Polemik terkait kasus kejahatan lingkungan yang terjadi di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Prov. Sulawesi Tenggara kembali mendapat atensi melalui coretan hitam Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Penulis berpendapat, bahwa demi hukum, kasus tersebut harus di tuntaskan sesuai dengan aturan dan mekanisme hukum yang berlaku, sebab kasus tersebut berkaitan dengan kejahatan terhadap lingkungan hidup.
Disisi lain, kasus tersebut mengungkap berbagai kejanggalan jika dicermati dan dipahami kronologisnya. Dari proses Penangkapan, Penetapan Tersangka, Pengamanan Barang Bukti, Pra Peradilan hingga Pelimpahan Berkas Perkara dari penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Oleh karena itu, penulis akan menguraikan kronologis dari awal kejadian, timbulnya kejanggalan hingga dugaan kongkalikong antara tersangka atau pelaku tambang ilegal dengan aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
Kronologis
Pada 25 September 2023
Tim patroli Balai Gakkum Wilayah Sulawesi melakukan Operasi Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Prov. Sultra.
Dalam operasi tersebut, tim Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menemukan beberapa alat berat jenis excavator yang sedang melakukan kegiatan penambangan.
Selanjutnya tim operasi melakukan penanganan barang bukti, mengambil keterangan operator excavator, Pengawas Lapangan dan Kepala Dusun II Lowani Desa Oko-Oko serta melakukan pemasangan segel plan di lokasi kejadian.
Pada 3 November 2023
Penyidik Balai Gakkum Wilayah Sulawesi menetapkan 2 (dua) orang Pimpinan PT. AG berinisial AA (26) selaku Komisaris PT. AG dan LM (28) selaku Direktur PT. AG sebagai tersangka kasus penambangan ilegal yang terjadi di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Prov. Sulawesi Tenggara.
Selain melakukan penetapan tersangka, penyidik PNS Balai Gakkum Wilayah Sulawesi juga melakukan penyitaan barang bukti berupa 17 Unit alat berat jenis Excavator PC 200.
Barang bukti tersebut selanjutnya di bawah ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Kendari.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pada 21 November 2023
Kedua tersangka yakni AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG mengajukan Pra Peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Kendari dengan nomor perkara 15/Pid.Pra/2023/PN Kdi.
Adapun termohon nya adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Cq Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Cq Penyidik Pos Gakkum Kendari.
Pada 14 Desember 2023
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari memutus perkara Pra peradilan yang diajukan oleh kedua tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG.
Dalam putusan tersebut, hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari menyatakan eksepsi pemohon tidak dapat diterima dan menolak permohonan Pra Peradilan untuk seluruhnya.
Hakim PN Kendari berpendapat, bahwa proses penyidikan hingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi kepada kedua tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG sudah sesuai prosedur dan mekanisme hukum yang berlaku.
Pada 30 Januari 2024
Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi melimpahkan berkas perkara kasus tambang ilegal dengan tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG yang terjadi di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Prov. Sulawesi Tenggara ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dan dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Awal mula terjadinya kejanggalan
berkas perkara yang dilimpahkan oleh Penyidik Balai Gakkum Wilayah Sulawesi kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara hanya 1 (satu), yaitu berkas perkara milik tersangka LM (28) Direktur PT. AG.
Sedangkan berkas perkara tersangka AA (26) Komisaris PT. AG tidak dilimpahkan dengan alasan masih dilakukan penelitian dan pemeriksaan oleh JPU Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Padahal, penetapan kedua tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG dilakukan secara bersamaan, bahkan proses penyidikan hingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi terhadap tersangka AA dan tersangka LM telah sesuai dengan aturan dan mekanisme hukum sebagaimana di sampaikan oleh Hakim PN Kendari, I Made Sukadana.
Secara logika, seharusnya berkas kedua tersangka dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara secara bersamaan hingga sidangnya juga mestinya bersamaan. Ironisnya itu tidak dilakukan.
Puncak kejanggalan dan dugaan kongkalikong pada 13 Mei 2024, atau sekitar 3 (tiga) bulan sejak berkas tersangka LM (28) Direktur PT. AG dilimpahkan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Penulis menghubungi pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mempertanyakan, sudah sejauh mana kelanjutan proses hukum kasus tambang ilegal PT. AG di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Prov. Sulawesi Tenggara dengan tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG?
Namun anehnya, 2 (dua) orang pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara yang dihubungi oleh penulis melalui pesan whatsapp justru tidak mampu memberikan jawaban yang jelas, keduanya mengaku tidak memonitor kasus tersebut.
Jawaban kedua anggota Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara yang dikonfirmasi oleh penulis lantas menimbulkan pikiran skeptis dan terkesan janggal di kepala penulis.
Sehingga setelah merasa ada kejanggalan, penulis kemudian melakukan penelusuran melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Kolaka pada tanggal 14 Mei 2024 untuk mengetahui proses persidangan kedua tersangka kasus tambang ilegal di Desa Oko-Oko, Kec. Pomalaa, Kab. Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara atas nama tersangka AA (26) Komisaris PT. AG dan LM (28) Direktur PT. AG.
Alhasil, penulis hanya menemukan nama LM (28) Direktur PT. AG dalam SIPP PN Kolaka dan tidak menemukan nama AA (26) selaku Komisaris PT. AG.
Jelang beberapa waktu kemudian, penulis mendapatkan kabar angin bahwa tersangka AA (26) yang merupakan Komisaris PT. AG akan terbebas dari hukuman atau dengan kata lain berkasnya tidak akan dilanjutkan ke tahap persidangan, dikarenakan tersangka AA disebut mampu membayar berapapun agar berkasnya tidak dilanjutkan sampai tahap persidangan.
Secara logika, kabar angin tersebut nampaknya cukup berbanding lurus dengan kondisi yang terjadi saat ini, dimana kelanjutan kasus tersangka AA (26) Komisaris PT. AG semakin lama semakin redup atau semakin tidak jelas apakah akan dilanjutkan sampai persidangan atau mungkin benar-benar sudah dihentikan karena ada apanya?
Penulis berharap, agar kabar angin tersebut tidak benar adanya dan berkas tersangka AA (26) Komisaris PT. AG segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk selanjutnya disidangkan di PN Kolaka seperti yang dialami oleh tersangka LM (28) Direktur PT. AG.
Kasus tambang ilegal di Desa Oko-Oko ini mesti menjadi salah satu PR untuk Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara yang baru, agar kasus-kasus yang belum dituntaskan oleh pemimpin sebelumnya dapat dituntaskan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara yang baru.
Sebab jika kasus tersebut masih di kesampingkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa telah terjadi pengkhianatan hukum oleh Aparat Penegak Hukum (APH) yang menangani kasus tersebut.
Penulis: Hendro Nilopo
Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Sulawesi Tenggara
Komentar