Polemik Minyak Goreng Tak Berkesudahan, Rakyat Dibuat Kebingungan

Fhya An Nur (Aktivis Dakwah Kampus)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Polemik minyak goreng melanda tanah air sejak akhir tahun lalu. Membuat banyak masyarkat mengantri dan berebut untuk mendapatkannya. Harganya pun melambung tinggi dari harga sebelumnya. Sampai saat ini minyak goreng sulit di jangkau oleh masyarakat.

Di lansir dari Kendariinfo.com, ratusan ibu-ibu rebutan minyak goreng murah di kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Sulawesi Tenggara. Terlihat Ibu-ibu tersebut saling kejar-kejaran menuju belakang Kantor Disperindag Sultra. Mereka berebut antrean terdepan agar tak kehabisan stok minyak goreng sebab hanya akan diberikan kepada 300 orang pertama saja dengan batasan pembelian 2 liter per orang.

Iklan KPU Sultra

Selain keterbatasan stok minyak goreng . Warga juga mengantri sampai berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng, dimulai pukul 06.30 WITA. Padahal pelayanan minyak goreng baru dibuka sekitar pukul 10.30 pagi.

Bukan hanya menghadapi krisis kelangkaan minyak goreng. Warga juga dihadapakn dengan sejumlah harga kebutuhan pokok yang ikut merangkak naik. Padahal negeri ini termasuk pemasok produk sawit terbesar di dunia.

Dimana, menurut data dari Kementrian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Terbesar di 26 provinsi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton (Kontan.co.id)

Dari data yang di peroleh, sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton. Pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 3,61 persen.

Merujuk catatan Kementrian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton.

Harus di evaluasi dari ranah hulu hingga hilir, kenapa pendistribusian minyak goreng masih langka.

Penyebab utama kelangkaan minyak goreng kuat dugaan di sebabkan karena kartel ( penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen) yang berkerjasama untuk mengeruk keuntungan dan menguasai pasar. Hal ini bisa saja terjadi, sebab perkebunan sawit hingga produksi minyak goreng sawit di kuasai oleh segelintir orang.

Sebagaimana di sampaikan oleh Ketua KPPU Ukay Karyadi bahwa struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. KPPU juga mengungkapkan bahwa 46,5% pasar minyak goreng didalam negeri dikuasai oleh empat produsen besar (Bisnis.com).

KPPU menemukan pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengelolaan CPO, hingga produsen minyak goreng.

Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik kartel seiring meningginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu. Merekalah yang mengeruk keuntungan besar di tengah derita rakyat akibat krisis minyak goreng.

Selain itu Negara tidak boleh berlepas tangan terhadap polemik minyak goreng. Negara tidak boleh salah kelola. Kelangkaan minyak goreng juga di sebabkan oleh pemerintah yang memberikan kelonggaran kepada para pengusaha agar tetap mengekspor minyak goreng keluar negeri di tengah kelangkaan barang.

Diperjelas oleh pernyataan Mentri Perdagangan Muhammad Lutfi yang mengatakan telah terjadi kebocoran minyak goreng murah yang dijual keluar negeri dan telah terekspor sebanyak 415 juta liter sejak 14 februari 2022 lalu (PikiranRakyat-Depok.com).

Pada dasarnya kelangkaan minyak goreng dipengaruhi adanya gurita sistem ekonomi liberal yang telah digunakan untuk mengelola komoditas sawit. Padahal, sistem ekonomi liberal pastinya berpihak kepada para pemodal. Sama sekali tidak memihak rakyat.

Tak heran jika rakyat Indonesia masih hidup dalam ironi hingga detik ini. Mereka tak ubahnya tikus yang mati di lumbung padi. Pundi-pundi komoditas yang seharusnya dikembalikan bagi kesejahteraan mereka, telanjur diserobot oleh pilar-pilar kekuasaan oligarki.

Kekuasan yang hanya memperkaya diri penguasa sendiri. Semua untuk uang dan apa pun demi uang. Apalagi penguasa berperan sekaligus penguasa di negeri ini.

Berbeda halnya dalam islam, secara praktis Khalifah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan menjalankan sistem ekonomi Islam. ada beberapa langkah yang harus negara lakukan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat.

Pertama, terkait produksi, negara akan menjaga pasokan dalam negeri. Negara membuka akses lahan yang sama bagi semua rakyat untuk memaksimalkan produksi lahan; mendukung para petani melalui modal, edukasi, pelatihan, serta dukungan sarana produksi dan infrastruktur penunjang.

Kedua, terkait distribusi. Negara akan menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga, dan menghilangkan penyebab distorsi pasar. Ketiga, negara mengawasi agar penentuan harga mengikuti mekanisme pasar.

Selain itu, Negara dalam Islam wajib menjalankan politik perdagangan luar negeri secara independen (mandiri). Allah Swt. berfirman, “Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS An-Nisa’: 141).
Pengaturan perdagangan luar negeri wajib mengikuti syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Negara berlaku sebagai penentu serta pengatur pelaksanaan perdagangan luar negeri, baik oleh individu maupun atas nama negara. Semua pelaksanaan itu dengan memperhatikan status negara (ekspor) ataupun asal (impor).

Negara juga akan memperhatikan jenis komoditas, bernilai strategis atau tidak, serta rakyat membutuhkannya atau tidak. Jika negara menjalankan semua hal tersebut, akan dapat meminimalisir, bahkan mencegah terjadinya gejolak berbagai harga kebutuhan pokok rakyat.

Waullahu’alam

Penulis: Fhya An Nur (Aktivis Dakwah Kampus)

Publisher: Yusrif Aryansyah

Komentar