TEGAS.CO,. NUSANTARA – Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di negeri seolah menemui kebuntuan. Meski dengan berbagai instrumen, koruptor tak pernah jera. Alih-alih berkurang, hukum justru seolah memihak koruptor.
Masalah korupsi tak juga teratasi. Sudah berusaha selama ribuan purnama, tak jua kelihatan hasilnya, hingga masyarakat jengah dengan para penggawa. Rakyat banting tulang membayar pajak, sedangkan mereka seenaknya memalak meski desakan penyelesaian kasus rasuah mengalir deras dari berbagai lini. Sepertinya, kecakapan lembaga pemberantasan korupsi masih setengah hati.
Dilansir dari SINDONEWS.com Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi sebanyak 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021.
Berdasarkan hasil penelusuran dari laman resmi KPK, laporan dugaan korupsi terbanyak berasal Dari DKI Jakarta. KPK mengantongi sebanyak 471 aduan dugaan korupsi dari wilayah DKI Jakarta. Kedua, wilayah Jawa Barat sebanyak 410 aduan, disusul Sumatera Utara 346 aduan, Jawa Timur 330 aduan, dan Jawa Tengah 240 aduan.
Adapun keberhasilan penyelesaian kasus rasuah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu satu semester selama 2021kemarin, dinilai buruk. Bersama dua penegak hukum lainnya, hanya 209 kasus (19%) dari 1.109 kasus yang terselesaikan. Data itu diperoleh dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2021.
Setidaknya, itulah wajah baru lembaga antirasuah yang dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). (medcom.id, 13/9/2021).
Wabah Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan musuh bersama semua masyarakat, sistem, dan ideologi. Korupsi telah dianggap sebagai salah satu musuh besar kemanusiaan. Di negara mana pun, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar negara. Korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Karena itu memberantas korupsi tentu memerlukan upaya yang juga luar biasa.
Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak, atau yang lain. Pendek kata, segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Pada 2020, Hasil survei Transparency International Indonesia menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang menempati peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei. Rilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2020 yang dipublis Transparency International (TI) Indonesia menunjukkan lebih dari dua pertiga negara berada di bawah skor 50, dengan skor rata-rata global 43.
TI memberi skor dimulai dari 0 yang berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Indonesia sendiri memperoleh skor 37 dengan peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei.
Pelik dan seolah tiada akhir, tentu kita layak bertanya, mengapa korupsi di negeri ini sangat sulit diberantas?
Mandulnya Solusi
Kondisi saat ini tak dimungkiri subur dalam sistem kapitalisme sekuler. Sistem inilah menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuatan yang dilakukan. Sistem sekuler kapitalisme ini juga telah memantik sikap konsumtif. Kebutuhan tak lak lagi dapat dibedakan dengan keinginan.
Di sisi lain, para kapitalis terus menciptakan berbagai produk yang memanjakan mata. Diperparah dengan fenomena “pamer kekayaan” di tengah-tengah masyarakat. Teramat mudah bagi kita untuk menyaksikan aksi pamer kekayaan di dunia maya.
Sekilas terlihat remeh dan biasa saja, tetapi fenomena ini begitu mudah memengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat. Terlebih kurangnya sikap warak dan lemahnya mentalitas para pejabat dalam mengelola harta negara, menjadikan korupsi tumbuh subur di negeri ini.
Karena korupsi muncul dari ketamakan manusia akan dunia serta sistem yang menjadikan ketamakan ini sebagai lahan bagi para kapitalis, rasanya pantas jika upaya pemberantasan korupsi ini secara sistemis. Sistem Islam adalah alternatif yang tepat untuk hal ini.
Solusi Islam Mengatasi Korupsi
Sikap warak adalah perkara utama bagi siapa pun. Dalam sistem pemerintahan Islam, para pejabat menjadikan sikap warak ini sebagai tameng dari segala harta haram.
Sikap inilah yang mendorong Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak mau mencium bau minyak wangi yang bukan haknya. Beliau menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada kaum Muslimin (Al-lhya’, Al-Ghazali). Secara fikih, mencium bau minyak wangi orang lain tidak haram, tetapi demikianlah sikap kehati-hatian Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Selain sikap warak, para pejabat dalam Kekhalifahan Islam juga dilarang untuk menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya tanpa imbalan.
Abdulllah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi saw. untuk membagi dua hasil bumi Khaibar, datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak dengan keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum muslim tidak memakan suap.” Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam AI-Muwaththa’).
Praktik suap dan pemberian hadiah sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja para pejabat. “Ada fulus urusan mulus, tak ada fulus urusan mampus,” begitu kata sebagian orang saat menggambarkan buruknya pelayanan saat ini. Alhasil, praktik ini kian merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dalam Islam, tentu saja hal seperti ini tidak diperbolehkan. Rasulullah saw. berkata, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud).
Ketakwaan individu adalah perkara penting. Dalam sistem sekuler yang menafikan pengawasan Allah dalam kehidupan sehari-hari, tak sulit bagi pejabat mengambil harta yang bukan haknya. Masyarakat sendiri dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewangan di kalangan pejabat. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dengan iming-iming sejumlah uang atau sejumlah hadiah.
Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi kinerja para pejabat, serta turut melakukan muhasabah seraya mengingatkan mereka akan pengawasan Allah Yang Maha Mengetahui segala perbuatan manusia.
Suasana inilah yang tampak dalam sistem pemerintahan Islam.
Ketakwaan individu, kontrol dari masyarakat serta sanksi berat dan berefek jera yang diberikan oleh negara kepada para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, akan meminimalisir kasus dan membuat pelakunya tak akan mengulang perbuatan serupa.
Dengan seluruh mekanisme preventif di atas, jelas terlihat bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu mencetak individu takwa, juga lingkungan bermasyarakat dan bernegara yang diliputi suasana keimanan untuk mencegah berulangnya kasus korupsi para pejabat. Wallaahu a’lam.
Penulis: Nurfia (Aktivis Dakwah Kampus)
Publisher: Yusrif Aryansyah
Komentar