TEGAS.CO,. NUSANTARA – Kejahatan seksual bagaikan pandemi yang tak berkesudahan. Menjangkiti siapa saja yang jauh dari tuhannya. Kejahatan yang selalu bermetamorfosis menjadi sebuah kebiasaan yang tak jarang menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Hingga menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya.
Beberapa hari yang lalu tagar #SaveNoviWidyasari menduduki tranding topik pertama di twitter. Kisah Novi Widyasari menjadi tranding topik di soaial media setelah dirinya ditemukan tewas bunuh diri di dekat makam ayahnya, di Mojokerto. Diduga korban bunuh diri akibat depresi karena dipaksa aborsi oleh kekasihnya sebanyak dua kali. (Liputan6.com, 06/12/21)
Novi hanya satu diantara sekian ribu korban kejahatan seksual yang terjadi di negeri ini. Masih banyak korban kejahatan seksual lainnya, `baik karena persetujuan (sexual consent) atau tanpa persetujuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan sepanjang Januari-Oktober 2021 Komnas Perempuan menerima 4.500 aduan kekerasan terhadap perempuan. Angka itu naik dua kali lipat dibanding tahun 2020. (detiknews,06/12/21).
Selain itu, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriani menambahkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk kekerasan dalam pacaran (KDP) yang terus mengalami peningkatan, bahkan terkategori kekerasan terbanyak ketiga di Indonesia. (detiknews,07/12/21) Kondisi ini telah mengisyaratkan bahwa kejahatan seksual menjadi ancaman nyata dalam kehidupan masyarakat.
Liberalisme pemicu pandemi kejahatan seksual
Dalam sistem sekularisme terjadi pemisahan agama dalam kehidupan, meniscayakan kealpaan agama dalam mengurusi kehidupan masyarakat. Kebebasan dipandang sebagai hak mutlak manusia. Liberalisme jugalah yang telah menyuburkan perilaku bebas antara laki-laki dan perempuan. Menyebabkan pandemi kejahatan seksual di tengah-tengah masyarakat hingga menimbulkan korban jiwa.
Menteri Nadiem Makarim sendiri mengatakan kekerasan seksual diperguruan tinggi sudah menjadi sebuah pandemi. Bukan hanya di perguruan tinggi saja, kejahatan seksual juga marak terjadi di lingkungan kerja, sekolah, lingkangan sosial dan bahkan terjadi dalam lingkungan keluarga.
Begitulah keadaan negeri yang menerapkan sistem sekularisme liberal yang menjunjung tinggi kebebasan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun negara sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kekerasan seksual, tetapi jika masih mengadopsi akidah sekularisme liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi.
Ibarat mencuci pakaian kotor dengan air yang kotor, sekeras apapun kita membersihkannya, hasilnya akan tetap sama saja. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan menghilangkan kekerasan seksual yang terjadi, jika negara masih menerapkan sistem liberalisme sekuler.
Islam Kaaffah: Penanganan Pandemi Kejahatan Seksual
Islam menjadi solusi dalam menangani pandemi kejahatan seksual, mulai dari pencegahan (preventif) dan penanggulangannya (kuratif). Islam dalam mengatasi kekerasan sesksual dengan tiga mekanisme, diantaranya:
Pertama, upaya pencegahan. Menerapkan sistem pergaulan islam dalam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan khos ( khusus) maupun kehidupan amm (umum). Interaksi antara laki-laki da merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Dalam buku Nizhomul Ijtimai karya Syaikh Taqiyuddin An-nabhani dijelaskan bahwa sistem pergaulan pria-wanita dalam islam menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-mata untuk melestaikan keturunan ummat manusia.
Islam membatasi hubungan lawan jenis atau hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dengan perkawinan dan pemilikan hamba sahaya. Sebaliknya islam telah menetapkan bahwa setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut adalah dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman yang paling keras.
Lebih lanjut, Syaikh Taqiyuddin An-nabhani menjelaskan, Islam juga membolehkan wanita atau pria melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, industri, dan lain-lain; di samping membolehkan mereka menghadiri kajian keilmuan, melakukan shalat berjamaah, mengemban dakwah, dan sebagainya.
Kedua, upaya pencegahan. Sistem kontrol berupa amar maruf nahi mungkar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat islam mempunyai kewajiban untuk mendakwahkan islam serta meyampaikan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Semua itu dilakukan sesuai dengan koridor syariat islam.
Ketiga, upaya penanganan. Sistem sanksi yang tegas yang dijalanakan khalifah terhadap para pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi para pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhson) yakni dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun dan jika pelakunya yang sudah menikah (muhson) sanksinya berupa had zina, yaitu dirajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu) sampai mati.
Semua hukum islam ini akan terlaksana dengan baik dalam naungan khilafah sebagi sebuah institusi yang akan menerapkan islam secara kaffah. Islam kaffah akan menjadi vaksin dalam mengatasi pandemi kejahatan seksual.
Wallahu alam bishowab
Penulis: Zahrah (Aktivis Dakwah Kampus)
Publisher: Yusrif
Komentar