Pandangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Aslan Jamal (Praktisi Hukum)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Direktur Utama PT Gema Kreasi Perdana (GKP) Rasnius Pasaribu yang diwakili oleh kuasa hukum tertanggal 28 Maret 2023 telah mengajukan permohonan pengujuan Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 30/PUU/PAN.MK/AP3/03/2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 35/PUU-XXI/2023 pada tanggal 30 Maret 2023, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 26 April 2023.

Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan atas ambiguitas makna Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 berikut perubahannya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sehingga kedua pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung RI sebagai larangan tanpa syarat terhadap kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan melalui putusan No. 57P/HUM/2022 tanggal 22 Desember 2022.

Iklan PUPR

Padahal norma larangan Pasal 35 huruf (k) merupakan norma larangan bersyarat. Dengan penafsiran tersebut telah menimbulkan kerugian konstitutional bagi pemohon karena tidak ada kepastian hukum dalam berusaha sesuai dengan perijinan yang telah dimiliki pemohon serta menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon karena terancam tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya.

Padahal Pemohon telah memenuhi semua kewajiban sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak adanya kepastian hukum tersebut berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.

Oleh karenanya pemohonon memohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran terhadap Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 dengan menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Sepanjang dimaknai sebagai larangan terhadap semua kegiatan lain selain yang diprioritaskan dalam pasal dimaksud termasuk larangan kegiatan pertambangan (inkonstitutional bersyarat).

Demikian juga terhadap Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2017 jo. UU No.1 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat.

Atau, dapat juga Mahkamah Konstitusi RI memberikan keputusan konstitutional bersyarat terhadap pengujian Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 dengan menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai tidak sebagai larangan terhadap semua kegiatan lain selain yang diprioritaskan dalam pasal dimaksud termasuk larangan kegiatan pertambangan.

Dan menyatakan pula bahwa Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2017 jo. UU No.1 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat.

Dasar Hukum

Dalam memberikan telaah tersebut, legal opinion ini akan didasarkan pada beberapa rujukan sebagai instrument analisis yang diantaranya:

1. Pasal 24 c Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 157, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5076

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 70, Tambahan Lembaran Negara RI No. 5226).

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Lembaran Negara RI No. 5234) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011”) jo. UU Nomor 15 Tahun 2019 (Lembaran Negara Tahun 2019 No. 183, Tambahan Lembaran Negara RI No. 6398) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Undang Undang No. 13 Tahun 2022 (Lembaran Negara RI Tahun 2022 No. 143, Tambahan Lembaran Negara RI No. 6801) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

5. Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Perubahannya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 PUU-XXI/2023

Pendapat Hukum

Guna mensegmentasikan pendapat hukum terhadap duduk perkara yang dimuat pada sub bab sebelumnya, pembahasan akan dibagi dalam beberapa aspek substantif yakni:

A. Tafsir sistematis terhadap pasal yang diuji (objectumlitis permohonan a quo);

B. Konstruksi analisis terhadap hak melakukan kegiatan pertambangan atau implikasi sistematik dalam memaknai putusan a quo.

Pendekatan yang digunakan pada segmen pembahasan ini tidak secara utuh merujuk pada tafsir yang termuat dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 35/PUU-XXI/2023.

Elaborasi pasal-pasal aquo didudukan pada kaidah interpretasi yang lazim ditemukan dalam telaah khazanah ilmu hukum dengan maksud untuk menambah varian pertimbangan dalam memaknai ketentuan tersebut.

Tidak bermaksud untuk menyebrangi prinsip res judicata proveritate habitur melainkan untuk mengungkap dimensi lain yang terurai dari konstruksi pengaturan pasal-pasal yang dimohonkan tafsir konstitusionalnya di Mahkamah Konstitusi.

Merujuk pada kasus posisi yang diuraikan, pemohon merasa adanya ambiguitas dalam konteks penerapan hukum melalui tafsir terhadap pasal yang diuji dalam perkara permohonan aquo.

Untuk mengurai kelumit tersebut, terlebih dulu akan diuraikan substansi permohonan pemohon perihal substansi norma hukum atau irisan materi yang ditemukan dalam setiap norma hukum.

Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya. Proyeksi ini tidak ubahnya diletakan dalam pemahaman bahwa norma ialah sebuah instrument yang mengikat sosial dalam dimensi pengaturan.

Lebih spesifik, norma hukum dimaknai sebagai norma yang biasanya ditemukan dalam bentuk tertulis dan secara resmi penyusunannya diserahkan oleh lembaga berwenang dibawah naungan negara.

Dengan demikian, karakteristik norma hukum dapat diidentifikasi melalui adanya unsur kuasa negara dalam membentuk hukum. Olehnya mengapa norma hukum memiliki daya ikat yang kuat dalam konteks hukum positif.

