
Oleh: LA ODE YUSRAN SYARIF (Warga Sipil Pulau Kadatua)
Pelantikan pejabat di akhir masa jabatan sering kali menimbulkan polemik, terutama ketika dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang jelas. Inilah yang terjadi di Kabupaten Buton Selatan (Busel).
Pada 18 Februari 2025, dua hari jelang pelantikan Muh. Adios dan La Ode Risawal sebagai Bupati dan Wakil Bupati definitif. Penjabat (Pj) Bupati Ridwan Badallah, dalam sebuah acara tertutup yang dijaga ketat oleh Satpol PP, melantik puluhan pejabat eselon tanpa mengantongi pertimbangan teknis (Pertek) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Langkah ini sontak menuai kritik tajam, terutama dari Sekda Busel, La Ode Budiman, yang menilai kebijakan ini tidak prosedural dan berpotensi melanggar aturan kepegawaian.
BKN segera merespons dengan menerbitkan surat Nomor 2782/R-AK.02.02/SD/K/2025 pada 7 Maret 2025, yang menegaskan bahwa pelantikan tersebut bertentangan dengan Perpres Nomor 116 Tahun 2022 tentang pengangkatan pejabat. Dalam surat itu, BKN meminta agar PPK melakukan pembatalan/pencabutan Surat Keputusan pelantikan terhadap sejumlah pegawai ASN tersebut, sekaligus mengembalikan PNS yang telah dilantik ke jabatan semula dalam kurun waktu 5 hari.
Namun, alih-alih menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Bupati Busel yang baru, Muh. Adios, justru mengirim surat balasan bernomor 800.1.3.3/52/2025 pada 12 Maret 2025. Dalam surat itu, ia meminta kebijaksanaan BKN dengan dalih menjaga stabilitas daerah dalam program 100 hari kerja pemerintahannya.
Tak tinggal diam, BKN kembali mengeluarkan surat kedua bernomor 2927/B-AK.02.02/SD/K/2025 pada 17 Maret 2025, kali ini dengan tindakan yang lebih tegas: pemblokiran data kepegawaian dan penghentian layanan administrasi bagi 94 pejabat yang dilantik secara ilegal. Artinya, mereka yang terlanjur dilantik tidak dapat mengakses hak-hak administratifnya.
Langkah tegas BKN ini menciptakan situasi yang pelik. Para pejabat yang telah dilantik berada dalam ketidakpastian, apakah mereka masih memiliki kewenangan atas jabatan yang mereka emban, atau justru status mereka kini dianggap tidak sah? Selain itu, pemblokiran data kepegawaian bukan sekadar sanksi administratif biasa. Jika dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bisa sangat luas, mulai dari terganggunya pelayanan publik, keresahan di kalangan ASN, hingga berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintahan daerah.
Pelantikan pejabat dalam masa transisi kepemimpinan memang bukan praktik yang ideal. Umumnya, pemerintahan yang akan berakhir lebih memilih untuk tidak mengambil kebijakan strategis yang berpotensi mengikat kepemimpinan berikutnya.
Namun, keputusan Pj. Bupati Ridwan Badallah justru bertentangan dengan prinsip ini. Jika alasan yang digunakan adalah untuk memperkuat birokrasi, mengapa pelantikan dilakukan secara tertutup dan tanpa melalui prosedur yang seharusnya? Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan lain yang bermain, terutama mengingat mendekatnya pergantian kepemimpinan di Busel.
Situasi semakin rumit karena kepemimpinan baru yang seharusnya mengambil langkah korektif malah bersikap pasif. Alih-alih membatalkan pelantikan seperti yang direkomendasikan oleh BKN, Muh. Adios justru berusaha mencari jalan tengah yang tidak sesuai dengan aturan kepegawaian. Keputusan ini tidak hanya berisiko memperburuk hubungan antara Pemkab Busel dan BKN, tetapi juga dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Jika pemblokiran data kepegawaian tetap berlaku dalam jangka panjang, dampaknya bisa saja akan dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari birokrasi yang stabil dan profesional.
Jika praktik pelantikan ilegal dibiarkan begitu saja, ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan di masa depan, di mana setiap kepala daerah yang baru menjabat merasa bebas untuk mengutak-atik struktur birokrasi tanpa memikirkan konsekuensi hukum dan administratifnya.
Kini, pilihan ada di tangan Bupati Muh. Adios: apakah ia akan mengikuti rekomendasi BKN dengan membatalkan pelantikan, atau tetap mempertahankan para pejabat yang telah dilantik secara tidak sah? Jika ia memilih jalur yang kedua, bukan tidak mungkin Busel akan menghadapi sanksi yang lebih berat lagi, seperti intervensi langsung dari pemerintah pusat. Ini tentu akan semakin menghambat jalannya pemerintahan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap kepemimpinan daerah.
Kisruh birokrasi ini menjadi ujian awal bagi pemerintahan yang baru. Sikap yang diambil akan menjadi tolak ukur sejauh mana pemerintahan baru ini berkomitmen pada tata kelola yang baik. Regulasi harus ditegakkan, karena ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan tentang prinsip hukum dan transparansi dalam birokrasi. Busel membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat, tetapi juga taat aturan. Jangan sampai kepentingan politik mengorbankan stabilitas birokrasi dan pelayanan publik yang seharusnya menjadi prioritas utama.
REDAKSI
Komentar