Bagaimana Islam Memandang Toleransi

Siti Juni Mastiah, SE

TEGAS.CO.,NUSANTARA – Dalam rangka menyambut perayaan Hari Natal dan tahun baru 2022, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan membuat surat yang berisi imbauan pemasangan spanduk ucapan selamat Natal dan tahun baru 2022.

Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota se-Sulsel, Kepala MI, MTs dan MA se-Sulsel, serta Kepala KUA Kecamatan se-Sulsel. (harianaceh.co.id, 15/12/2021)

Iklan KPU Sultra

Surat imbauan tersebut menuai protes sejumlah ormas Islam, karena hal tersebut menyangkut dengan keyakinan dasar agama. Staf Khusus Menteri Agama bidang toleransi, terorisme, radikalisme, dan pesantren Nuruzzaman menyatakan bahwa surat edaran imbauan pemasangan spanduk ucapan selamat Natal dan tahun baru tersebut tidak akan dicabut.

“Kementerian Agama adalah kementerian semua agama, bukan hanya kementerian satu agama. Kementerian Agama berkewajiban mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama.”, tegas Nuruzzaman. (kumbanews.com, 19/12/2021)

Pernyataan tersebut seharusnya tak layak disampaikan di negeri yang mayoritas adalah umat Islam. Seharusnya berkaitan dengan toleransi beragama adalah dengan tidak mengganggu agama lain diluar Islam untuk merayakan hari sakral mereka. Toleransi tidak harus dengan memberikan ucapan “selamat”, karena hal tersebut menyangkut dengan prinsip keyakinan agama terkait aqidah.

Bagaimana Islam memandang status menyampaikan ucapan selamat kepada pemeluk agama lain dalam merayakan hari raya keyakinannya?. Islam memiliki seperangkat aturan yang jelas dan tegas yang bersumber dari Alquran dan Sunnah (Hadist) dari Rasulullah Saw. Prinsip yang diperintahkan Allah sebagai pembuat aturan dalam Qs. Alkafirun (109:1-6) menegaskan yang artinya “…..untuk mu agama mu dan untuk ku agama ku.”.

Ayat tersebut memerintahkan agar sebagai umat Islam harus memegang prinsip keyakinannya. Tidak mengikuti apa yang dirayakan umat agama lain, begitu pula Islam menegaskan untuk tidak memberikan ucapan selamat atas perayaan agama lain.

MUI dan Parpol seperti nya nampak mendukung kebijakan ini. Miris sekali, ini menegaskan bahwa makin masifnya kebijakan moderasi beragama yang lahir dari pemikiran sekuler liberal. Juga membuktikan bahwa program moderasi beragama mendorong muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan dengan aqidah.

Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan moderat (melihat secara seimbang), yang diistilahkan lawan dari radikal. Istililah ini bukan diambil dari istilah ilmiah melainkan lebih cenderung dikaitkan pada istilah politis. Kedua istilah ini memiliki motif politik tertentu. Motif pilitik dibalik ini adalah mengungkapkan kebohongan, menzahirkan yang palsu, menyembunyikan hakikat kebenaran.

Istilah moderat yang digaungkan saat ini sejatinya adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat yang memiliki nilai-nilai sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Sebaliknya radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat, yang menolak keras nilai-nilai sekulerisme, mereka yang menghendaki penerapan syariah Islam secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Diantara sikap moderat keagamaan Islam yang dikehendaki adalah keterbukaan pada pemahaman pluralisme yang menyamakan semua agama. Pengusung pluralisme menganggap semua agama benar, sebab semua agama berasal dari mata air yang satu yakni sama-sama dari Tuhan. Maka ini terbukti dari apa yang dilakukan oleh penguasa saat ini yang rajin mempromosikan toleransi beragama yang sering kebablasan.

Wujud pluralisme yang di contohkan oleh penguasa adalah seperti merayakan Natal bersama, doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, dan lain sebagainya termasuk mengajak untuk membuat spanduk ucapan selamat Natal dan tahun baru. Semua itu terbukti telah melanggar batas aqidah kaum muslim, yang telah mencampuradukkan antara yang haq dan batil. Hal ini bisa menjadikan seorang muslim murtad (keluar dari agamanya).

Rasulullah Saw. Telah berpesan untuk selalu waspada agar tak tergelincir dalam kesesatan yang mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau bersabda yang artinya :

Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasrani kah mereka ?” Beliau menjawab ; “Siapa lagi kalau bukan mereka.”. (HR. Al-Bukhari, No 7320.)

Makna Hadist tersebut diartikan dalam kitab Fath Al-Bari (w. 852 H) karya Ibnu Hajar Al Asqalani adalah berkaitan ketergelinciran umat Islam dalam mengikuti mereka (yahudi dan nasrani) dalam masalah aqidah dan ibadah.

Misalnya seperti keharaman mengucapkan Selamat Natal pada kaum Nasrani dan mengikuti perayaaannya. Sebagaimana firman Allah Swt. Yang memerintahkan untuk setiap hamba Nya memiliki sifat Ibad Ar Rahman yang artinya “…..dan mereka tidak menyaksikan kepalsuan…” (T.QS. Al Furqan ayat 72)

Imam Al Qurtubi (w. 671 H) ketika menafsirkan ayat ini menyatakan “maknanya adalah tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebatilan”. Az Zur adalah setiap kebatilan yang dihiasi dan dipalsukan. Zur adalah berlaku syirik yang paling besar dengan mengagungkan berhala.

Dalam pandangan Islam perayaan Natal adalah suatu bentuk kepalsuan, kebatilan atau kebohongan. Karena dalam perayaan tersebut menjadikan Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai oknum Tuhan adalah suatu kebatilan.

Jadi jelaslah bahwa toleransi yang dibolehkan dalam Islam adalah dengan tidak mengganggu, mendiskriminasi ataupun dengan tidak melarang  mereka ketika merayakan hari ritual keagamaan mereka.

Sehingga tidak harus untuk memberikan ucapan selamat dengan memasang spanduk atau mengikuti kegiatan-kegiatan mereka, karena hal tersebut jelas diharamkan. Disinilah letak pentingnya negara dalam mengayomi warga negaranya untuk tidak ikut campur dalam masalah keyakinan.

Ketika Daulah Islam hadir ditengah-ditengah masyarakat dengan menerapkan aturan yang berasal dari Allah Swt. sebagai Sang Pencipta, ini berhasil menjadikan kaum diluar Islam (non muslim) dengan kaum muslim hidup berdampingan dengan rukun. Karna Islam mempunyai prinsip untuk tidak memaksakan memeluk ajaran Islam sesuai dengan Firman Allah dalam Al Quran Surat Albaqarah ayat 256 yang artinya :

Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, sesungguhnya telas jelas perbedaan antara jalan yang benar dan sesat. Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh pada tali agama yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.”

 

Penulis: Siti Juni Mastiah, SE (Anggota Penulis Muslimah Jambi dan Aktivis Dakwah)

Editor: H5P

 

Komentar