Pengecer Minol Tabrak Aturan, Regulasi ala Kapitalisme Mines Hukum Ilahi

Pengecer Minol Tabrak Aturan, Regulasi ala Kapitalisme Mines Hukum Ilahi. Foto: Irda Yanti Isro (freelance writer Kendari)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Minuman beralkohol (Minol) nampaknya masih bebas diperjual-belikan. Bahkan penjualannya tidak hanya di etalase toko tapi bahkan sampai di warung kecil hingga usaha rumahan.

Baru-baru ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Baubau melalui Bidang Perdagangan, Dedi Jabir mensinyalir ada sejumlah pengecer minol diduga kegiatannya menabrak aturan (butonpos.fajar.id, 17/09/2022).

Iklan Pemkot Baubau

Dia mengatakan bahwa sejumlah pengecer minol menjual di luar wilayah yang telah ditetapkan Perda serta ketentuan Mentri Perdagangan. Yakni seperti dekat dengan tempat ibadah, sekolah, terminal, kios-kios kecil, tempat perkemahan, gelanggang olahraga (Stadion) dan pemukiman,” Kata Dedi pada awak media KilasSultra.com, Jum’at (16/9/2022).

Kalau dicermati, maka kita akan mendapati bahwa sesungguhnya yang disebut sebagai pelanggaran aturan yang dimaksud bukan karena minuman beralkohol itu diharamkan syariat, merusak akal, dan induk segala kejahatan. Tetapi tempat penjualannya yang tidak sesuai lokasi yang dibolehkan.

Artinya kalau para pengecer ini tidak menyalahi aturan lokasinya maka boleh saja tetap dijajakan. Padahal minuman beralkohol itu haram, tidak sepatutnya menjadi komoditas dagangan hanya karena mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Minuman beralkohol bebas diperjualbelikan dalam sistem sekuler hari ini. karena standarnya ada pada keuntungan. Segala hal yang dapat memberi keuntungan materi, maka akan diberikan akses untuk diperjualbelikan.

Ditambah regulasi soal khamar ini juga begitu sulit ditetapkan karena basis regulasinya abu-abu, tidak jelas. Pada awalnya, pengaturan khamar adalah karena dampaknya yang sangat buruk di masyarakat, seperti kematian, memicu kejahatan pembunuhan, pemerkosaan, kecelakaan dan lainnya.

Simak saja RUU Larangan Minuman Beralkohol yang sejak periode DPR RI 2009-2014 ini diusulkan pun masih mandek pada judul. Kata “larangan” dinilai terlalu ketat sehingga mengkhawatirkan banyak pihak. Kata “larangan” kemudian diusulkan diganti “pengaturan”.

Konsekuensinya, khamar boleh beredar, diatur, bahkan yang mempermasalahkan berarti melawan UU. Disisi lain, hal ini memberikan gambaran bagaimana negara dalm sistem kapitalis sekuler angkat tangan dalam pemenuhan kebutuhan individu rakyatnya. Sehingga rakyat, dalam pemenuhan kebutuhannya, tidak akan didapati standar halal haram.

Selama masih ada permintaan terhadap barang-barang yang haram, maka selama itu pula akan dilakukan segala upaya untuk mendapatkan. Termasuk melanggar aturan dalam hal peredaran minol.

Kalau saja pemerintah menggunakan basis syariat dalam menetapkan regulasi khamar, masalahnya akan menjadi sangat sederhana dan solusinya mudah, bahwa khamar itu haram menurut syariat, merusak akal, dan induk segala kejahatan sehingga negara harus melarang peredarannya di tengah masyarakat.

Semrawut problematik khamar ini hanya bisa terurai dan disolusi secara paripurna dengan penerapan syariat kafah oleh negara.

Terkait khamar, Islam telah mengatur dan memberikan penyelesaian yang praktis sebab Islam menggariskan dengan sangat terperinci tentang produksi, promosi, dan distribusi suatu komoditas di tengah masyarakat. Islam menjaga individu masyarakat terjaga dari zat-zat yang diharamkan.

Regulasi syariat terkait khamar sangat jelas. Khamar adalah barang haram, sekalipun bernilai ekonomi. produksi, promosi, dan distribusi khamar di tengah masyarakat dilarang dan ada sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan ini.

Tidak boleh ada pemilik usaha yang memproduksi dan mengedarkan khamar dalam kehidupan publik. Tidak akan didapati ada individu yang melanggar aturan berkaitan dengan minol ini karena meminumnya saja disanksi apalagi mengedarkannya.

Wallahu’Alam.

Penulis: Irda Yanti Isro (freelance writer Kendari)

Publsiher: Yusrif Aryansyah

Komentar