TEGAS.CO., SULAWESI TENGGARA – Reforma Agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, sebagaimana yang diatur pada Peraturan Presiden nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Tim survey terdiri dari, Bappenas selaku ketua Aswicaksana, ST,MT, M.Sc. Kemendes PDTT selaku ketua Hidanafie Ashriyati, S.Si. M. Si ( Direktorat PPK Trans dan Kemen ATR/BPN selaku ketua Tim, Valentina.I, S.Kom, M.Sc
Menurut ketua tim, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, target Reforma Agraria adalah 9 Juta Hektare yang terbagi dalam dua bagan yakni legalisasi asset seluas 4,5 juta hektare dan redistribusi tanah seluas 4,5 juta hectare.
Pensertifikatan tanah Transmigrasi merupakan bagan legalisasi asset dengan target 0,6 juta hektare. Berdasarkan data Kementrian ATR/BPN, capaian SHM transmigrasi per Agustus 2023 seluas 140.590,72 hektare atau 23,43% dari 0,6 juta hectare.
“Salah satu arah kebijakan pertanahan dalam RPJMN tahun 2020 – 2024 adalah pemberian sertifikat tanah ( legalisasi ) termasuk untuk kawasan transmigrasi penempatan sebelum tahun 1998,” ujar Aswicaksana Kamis (28/9/2023).
Namun demikian, tambah Aswicaksana, dalam pelaksanaannya capaian sertifikasi tanah transmigrasi masih cukup rendah.
Oleh sebab itu dilaksanakan survey bersama untuk menemukan kondisi aktual pertanahan di lokasi transmigrasi penempatan sebelum tahun 1998. Survey dilaksanakan di enam provinsi terpilih.
Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi salah satu provinsi yang terpilih, katanya, tepatnya di Konawe Selatan ( Konsel ) yang sekitar 60% penduduknya merupakan warga transmigran.
Berdasarkan data Kementerian Desa PPDT lanjut dia, jumlah transmigran di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 20 juta jiwa yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian timur lainnya sejak sebelum PELITA, namun masih banyak yang belum memperoleh hak-haknya di bidang pertanahan sesuai amanah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Survey dilaksanakan pada Senin – Kamis 25 – 28 September 2023 kolaborasi antara Kementerian PPN/Beppenas, Kementerian Desa PPDT, Kementerian ATR/BPN dengan dukungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam hal ini Dinas Transnaker Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan.
Survey diawali dengan rapat persiapan survey lapangan lokasi transmigrasi di kantor wilayah Kementerian ATR/BPN Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mengumpulkan berbagai data ( data spasial lokasi transmigrasi, data spasial bidang tanah bersertifikat ) dan pengumpulan informasi dari berbagai sumber dan dinas-dinas terkait perihal lokasi sasaran survey dalam rangka sinkronisasi data dengan peta bidang terdaftar.
Menurut Aswicaksana tim survey bersama melaksanakan kunjungan ke lokasi eks transmigrasi Moramo 1A penempatan tahun 1975/1976 dan Moramo 1B penempatan tahun 1976/1977 di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan ( Konsel ) yang saat ini telah mekar menjadi lima desa.
Berdasarkan data penempatan Transmigrasi Dinas Transnaker Provinsi Sulawesi Tenggara, lokasi Moramo 1A sebanyak 500 KK ( 1.465 jiwa) demikian pula lokasi Moramo 1B juga 500 KK ( 1.876 jiwa) sesuai dengan SK Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 54 Tahun 1976 yang saat itu dijabat oleh Eddy Sabara. Adapun luasan tanah sesuai SK tersebut sebesar 6.000 hektare untuk empat lokasi Transmigrasi dimana masing-masing lokasi sebesar 1.500 Hektare.
Pihak pemerintah Kabupaten Konsel
Dari Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, Survey dihadiri oleh Camat Moramo Hj.Lisna, Kepala Desa dari 6 desa di Kecamatan Moramo, para tokoh masyarakat Transmigrasi dan Dinas Transnaker Kabupaten Konawe Selatan.
Turut pula hadir Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Konawe Selatan Amrullah. Acara yang berlangsung di Balai Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan yang berjarak sekitar 58,4 Km dari Kota Kendari tersebut berjalan cukup lancar diselingi dengan diskusi dan informasi dari warga dan tokoh masyarakat transmigrasi sebagai pelaku sejarah yang rata-rata sudah berusia diatas 80 tahunan.
Munardi (80) salah satu transmigran asal Biltar Jawa Timur yang tiba di Desa Lapuko pada Lokasi Moramo 1B pada 26 Mei 1976 menuturkan, untuk Kaplingan ( lahan pekarangan ) dan LU 1 ( perladangan ) sudah memiliki SHM namun LU 2 ( persawahan ) belum didapatkan hingga sekarang meskipun masih banyak tanah berstatus tanah negara di sekitarnya.
Untuk itu mohon kejelasan karena saat ini penduduk sudah semakin banyak dan lahan sudah semakin sempit. Hal senada juga disampaikan oleh transmigran pelaku sejarah lainnya.
Hasil survey sementara menunjukkan bahwa kondisi administrasi pertanahan di eks Transmigrasi Moramo 1A dan Moramo 1B sebagian besar telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) terutama untuk Lahan peruntukkan fasilitas umum, tanah cadangan desa, tanah kapling (lahan pekarangan) dan perladangan (LU 1).
Sementara untuk LU 2 peruntukan persawahan masih terdapat masyarakat yang belum memperoleh karena ketersediaan lahannya, walaupun SHM nya telah terbit namun belum seluruhnya terbagi ke masyarakat transmigrasi karena subjek tidak berada di tempat meninggalkan lokasi sebelum terbitnya SHM.
Masalah lainnya adalah klaim dari masyarakat, overlapping dengan kawasan hutan dan pembaharuan administrasi SHM karena perubahan nama desa yang awalnya desa Lapuko berubah menjadi desa-desa pemekaran.
Hal-hal tersebut telah menjadi catatan tim survey bersama untuk kemudian dianalisis lebih lanjut untuk sesegera mungkin dituntaskan sebagai perwujudan dukungan terhadap Reforma Agraria.
Survey bersama kemudian diakhiri dengan kunjungan ke lokasi Transmigrasi yang masih menyimpan masalah terutama klaim masyarakat di Desa Sumber Sari, Desa Pudaria Jaya dan di desa Watu Porambaa Kecamatan Moramo yang merupakan pemekaran desa Lapuko. (Adv)
REDAKSI
Komentar