Oleh Ummu Alifah (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
Langkah-langkah untuk perbaikan generasi mutlak sangat dibutuhkan dewasa ini. Tantangan zaman global yang kian masif mengarah pada budaya kebebasan yang merusak telah menjadikan generasi di negeri ini yang notabene muslim kian jauh dari rel kebenaran. Diperlukan upaya dan langkah bersama semua kalangan negeri dalam mewujudkan asa tersebut.
Berdasarkan informasi yang disampaikan tvnews.com (30/10/2022), bahwa kepolisian Metro Jakarta Pusat telah menghentikan konser ‘Berdendang Bergoyang’ pada 29 Oktober 2020 di Istora Senayan, Jakarta. Bahkan hari berikutnya kepolisian dengan tegas mencabut izin penyelenggaraan yang sedianya akan berjalan 3 hari, yakni tanggal 28-30 Oktober. Ada beberapa alasan terkait penghentian kegiatan tersebut sebagaimana disampaikan oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombespol Komarudin. Beliau menyebut hal utamanya adalah over-kapasitas penonton yang berpotensi ricuh dan menyebabkan kecelakaan. Kedua, terendus indikasi adanya pesta miras di seputaran luar Istora. Ketiga, berjatuhannya korban penonton yang pingsan tersebab berdesakan dan saling dorong, sementara minim layanan kesehatan di lokasi. Keempat, adanya laporan tindak kejahatan pencopetan di area konser.
Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa hal yang menjadi bahan renungan. Pertama, bahwa tindakan tegas yang telah diambil oleh kepolisian tentu wajib mendapat apresiasi. Terlebih dalam beberapa waktu terakhir bermunculan tragedi baik di dalam negeri, yakni Kanjuruhan maupun di luar negeri, perayaan Halloween di Itaewon Korsel. Bahkan kasus rusuh dalam konser musik lainnya di Tanah Air pun kembali terjadi, saat NCT 127 manggung di ICE BSD awal November 2022 ini. Semua pihak tentu tak berkeinginan hal buruk kembali terjadi. Namun yang masih menyisakan tanya, mengapa instruksi penghentian konser Berdendang Bergoyang baru benar-benar dikeluarkan setelah tampak demikian kacaunya suasana di lokasi hingga banyak dari penonton yang jatuh pingsan? Padahal sedari hari pertama pun indikasi kelebihan kapasitas telah demikian tampak, tapi polisi hanya me-warning tim EO untuk menambah tenda kesehatan dan melarang dua stage dari empat stage tambahan yang ada di luar area Istora. Apakah ini indikasi adanya upaya pembiaran dari aparat sebagai kepanjangan tangan pemerintah? Who knows!
Yang jelas, betapa tampak bahwa proses perizinan untuk acara-acara konser yang tak berkorelasi dengan pembentukan karakter dan pembangunan generasi cemerlang justru dipersilakan, sementara untuk beberapa agenda bertajuk keagamaan malah dipersulit hingga dihentikan perizinannya. Semisal acara Hijrahfest Surabaya 14 Oktober lalu. Padahal sungguh acara-acara seperti yang kedualah yang sejatinya akan mendukung cita-cita pembangunan karakter dan perbaikan generasi.
Kedua, dari sisi membludaknya jumlah penonton memperlihatkan betapa mereka demikian haus dengan hiburan, termasuk konser musik. Tak peduli meski harus merogoh cukup dalam isi kocek, mendatangi lokasi yang cukup jauh sekalipun, hingga rela menyempatkan waktu untuk berdesak-desakan demi memuaskan dahaga kesenangan berjumpa artis favorit. Potensi terancamnya keselamatan diri seolah tak masuk ke dalam benak, yang ada hanya euforia untuk bersenang-senang.
Padahal di zaman digital saat ini, semua jenis hiburan bisa diakses di mana saja, tanpa harus keluar dari rumah malahan. Terlebih ketika teringat betapa kondisi ekonomi sebagian besar penghuni negeri ini sedang morat-marit. Fenomena hedonisme semakin menguat merasuki benak kaum muda. Bahkan buat yang tetap ingin datang tapi duit pas-pasan bertebaran aplikasi pinjol yang konon tanpa agunan, dapat diakses super cepat, dengan limit pinjaman hingga puluhan juta, dan berbunga rendah (https://www.dbs.id/digibank/id/id/articles/cari-pinjaman-tanpa-agunan-online-untuk-beli-tiket-konser), astagfirullah. Bermunculan istilah “biar tekor asal kesohor”, hingga muncul pemikiran super aneh “siangnya kerja keras buat party/nonton konser malem/weekend-nya. Ya Salaam.
