Menyikapi Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menyikapi Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga
ILUSTRASI

Tidak ada agama yang mengizinkan kekerasan kepada sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Jangankan kekerasan kepada manusia, manusia tidak boleh berbuat aniaya kepada sesama makhluk.

Islam mensyariatkan pernikahan sebagai hubungan yang didasari iman dan cinta. Dalam memilih pasangan, iman adalah syarat kafaah utama. Setelah agama, cinta adalah fondasi yang menjaga keharmonisan rumah tangga.

Iklan Pemkot Baubau

Dengan dua fondasi ini maka pernikahan dapat menjadi hubungan yang menyempurnakan agama dan mengalirkan kebahagiaan bagi kedua pasangan.

Menyelesaikan masalah dalam hubungan pernikahan

Pernikahan bukan hubungan yang serta merta sempurna. Setelah menikah, suami dan istri sama-sama belajar menyesuaikan perbedaan dan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan, sehingga tindakan keduanya sejalan dan seirama.

Tanpa usaha tersebut, hubungan pernikahan mungkin tidak harmonis, banyak konflik, dan tak jarang berujung pada tindak kekerasan, baik dari suami maupun istri.

Saat ada masalah, masing-masing pasangan hendaknya belajar untuk mengendalikan emosi dan ego. Suami maupun istri berusaha untuk tidak meluapkan perasaan dengan cara tak pantas, baik berupa caci-maki maupun pukulan.

Rasulullah ﷺ sering mengingatkan umatnya agar berbuat baik kepada pasangan, beliau ﷺ bersabda:

فاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ

Bertakwalah kepada Allah dalam perihal perempuan, sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah, dan kaliah telah menghalalkan mereka untuk kalian dengan kalimat Allah (HR Muslim no. 1218).

Laki-laki yang hebat adalah mereka yang tidak memukul istrinya walaupun ia merasa layak melakukannya. Begitu pun istri yang baik adalah yang tak melontarkan caci-maki kepada suami walaupun sang suami pantas mendapatkannya.

Jika pertikaian berujung pada kekerasan verbal atau fisik, maka hal ini membutuhkan penyelesaian yang berbeda.

Permasalahan yang berujung KDRT

Hak asasi manusia tidak berkurang setelah terjadi pernikahan. Hak atas keselamatan diri dan tidak diperlakukan semena-mena seorang laki-laki dan perempuan tak berubah ketika keduanya menikah.

Bagaimanapun suami tak berhak menyakiti istri, begitu pula sebaliknya. Jika seseorang menerima tindak kekerasan dari pasangannya, maka ia boleh menceritakan atau mengadukan hal tersebut kepada pihak yang punya wewenang dan mampu memberikan solusi bagi keduanya.

Menghadapi perlakuan kasar suami, para istri di zaman Rasulullah ﷺ mencontohkan bahwa mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ pun kemudian memperingatkan para suami dan berkata:

لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

Sungguh para perempuan telah mendatangi kediaman keluarga Muhammad mengadukan perlakuan (kasar) suami mereka. Mereka (yang berlaku kasar kepada keluarga) itu bukanlah orang yang baik di antara kalian (HR. Abu Dawud no. 2146).

Negara mengatur bahwa tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk dalam tindak pidana, sehingga pihak korban, baik istri maupun suami berhak mencari perlindungan dari tindakan KDRT.

Dalam kasus KDRT, negara menjamin bahwa korban dan pelaku akan mendapatkan keadilan sesuai dengan apa yang terjadi. Maka dari itu, negara adalah salah satu pihak yang bisa diserahi wewenang menyelesaikan kasus KDRT.

Islam tidak merestui tindakan KDRT

Rasulullah ﷺ membawa ajaran Islam dan berusaha mengangkat status agama dan sosial perempuan hingga sama dengan kaum adam.

Al-Qur’an tidak mengizinkan suami memperlakukan istri semena-mena, bahkan saat istri berbuat durhaka. Allah selalu mengajarkan kita untuk menyelesaikan masalah dengan penuh kelembutan.

Dalam hubungan pernikahan, Islam lebih mengutamakan komunikasi, memberikan perhatian, dan memberikan contoh daripada menyakiti, apalagi memukul hingga mengakibatkan kerusakan organ.

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa pukulan tidak boleh menyakiti dan tidak boleh meninggalkan bekas (HR. Ibnu Majah no. 1851).

Sahabat Mu’awiyah Al-Qusyairi ra. bertanya kepada beliau ﷺ tentang hak istri atas suami, Rasulullah ﷺ menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

Kamu (suami) memberinya makan apabila kamu makan, memberinya pakaian apabila kamu berpakaian, janganlah kamu memukul wajah, menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan meninggalkannya (pisah ranjang) kecuali di dalam rumah (HR Abu Dawud no. 2142).

Rasulullah ﷺ tidak pernah memukul istrinya, karena beliau ﷺ adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya, sesuai sabda beliau ﷺ:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada istriku (HR Tirmidzi no. 3895).

Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang penuh kasih sayang, dan mengikuti teladan Rasulullah ﷺ menjadi yang orang yang baik bagi pasangan dan anak kita. Aamiin.

Referensi: Muhammad bin Ismail Al-Bukhari; Sahih Bukhari, Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi; Shahih Muslim, Abu Dawud As-Sijistani; Sunan Abi Daud, Abu ‘Isa At-Tirmidzi; Sunan Tirmidzi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

REDAKSI

Komentar