Kawasan Hutan PT. Antam Terjarah Tanpa Reboisasi, Negara Rugi Besar, Tanggung Jawab Siapa?

 

Kawasan Hutan PT. Antam Terjarah Tanpa Reboisasi, Negara Rugi Besar, Tanggung Jawab Siapa?
Julianto Jaya Perdana

Oleh : Julianto Jaya Perdana
Direktur Eksekutif Law Mining Center

TEGAS.CO, KENDARI – Iklim investasi di Sulawesi Tenggara (Sultra) kini semakin menjadi sorotan dan kian membuka perhatian publik. Bagaimana tidak, potensi sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah investor saling berbondong-bondong menanamkan investasinya untuk raup pundi-pundi rupiah.

Tidak jarang, bahkan regulasi yang telah ditetapkan dalam menunjang pertambangan yang seharusnya mampu menerapkan metode good mining practic kerap kali dilanggar, agar mengurangi cost dalam melakukan aktivitas pertambangan.

Salah satu contonya, yang paling kerap terjadi adalah pertambangan tanpa memperoleh izin, dan perambahan kawasan hutan tanpa izin/pengrusakan hutan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Sehingga penulis tertarik untuk mengulik kasus pertambangan yang kerap menuai sorotan, khususnya di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Antam Tbk di Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pasalnya, usai PT. Antam memenangkan kasus peradilan tumpang tindih IUP antara 11 IUP di Konawe Utara, kini muncul hasil audit BPK terkait bukaan lahan di areal kawasan hutan di IUP PT. Antam Tbk. Sehingga muncul pertanyaan besar penulis adalah, siapa yang akan bertanggungjawab atas bukaan lahan di kawasan hutan tersebut ?

Mengulik Kegiatan Tambang Ilegal di Wilayah IUP PT. Antam Tbk

Berdasarkan Hasil Audit BPK 7 Januari 2022, sekitar 402, 38 hektar are bukaan lahan kawasan hutan telah dilakukan oleh perusahaan-perusahan lain.

Uraiannya, sesuai Surat Keputusan Bupati Konawe Utara Nomor 158 Tahun 2010 tertanggal 29 April 2010 luas IUP PT Aneka Tambang (Antam) yang berlokasi di Kecamatan Asera dan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 16.920 hektar are.

Hal tersebut sesuai dengan data peta SHP WIUP aktif Kementerian ESDM per 1 Oktober 2021 seluas 16.849,17 hektar are. Dengan rincian, di Kawasan Hutan Lindung seluas 6.042,20 hektar are, Hutan Produksi 2.135,27 hektar are, Hutan Produksi Konversi 2.257,39 hektar are, Hutan Produksi Terbatas 1.752,25 hektar are, di Areal Penggunaan Lain (APL) 4.437,66 hektar are dan di Laut 224,40 hektar are.

Hasil pemeriksaan fisik secara uji petik yang dilakukan oleh BPK dan didampingi oleh BPKH Wilayah XXII, Balai Gakkum Wilayah Sulawesi, KPH Konawe Utara pada 17-19 Oktober 2021 pada area WIUP PT AT Nomor 158 Tahun 2010 dengan mengambil citra foto menggunakan drone menunjukkan, terdapat bukaan dalam kawasan hutan akibat kegiatan pertambangan.

Hasil analisis spasial dan digitasi atas bukaan lahan tanpa izin di dalam WIUP PT Antam Tbk. yang tumpang tindih dengan 11 IUP perusahaan lainnya seluas 2.425,94 hektar are, menunjukkan bahwa terdapat bukaan lahan seluas 402,38 hektar are berupa aktivitas pertambangan tanpa IPPKH. (sumber : betahita.id)

Atas dasar hal tersebut, management PT. Antam memberikan keterangan bahwa tidak pernah melakukan aktivitas, namun perusahaan lainlah yang memiliki IUP di areal tumpang tindih antara PT. Antam Tbk.

Sehingga, karena bukaan lahan sebanyak 402,38 hektar are dari Hasil Audit BPK kurang lebih Rp. 6.047.456.477,40 per tahunya negara mengalami kerugian bila hasil tambang tersebut keluar.

Padahal menurut penulis, jika PT. Antam Tbk Molawe dan Langgikima mampu dikelola dengan baik, seharusnya mampu mendapatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan salah satu bagian diantaranya, jika dikelola dengan baik adalah selain potensi PNBP IPPKH, terdapat pula potensi penerimaan negara berupa PNBP Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) atas penggantian nilai intrinsik dan hasil hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari hutan negara, serta dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari hutan negara.

Kesimpulan penulis adalah, terkait dengan siapa yang akan mempertanggungjawabkan masalah reboisasi hutan di wilayah PT. Antam Tbk. Karena menurut penulis masalah utamanya adalah simpang siurnya/lalainya putusan pengadilan MA. No 448/K.TUN/2019 karena tidak adanya kepastian hukum majelis hakim saat memberikan putusan siapa yang akan bertanggungjawab terkait reboisasi hutan di wilayah PT. Antam Tbk

Tentunya besar harapan penulis, agar kiranya DPR RI mengundang seluruh stakeholder untuk mencari jalan keluar terkait reklamasi hutan di Wilayah IUP PT. Antam Tbk, dan besar harapan penulis agar kiranya mampu menertibkan seluruh penambang ilegal di Provinsi Sulawesi Tenggara, Namun penertiban tersebut penulis berharap lebih mengedepankan konsep pidana ultimum remedium kepada pengusaha lokal.

Publisher : MAHIDIN

Komentar