TEGAS.CO,. INDONESIA – Perhelatan Conference of Parties (COP) oleh UNFCCC kembali dilaksanakan ke 28 kalinya di Dubai, Uni Emirates Arab pada 30 November – 12 Desember 2023.
Salah satu agenda pada COP 28 adalah pembahasan global stocktake atau proses evaluasi kemajuan dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, membangun ketahanan terhadap dampak iklim dan mendapatkan pendanaan serta dukungan untuk mengatasi krisis iklim. Negara yang hadir dalam COP 28 ini akan membahas temuan stocktake, mengidentifikasi peluang, tantangan, menilai langkah-langkah dan praktik terbaik untuk aksi iklim dan kerja sama internasional.
Setelah diskusi ini, negara-negara akan bersama-sama membuat ringkasan kesepakatan, yang kemudian dapat dijadikan acuan dalam keputusan akhir COP 28.
Pidato sambutan pembukaan oleh presiden COP 28 Dr. Sultan Ahmed Al Jaber menyatakan bahwa payung bagi tiga kunci utama global stocktake yakni mitigasi, adaptasi dan aksi iklim adalah pendanaan (financing).
Indonesia sebagai salah satu dari 198 negara yang hadir dalam COP28 ini juga menyampaikan evaluasi atas Nationally Determined Contributions-nya (NDC) dan akan menyampaikan kepentingan politiknya untuk keputusan akhir COP 28.
Dalam pidatonya Persiden Jokowi pada 1 Desember 2023, menyampaikan bahwa Indonesia berhasil menurunkan emisi karbon sebanyak 42% dalam rentang tahun 2020-2022 dan ambisius mencapai net zero emission atau nol emisi pada tahun 2060 atau lebih awal. Indonesia menaikan target NDC yang sebelumnya 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan swasta menjadi 31,89 % usaha sendiri dan 43,2 % dengan bantuan swasta.
Untuk mencapai target ambisius tersebut, Indonesia akan mempercepat pengembangan energi terbarukan melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership), menurunkan penggunaan energi batubara, pengembangan biodiesel, hingga mekanisme pasar karbon (carbon market) dengan membuka investasi sebesar-besarnya.
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya pidato Presiden di perhelatan COP masih menjadi etalase untuk ‘menjual’ tanah dan air Indonesia bagi negara-negara kaya demi membiayai solusi-solusi palsu yang mengatas namakan krisis iklim. Semua solusi yang ditawarkan masih berbasis investasi dengan mengesampingkan hak asasi manusia, hak perempuan, hak masyarakat adat, hak masyarakat rentan lainnya, dan keberlanjutan lingkungan.
Skema mitigasi masih lebih dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia, dibandingkan skema adaptasi yang dibutuhkan oleh perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim. Proyek-proyek iklim yang dilakukan justru tidak melibatkan perempuan, bahkan tidak meminta persetujuan perempuan, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Padahal perempuan memiliki inisiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim, baik adaptasi maupun mitigasi.
Fakta yang ditemukan Solidaritas Perempuan dan perempuan komunitas akibat pembangunan PLTA di Poso, Sulawesi Tengah, adalah bukti kegagalan solusi iklim. Pembangunan PLTA Poso atas nama energi terbarukan hingga 515 MW, justru membuat kondisi perempuan lebih buruk.
Perempuan tidak dapat lagi mengakses lahan kebun dan pertaniannya, kehilangan sumber kehidupannya, terbatas akses terhadap air bersih, warisan budaya hingga munculnya masalah kesehatan reproduksi perempuan.
Fakta lainnya juga ditemukan pada perempuan yang terdampak akibat pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal di Nusa Tenggara Timur yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil, maupun Lampung.
Perampasan tanah perempuan, ancaman krisis air, polusi udara, hingga menghilangkan nilai-nilai kultural perempuan dengan alam. Bahkan dalam mempertahankan sumber kehidupannya pun perempuan mengalami represi oleh aparat. Intimidasi, kekerasan hingga kriminalisasi semakin sering dialami perempuan yang memperjuangkan hidupnya yang terdampak krisis iklim.
Sejak adanya kesepakatan dari negara pihak, termasuk Indonesia, membangun Rencana Aksi Gender Perubahan Iklim pada 2019, hingga tahun ini rencana tersebut juga belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Sementara aksi-aksi dan skema mitigasi iklim semakin masif dilakukan pemerintah Indonesia.
Solidaritas Perempuan menilai, cara-cara negara dalam merespon krisis iklim, tidak lebih dari menawarkan solusi-solusi iklim palsu dan patriarkis, karena tidak meletakkan perempuan sebagai subjek penting di dalam merespon krisis iklim. Ini terbukti dengan tidak dilibatkannya perempuan dalam ruang pengambilan keputusan, termasuk tidak adanya persetujuan dari perempuan.
Solusi-solusi yang ditawarkan juga menghancurkan pada seluruh aspek kehidupan dan sumber penghidupan perempuan.
Untuk itu, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada seluruh negara pihak untuk:
1. Segera menghentikan solusi-solusi patriarki yang merampas dan menghancurkan ruang-ruang hidup dan penghidupan perempuan dan membangun solusi-solusi iklim yang meletakkan perempuan sebagai subjek, mulai dari rencana hingga pelaksanaannya;
2. Jalankan transisi berkeadilan yang mengutamakan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia dan Hak Perempuan, dengan pelibatan bermakna serta persetujuan dari perempuan;
3. Segera bangun rencana aksi gender (Gender Action Plan) yang berkekuatan hukum dan menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi perempuan serta mengakui pengetahuan dan pengalaman perempuan di dalam kebijakan dan aksi-aksi iklim, baik adaptasi, mitigasi maupun pendanaan iklim yang tidak bersumber dari utang.
Komentar