Ketiga, dari sisi penyelenggara acara yang seolah ajimumpung. Setelah beberapa tahun tak bisa menyelenggarakan event, momen yang ditunggu untuk mendulang cuan miliaran pun menjadi incaran. Bayangkan, ketika tiket dipatok dengan harga Rp275 ribu/hari (tirto.id, 30/9/2022) dikali dengan 21 ribu jumlah penonton yang terpantau pihak kepolisian, maka Rp5,775 miliar bisa diraup dari penjualan tiket saja. Belum yang datang dari sponsor dan pihak lainnya yang turut serta dalam perhelatan besar tersebut. Maka wajar ketika mereka demikian berani mengambil risiko meneruskan acara meski izin keramaian dari kepolisian hanya untuk 3 ribu penonton saja dan kapasitas maksimum Istora cuma buat 10 ribu peserta. Faktanya tiket masih terus dijual hingga melampaui 21 ribu wristband. Bahkan panitia menutup mata ketika animo pembelian tiket masih juga berdatangan, mereka tetap menjualnya sampai lebih dari 27 ribu tiket (ERA.id, 8/11/2022). Its all about money, guys! Duit sedemikian gedenya itu menjadikan tim EO ngiler, akhirnya gelap mata hingga menghantarkan mereka tersandung kasus pidana karena menyelenggarakan acara minim persiapan dan berpotensi membuat kericuhan.
Terakhir, ditelaah dari pengadaan acara tersebut yang sedari jauh-jauh hari di-setting bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Jika dipikir berulang kali adakah keterkaitan antara konser musik dengan perbaikan generasi muda untuk bersatu membangun bangsa agar menjadi negara yang kuat sebagaimana tema Hari Sumpah Pemuda tahun 2022 ini? Apa disebut perbaikan generasi, ketika muda-mudi asyik-masyuk bernyanyi, bergoyang, berdesakan, campur-baur, miras di mana-mana, bahkan bukan isapan jempol jika acara-acara hiburan semacan itu kerap dijadikan ajang untuk jalan bareng antara sepasang kekasih dimana tentu semua ini adalah perilaku maksiat dalam pandangan agama.
Hal-hal di atas sungguh terjadi karena prinsip sekuler kapitalis yang dianut di negeri ini. Pemahaman sekuler menjadikan umat menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan, agama jangan dibawa-bawa kalau urusannya untuk kesenangan dan kehidupan. Itu prinsipnya.
Budaya liberal pun kian viral. Hedonisme tumbuh subur dalam atmosfer kehidupan sekuler kapitalis. Ia menjadikan kesenangan sebagai tujuan yang akan terus diraih, tak peduli banyak yang harus dikorbankan untuk menggapainya. Uang, tenaga, perhatian dan seterusnya. Karena makna bahagia yang ada sekadar ketika bisa meraih apa yang disenangi dan diingini, that’s it!
Negara pun tak memiliki asas yang kokoh dalam upaya meraih cita-cita membentuk dan memperbaiki generasi agar mumpuni. Satu sisi ingin perbaikan generasi, namun tergerogoti dengan prinsip ala kapitalis yang hanya mengedepankan hal-hal berbau pencapaian materi semisal uang dan harta, juga kesenangan ragawi.
Hal demikian sungguh sangat berbanding terbalik dengan pandangan Islam dalam upaya membentuk generasi agar bertakwa, sehat, cerdas, tangguh fisik dan mental, hebat dan mumpuni. Ia ditopang oleh asas yang kuat yakni akidah Islam. Yang mana memandang bahwa standar dalam pengambilan keputusan hidup adalah berdasarkan halal haram dan manusia wajib terikat dengan syariat-Nya. Akan dikatakan baik dan diambil/dilaksanakan jika Allah memerintahkan atau menghalalkan. Sebaliknya sebuah perkara akan ditolak, dilarang dan ditinggalkan manakala Allah berkata “tidak” atau “jangan” dan terkategori haram dan makruh.
Selanjutnya bahwa syariat mewajibkan pada penguasa dan aparat yang ada di bawahnya untuk menjaga seluruh rakyat termasuk generasi muda agar tetap on the tract mengikuti Al-Qur’an dan as-sunnah. Negara akan mempermudah perizinan bahkan memfasilitasi agenda-agenda yang akan mendukung upaya perbaikan kualitas ketakwaan dan kemaslahatan bagi generasi. Sebaliknya negara akan tegas melarang diadakannya acara-acara yang bertabur maksiat, melemahkan generasi dan berpotensi membahayakan baik fisik maupun pemikiran. Dengan diterapkannya aturan Islam yang menyeluruh di bawah naungan institusi yang diwariskan oleh sosok pembina generasi terbaik, Rasulullah Muhammad saw., Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Redaksi
Komentar