TEGAS.CO., Sultra – Innalilahi wa innailaihi roji’un. Seorang dokter yang masih dalam dugaan terlibat kasus terorisme di tembak mati saat penangkapan oleh densus 88. Berita ini pun menjadi ramai diperbincangkan di jagat sosial media.
Banyak komentar dari netizen yang meragukan tuduhan jika Sang dokter terlibat dalam kasus terorisme. Pasalnya dr. Sunardi diketahui kedermawanannya. Beliau sering mengirimkan bantuan ke daerah konflik maupun daerah yang mengalami musibah bencana. Sebagai dokter pemerintah, beliau pun pernah menjadi relawan yang dikirimkan ke daerah konflik di Ambon. Bahkan dalam kesehariannya saat melakukan praktek dokter, beliau tak segan menggratiskan biaya berobat bagi pasien yang tidak mampu. Atas dasar jiwa kemanusiaan dan kedermawanan beliau inilah rasanya sulit sekali diterima tuduhan yang dialamatkan kepada beliau.
Apalagi dengan kondisi kaki beliau sulit berjalan. Sang dokter berusia 54 tahun itu mengalami patah tulang kaki (multiple fracture) ketika membantu misi kemanusiaan gempa Jogja pada 2006 dan riwayat strok yang dideritanya. Semakin sulit diterima akal jika dr. Sunardi melakukan perlawanan saat penangkapan. Pihak keluarga pun menyayangkan cara D3nsus 8-8 tersebut. Semestinya mengedepankan prosedur secara hukum. Sejumlah ahli menduga ada tindakan extrajudicial killing.
Dugaan Extrajudicial Killing
Menurut penjelasan Prof. Suteki sebagai pakar sosiologi hukum dan filsafat Pancasila, extrajudicial killing adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan kematian seseorang yang dilakukan aparat negara tanpa melalui proses hukum dan pengadilan.
Ada beberapa ciri-ciri tindakan yang termasuk tindakan extrajudicial killing.
Pertama melakukan tindakan yang menimbulkan kematian.
Kedua tanpa proses hukum yang sah yang seharusnya dimulai dengan adanya Surat Penangkapan atau terdapat bukti tangkap tangan.
Ketiga pelakunya adalah aparat negara.
Keempat tindakan yang menyebabkan kematian tadi tidak dalam rangka membela diri atau melaksanakan perintah UU.
Dari keempat ciri extrajudicial killing semuanya terjadi pada kasus dr. Sunardi. Ciri pertama misalnya, jelas sekali dr. Sunardi meninggal seketika saat di tembak di tempat penangkapan. Ciri kedua, tidak ada keterangan apakah Surat Penangkapan telah dilayangkan kepada dr. Sunardi atau keluarganya. Penetapan status tersangka oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan baru diumumkan pada konferensi pers pada Jumat (11/3/2022), sehari setelah penembakan terjadi. Ciri ketiga juga sudah jelas. Sedangkan ciri keempat extrajudicial killing juga ditemukan pada kasus ini. Dalih adanya perlawanan dari Sang dokter jelas sulit diterima, selain kondisi kaki beliau juga Prof. Suteki mempertanyakan kenapa penangkapan tidak di rumah saja bukankah alamat rumahnya jelas.
Menelisik ke belakang, apa yang dilakukan oleh D3nsus 8-8 dengan melakukan penembakan mati saat penangkapan tidak kali ini saja terjadi. Miris! Nyawa manusia seperti tidak ada harganya. Sebagai negara hukum semestinya peristiwa macam ini tidak boleh terjadi.
Butuh Jaminan Sistem
Berita meninggalnya dr. Sunardi bisa dibilang mengagetkan publik. Terlebih angle berita mengarah pada konsen soal terorisme. Tidak ada angin tidak ada hujan, di tengah situasi rakyat yang semakin tercekik dengan melambungnya sejumlah harga kebutuhan pokok, kelangkaan minyak goreng, dan ancaman virus Corona, seolah-olah terorisme menjadi persoalan yang penting dibandingkan persoalan lainnya.
Tewasnya pelaku dugaan terorisme tidak kali ini saja terjadi. Sungguh klaim negara hukum nyatanya belum memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap warga negaranya. Hukum seperti milik mereka yang punya kuasa saja. Hal ini tentu saja berbeda jika berada dalam sistem Islam.
Islam memiliki konsep yang khas terkait dengan sistem sangsi (uqubat). Setiap ada perselisihan diselesaikan dengan baik melalui peradilan. Peradilan pun tidak ada namanya naik banding. Pihak pelapor dan yang didakwa diberikan hak yang sama untuk menghadirkan saksi sekaligus menunjukkan kebenarannya. Hakim yang menangani perkara merujuk pada hukum syariat bukan hukum buatan manusia, sehingga posisi hakim tidak akan mudah untuk dibeli. Karena tidak ada pasal karet yang bisa ditarik ulur
Islam juga memiliki pandangan yang berbeda mengenai penjagaan jiwa. Menurut syariat haram hukumnya membunuh manusia tanpa adanya hak yang dibolehkan Syara’. Oleh karenanya Al Qur’an telah menyebutkan hilangnya satu nyawa lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Negara (baca: khilafah) wajib memberikan penjagaan terhadap jiwa setiap warga negaranya sekalipun itu kafir dzimmi.
Demikianlah Islam akan mampu memberikan jaminan penjagaan terhadap jiwa seseorang. Insyaallah jika sistem Islam diterapkan nyawa manusia sangat dihargai. Semoga tidak ada lagi kasus serupa.
Wallahu a’lam.
Oleh: Dhevy Hakim
Komentar