Dalam dimensi isi atau materi, norma hukum memiliki acuan khusus untuk diikuti. Lebih dalam lagi, norma hukum Asshiddiqie norma hukum memiliki ciri-ciri yaitu kebolehan untuk melakukan sesuatu (permittere), anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu, anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu, perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere), perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu (prohibere).

Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Asshiddiqie, kaidah hukum yang bersifat imperatif biasa disebut juga dengan hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht).

Kadang-kadang ada pula kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus bersifat memaksa (dwingende) dan mengatur (regelende). Attamimi mengidentifikasi sifat norma hukum yang lebih condong pada dimensi kandungan atau substansi pengaturan yang terdiri dari:

Pertama, perintah yang menggiring kewajiban umum untuk melakukan hal yang ditentukan (gebod);

Kedua,  larangan yang juga berkonotasi kewajiban untuk tidak melakukan substansi pengaturan tertentu (verbod);

Ketiga, pembebasan (dispenisasi) atau sebuah pembolehan yang bersifat lex specialist untuk tidak melaksanakan sesuatu (verlov).

Keempat, izin yang memuat pembolehan khusus guna menjalankan sesuatu yang dilarang oleh peraturan (teostemming).

Olehnya mengapa norma hukum terejawantahkan dalam proposisi yang diharuskan jelas dan tidak bertafsir jamak. Kejelasan rumusan diharuskan guna memastikan implementasi aturan tidak melampaui tujuan pengaturan sebenarnya.

Meskipun dalam pergumulan hukum dikenal adanya kaidah tafsir, namun dalam konteks kemurnian pengaturan norma hukum, tafsir terkadang dibuat terbatas dengan maksud untuk memastikan tidak keluarnya substansi pengaturan dengan pelaksanaan aturan.

Terutama dalam komposisi tafsir nilai konstitusionalitas, ke-rigid-an metode dan perspektif diupayakan demi menjaga independensi dan keluhuran nilai konstitusi.

Terdapat 5 (lima) sumber untuk memandu melakukan penafsiran atau interpretasi konstitusi, yaitu: the text and structure of constitution (teks dan struktur konstitusi), intention of those who drafted the constitution (maksud perancang konstitusi), prior precedent (usually judicial) (putusan hakim terdahulu, lazimnya badan peradilan), the social, political, and economic concequences of alternative interpretation (konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi suatu penafsiran alternatif), natural law (higher law, God’s law).

Model penafsiran diatas secara berkemanfaatan digunakan. Tidak ada acuan baku untuk memformulasi narasi tafsir tersebut. Selama dapat mengurai kebuntuan dalam memahami pengaturan tertentu, maka varian tafsir dapat digunakan baik Tunggal maupun secara kombinatif.

I casu. Secara lengkap, redaksi pasal 23 Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berisikan pengaturan sebagai berikut Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:

1. Konservasi.

2. Pendidikan dan pelatihan

3. Penelitian dan pengembangan

4. Budidaya laut

5. Pariwisata

6. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari.

7. Pertanian organik; dan/atau

8. Peternakan

Disisi lain pasal 35 Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menguraikan “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang, menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang.

Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain, menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun, melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya, melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya, melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya, serta melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya..

Merujuk pada pokok permohonan pemohon, kedua pasal aquo dianggap multitafsir pada beberapa redaksi tertentu yang selanjutnya beririsan dengan kepentingan pemohon. Diantaranya pada pasal 23 yaitu frasa “diprioritaskan” dan pasal 35 huruf k secara utuh. Terlebih dulu akan dijabarkan pemaknaan frasa “dipriorotaskan” sebagaimana dimaksud pada pasal 23 undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Secara grammatical, prioritas berakar pada frasa prority yang mengandung arti lebih penting daripada hal lain dan harus ditangani terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prioritas diartikan sebagai hal yang didahulukan atau diutamakan. Dengan demikian, priotitas memuat makna bahwa pendahuluan atau pengarus utamaan dibanding dengan variable lainnya.

Jika sebuah entitas diletakan dalam proyeksi prioritas, maka realisasi atau perwujudan dari entitas tersebut lebih didahulukan dibanding segmentasi lainnya. Jika dikontekstualisasi dalam rumusan pasal 23 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, maka paradigma pengaturan pasal aquo secara lex specialist maupun kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya berdasarkan rezim pengaturan undang-undang aquo mendahulukan kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan;, penelitian dan pengembangan;, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara Lestari, pertanian organik; dan/atau peternakan atau secara umum mendahulukan konsep pemanfaatan populis.

Konsep ini dimaknai sebagai paradigma yang mendahukukan kepentingan umum non industrialisasi atau yang melibatkan kepentingan Masyarakat dalam skala yang lebih besar khususnya dalam perspektif kelestarian lingkungan.

