Jadi Khatib Salat Idul Adha, Ketua DPRD Sultra Selipkan Pesan Filosofi Buah Mangga

Salat Idul Adha
PW Muhammadiyah Sultra menggelar salat Idul Adha di pelataran Gedung E Universitas Muhammadiyah Kendari, Rabu (28/6/2023), yang menjadi khatib salat Idul Adha adalah Ketua DPRD Sultra H. Abdurrahman Shaleh. Foto: Istimewa

TEGAS.CO., KENDARI – Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Abdurrahman Shaleh menjadi khatib salat Idul Adha yang digelar pengurus Muhammadiyah setempat di pelataran Gedung E Universitas Muhammadiyah Kendari, Rabu (28/6/2023) pagi.

ARS sapaan Abdurrahman Shaleh dalam khutbahnya mengatakan, berkurban tidak hanya menjaga risalah Nabi Ibrahim dan Ismail tetapi ritual ibadah tersebut mengandung titik simpul spiritual untuk menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik.

Iklan KPU Sultra

“Berkurban adalah wahana ibadah untuk pendekatan diri kepada Allah Subahanah wata’ala sekaligus membangun kedekatan sosial kemanusiaan dengan sesama sebagai ekspresi iman, rasa syukur, dan ketaatan kepada-Nya atas kemurahan rezeki yang diberikan kepada pekurban,” katanya di depan ratusan jamaah salat Idu lAdha.

ARS menjelaskan, makna penyembelihan hewan kurban adalah sifat-sifat kebinatangan yang memenjarakan kemerdekaan manusia seperti sifat egois, tamak, kejam, menghalalkan segala cara dan sebagainya diganti karakter positif seperti empati, rela berbagi, dan mencintai demi kemanusiaan sejati.

Pasca Idul Adha kata ARS, setiap muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, mengadvokasi kaum kaya agar mau berbagi, membangun, dan menebar kebajikan dengan sesama.

“Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarkan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama,” ujarnya.

Di kesempatan tersebut, ARS menyampaikan kepada jamaah agar belajar dari filosofi buah mangga. Siapa yang ingin makan mangga harus mengikuti kaidah dan tata cara yang benar yaitu kulitnya dikupas, isinya dimakan, dan bijinya ditanam.

Mengapa kulitnya dikupas?. Para ahli tauhid berkata karena kulit melindungi isi, maka pelindung tidak boleh dikurbankan. Sementara ahli hukum berkata, memakan kulit mangga hukumnya maksud karena bisa jadi penyakit. Adapun para ahli taswuf berkata, karena ada makhluk yang akan memakan kulit mangga itu.

Kulit mangga jangan dimakan tapi berikan kepada makhluk lain seperti sapi, kambing dan yang lainnya untuk menikmatinya, yang berhak kita makan hanya isinya sementara bijinya milik anak cucu penerus karena itu harus ditanam dan diinvestasikan bagi masa depan

“Qiyas atau analog ini menunjukkan bahwa rezeki dari Allah yang diberikan kepada kita, jangan sampai lupa bahwa dari rezeki itu ada makhluk lain yang juga berhak menerimanya. Kalau hak-hak orang lain tidak dikeluarkan maka itulah gambaran orang yang serakah,” pungkasnya.

REDAKSI

Komentar