Selamatkan Generasi “Busel” dari Stunting

Rosmiati, S.Si. (Pemerhati Sosial)

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Sebanyak 1. 718 balita di Buton Selatan (Busel) Sulawesi Tenggara menderita stunting. Tak pelak, 10 desa masuk zona merah dengan tingkat prevalensi sebagai berikut, Desa Banabungi 71,43 persen, Desa Kaofe 57,78 persen, Desa Wambongi 56,52 persen, Desa Tongali 53, 72 persen, Desa Kapoa Barat 52,05 persen, Desa Banabungi Selatan 50,62 persen.

Selain itu terdapat pula Desa Lapandewa sebesar 49,06 persen, Desa Batuatas Barat 44,83 persen, Lapara 44,00 persen, dan Desa Taduasa sebesar 43,21 persen. Sungguh ini potret yang amat memilukan di sebuah negeri yang kaya akan hasil alamnya.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten setempat La Ode Budiman. Pada tahun 2018 besaran angka stunting mencapai 30,8 persen atau sekitar 7 juta balita. Di Buton Selatan  pada tahun 2020  angka stunting mencapai 30,79 persen. Tak ayal, pihaknya pun menegaskan bahwa tugas untuk menurunkan ataupun menghapus stunting merupakan tugas bersama. Tak hanya pelaku kesehatan atau masyarakat, para OPD juga harus terlibat (12/04/2021).
Stunting di Indonesia

Di dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan tahun 2018 dikatakan bahwa stunting adalah sebuah kondisi pertumbuhan yang tak wajar terjadi pada anak, dimana panjang atau tinggi badan tak sejalan dengan usia. Stunting pun kini menjadi salah satu case yang mengkhawatirkan di dunia. Bahkan WHO mengungkapkan, pandemi akan semakin menambah angka stunting. Badan kesehatan dunia ini bahkan meramal akan ada tujuh juta anak yang terancam stunting dan 180.000 anak terancam meninggal akibat kekurangan gizi (02/08/2020).

Sungguh, ini kondisi yang tentu amat sangat mengkhawatirkan. Sementara masa depan suatu bangsa amat bergantung pada keberadaan mereka (baca: generasi). Sebut saja Indonesia, menurut BPS tahun 2019, nasib bangsa Indonesia ada di tangan 79,55 juta anak-anaknya. Apalah jadinya bila anak-anak yang menjadi tumpuan harapan  ini tumbuh dengan kondisi yang sakit. Produktifkah mereka nanti? Tentu tidak.

Diketahui  jumlah stunting di Indonesia menjadi yang  tertinggi kedua di kawasan Asia Tenggara setelah Kamboja. Dan berdasarkan Global Nutrition Report tahun 2018, tingkat prevalensi stunting Indonesia dari 132 negara berada di peringkat ke-108 (www.kemenpppa.go.id, 04/11/2020). Walau angka ini mengalami penurunan pada tahun 2019, yakni 27,67 persen, namun menurut Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemkes Dr. Kirana Pritasari,  kita masih berada di atas batas toleransi yang ditetapkan WHO, Yakni 20 persen. Saat ini kita 30 persen,  di atasnya  (27/02/2020).

Apa Penyebabnya?

Menelusuri akar permasalahan stunting tentu kita harus melihatnya dari perspektif yang luas. Memang benar, stunting disebabkan oleh minimnya suplai nutrisi (gizi)  dari sang Ibu ataupun balita, tetapi ada persoalan lain yang juga harus kita kulik, yaitu mengapa akses kepada gizi yang seimbang tak dapat dilakukan? Yang mana ini disebabkan oleh dalamnya jurang kemiskinan  yang hari ini mendera kehidupan masyarakat-masyarakat kita.

Yang mana ini adalah akibat dari kesenjangan distribusi ekonomi yang merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme, yang hanya meniscayakan pendistribusian ekonomi atau hal-hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan asasiyah seperti perpanganan negeri, hanya mampu dijamah oleh kalangan bermodal saja.

Bagi mereka kalangan bawah nan papah dengan penghasilan mereka yang tak seberapa,  tak mampu menebus biaya kebutuhan pokok yang dewasa ini harganya cukup membumbung tinggi. Jangankan untuk menyuplai makanan sehat dan bergizi tinggi. Dalam sehari saja mereka kadang hanya mampu makan sekali dua kali atau bahkan ada yang harus berpuasa. Ironis bukan?

Kondisi ini pun sejalan dengan hasil data dari Indeks Kelaparan Global 2019 (GHI Index) yang melaporkan bahwa negara kita merupakan salah satu negara yang tengah menghadapi masalah kelaparan serius.  FOI bahkan menemukan ada 28 persen anak usia dini atau balita di tanah air yang mengalami kelaparan pada saat pagi hingga siang hari. Angka ini bahkan bisa melonjak sampai 40-50 persen pada daerah padat penduduk. Kondisi ini bila dibiarkan lama kelamaan bisa mengarah pada gejala kekurangan gizi. Yang mana dua penyebabnya,  kemiskinan dan kurangnya pengetahuan pangan dari orang tua (www.ugm.ac.id, 17/10/2020).

Oleh karena itu,  perlu ada langkah serius dari para pemangku kebijakan. Bagaimanapun generasi harus diselamatkan karena mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa ke depan. Tentu tak hanya solusi yang sifatnya parsial. Akar persoalan yakni kemiskinan dan minimnya edukasi juga harus diberantas.  Mengingat bila kemiskinan dan keterbelakangan masih ada di tengah kehidupan,  masyarakat kita akan sulit untuk survive.

Sebagai negeri yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah tentu tak sulit untuk membawa rakyat dan bangsa ini ke tampuk kehidupan yang madani, mengingat kita punya potensi untuk itu. Tinggallah bagaimana paradigma pengaturan dan pengelolaannya yang pro kepada kepentingan rakyat secara menyeluruh. Menghapus disparitas itu sesuatu yang harus dilakukan.  Karena bagaimanapun jua, negara punya tanggung jawab untuk memberi kehidupan yang baik dan layak bagi segenap penduduk negeri,  tak terkecuali para ibu dan balita. Mereka ini harus diselamatkan dari ancaman berbahaya karena keduanya adalah harapan bangsa di masa depan untuk membangun peradaban dunia yang gemilang. Wallahu’alam

Penulis: Rosmiati, S.Si. (Pemerhati Sosial)
Editor: H5P

Komentar