Nuansa tersebut terbaca melalui konsiderasi penyusunan Undang-Undang aquo yang menjabarkan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

Jika dicermati sifat dari pengaturan pasal aquo, sejatinya nuansa pelarangan cukup kuat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena disandingkan pada pertimbangan kelestarian lingkungan. Namun, merujuk pada konsiderasi diatas, maka pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil “dibolehkan” selama dilaksanakan dengan mengedepankan paradigma sustainable development, kepentingan masyakat secara sosiologis serta konsep kebijakan hukum nasional.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan singkronisasi rumusan pasal 35 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Menelisik substansi pasal tersebut, secara expelicit verbis nampak karakter larangan secara tegas. Larangan tersebut terkonotasi dalam agenda pemanafaatan yang linear dengan pasal-pasal lainya.

Hal ini dapat ditengarai melalui penempatan pasal aquo yang berdasarkan prinsip titulus est lex rubrica est lex berada dalam satu segmen pengaturan dengan pasal lainnya yang memuat ketentuan pengaturan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal aquo seharusnya dimaknai sebagai upaya untuk memastikan batasan dalam hal pemanfataan sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal lainnya. Larangan itu justru seharunsya dimaknai sebagai peringatan untuk tidak melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pendekatan aktivitas yang masuk dalam pengaturan pasal tersebut.

Namun yang menarik ialah penunjukan adresaatnorm pada pasal tersebut yang spesifik dialamatkan pada natuurlijk person atau orang. Jika yang melakukan larangan tersebut ialah rechtpersoon apakah pasal aquo diberlakukan sama jika subjek hukum pelaku secara faktualnya ialah orang?

Disisi lain jika yang melakukan larangan pada pasal aquo ialah Badan Hukum apakah kemudian dimensi pengaturan pasal 35 secara umum dapat diterapkan terlebih yang berpotensi melakukan kegiatan pertambangan pada ration loci/locus delicti tersebut bukan saja orang melainkan juga badan hukum.

Hal tersebut semakin kontras jika disandingkan dengan rumusan pasal 73 ayat 1 huruf f Undang-undang aquo yang memberikan ancaman pidana terhadap kegiatan yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada pasal 35 huruf k. Ketentuan ini tentu akan menarik perdebatan Panjang dalam konteks pemidanaan, khususnya mengenai keterbatasan subjek hukum antara pasal 35 huruf k dan pasal 73 ayat 1 huruf f Undang-Undang aquo

Terlepas dari isu diatas, pasal 35 huruf k Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil seyogyanya harus dimaknai sebagai larangan, namun bukan tergolong larangan mutlak atau lebih tepat disebut sebagai larangan bersyarat (conditionally prohibited).

Jika dalam aktivitas pertambangan dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan aspek teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya maka larangan tersebut dapat dimaknai sebagai pembolehan (verlof).

Hal ini senada dengan beberapa substansi rumusan pertimbangan yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor NOMOR: 35/PUU-XXI/2023 (vide. Putusan halam 704). Pembolehan tersebut dipertegas melalui penyediaan mekanisme perizinan yang dimuat lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tentang pertambangan.

Konstruksi Analisis Terhadap Hak Melakukan Kegiatan Pertambangan Atau Implikasi Sistematik Dalam Memaknai Putusan A Quo.

Sebagaimana dipahami bahwa undang-undang merupakan produk hukum yang paling beririsan dengan kepentingan public. Keberadaan undang-undang dengan karakter regeling memberikan dampak pengaturan umum sehingga setiap adressatnorm yang berhubungan dengan dimensi pengaturan dituntut patuh dan menjalankan secara penuh muatan materi undang-undang.

Oleh karenanya, tidak jarang muatan materi undang-undang dianggap mengangkangi prinsip serta hak-hak sipil warga negara. Peluang tersebut dapat saja terjadi mengingat dimensi pengaturan undang-undang yang melingkupi setiap aspek yang menjadi objectumlitis serta ruang lingkup pengaturan.

Peletakkan kekuasaan membentuk undang-undang kepada lembaga politik memberikan pengaruh signifikan terhadap substansi norma hukum yang termuat didalamnya. Tak jarang, konstruksi muatan materi undang-undang dianggap tersusupi oleh tendensi politis yang mengabsorsi kepentingan public.

Dalam pandangan ini, diperlukan sebuah skema yang dapat memastikan terkanalisasinya akomodasi kepentingan tersebut melalui model pengawasan norma yang diletakkan dalam perspektif konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia).

Konsep netralisasi tendensi poltik dalam rumusan undang-undang dielaborasi dalam sebuah pahaman yang dikenal dengan Judicialization of politics. Alec Stone Sweet menyatakan bahwa judicialization of politics is the intervention of constitutional judges in legislative processes, establishing limits on law-making behavior, reconfiguring policymaking environments, and sometimes, drafting the precise terms of legislation.

Secara sederhana, “judicialization of politics” dapat dijelaskan sebagai peningkatan peran lembaga kehakiman dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kebijakan publik yang memiliki dimensi politis. Hal ini dilakukan dengan tujuan membatasi wewenang cabang-caba

Penulis: Aslan Jamal (Praktisi Hukum)

Komentar