondasi dari ketiga pilar Pembangunan Berkelanjutan (Pilar Ekonomi, Pilar Sosial, and Pilar Lingkungan). Integrasi SDG ke dalam rencana Pembangunan Nasional bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan sosial seiring dengan menurunkan emisi GRK.

Pemantauan Implementasi Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim

Selaras dengan PP 39/2006 mengenai Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemantauan implementasi PRK dan PBI menggunakan platform AKSARA sebagai alat bantu dan platform perekaman aksi yang transparan, akurat, lengkap, konsisten dan terintegrasi.

Adapun tujuan dari AKSARA antara lain:

  1. Menyediakan data dan informasi PRK dan PBI Indonesia yang akurat, transparan, dan partisipatif.
  2. Menyediakan sistem pengumpulan dan pelaporan capaian aksi PRK dan PBI kolaboratif lintas sektoral, pusat-daerah.
  3. Mendukung kredibilitas dan transparansi pelaporan pencapaian penurunan emisi dan kerugian ekonomi yang dihindari kepada masyarakat internasional.
  4. Menyediakan data yang up-to-date yang dapat digunakan dalam proses evaluasi dan perencanaan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang lebih baik selanjutnya.

Mekanisme Perencanaan, Penganggaran dan Pelaporan PRK dan PBI Tingkat Nasional dan Daerah

AKSARA menghadirkan berbagai fasilitas bagi pemerintah pusat, daerah, dan non state actor (NSA)/swasta dalam memantau implementasi dari aktivitas-aktivitas pembangunan rendah karbon yang telah dijalankan. Pengawasan dan pemantauan yang teliti diperlukan untuk mengukur keberhasilan dan ketepatan AKSARA.

Perubahan iklim bukan hanya merupakan isu lingkungan, tetapi merupakan isu pembangunan. Kebijakan dan kegiatan penanganan perubahan harus dilakukan secara terintegrasi melalui pendekatan HITS (Holistik, Integrated, Thematic, Spatial).

Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan beremisi GRK rendah dan optimalisasi eksploitasi SDA, serta dapat meningkatkan ketahanan terhadap dampak dari perubahan iklim.

Diperlukan keterlibatan berbagai pihak, khususnya kabupaten/kota, dalam proses perencanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kegiatan PRK untuk menyukseskan langkah menuju Ekonomi Hijau.

Penulis: YUSRIF ARYANSYAH

Komentar