TEGAS.CO., INDONESIA – Koalisi multipihak untuk kebebasan berekspresi dan moderasi konten berperan penting dalam mendukung kebebasasan berekspresi di ruang digital, mengurangi resiko yang muncul dari moderasi konten di media sosial, dan berkontribusi dalam mengatasi ketidakseimbangan antara perusahaan teknologi global dan masyarakat lokal, berdasarkan temuan riset terbaru ARTICLE 19.
Laporan riset yang merupakan bagian dari proyek UNESCO Media Sosial untuk Perdamaian yang didukung Uni Eropa tersebut menyerukan pembentukan koalisi multipihak dan mendorong relasi komunitas lokal dan perusahaan platform sosial media untuk mengatasi masalah yang muncul dari moderasi konten, terkait disinformasi daring dan ujaran yang membangkitan kebencian, serta diskriminasi. Koalisi tersebut diharapkan dapat memberi ruang bagi organisasi masyarakat sipil lokal untuk memberikan masukan pada plaftrom terkait konteks lokal, agar moderasi konten berjalan efektif di tingkat lokal.
Riset tersebut telah dilakukan di tiga target negara: Bosnia and Herzegovina, Indonesia, dan Kenya. Pada tiga negara ini, nampak bahwa moderasi konten yang kurang tepat berisiko membahayakan proses perdamaian dan rekonsiliasi, serta semakin memicu ketegangan sosial.
Wawancara dengan aktor masyarakat sipil lokal, media, aktivis dan akademisi menunjukkan dukungan luar biasa terhadap pembentukan koalisi multipihak di tiga negara tersebut.
Mengomentari seruan untuk membentuk koalisi lokal multipihak, Pierre François Docquir, Kepala Kebebasan Media ARTICLE 19 mengatakan:
“Sangat jelas bahwa praktik moderasi konten global saat ini sangat tidak memadai dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi di seluruh dunia. Ini khususnya terjadi pada masyarakat pasca-konflik, saat kondisi perdamaian dan demokrasi masih rapuh. Keputusan, paling sering dilakukan secara otomatis oleh algoritma. Seharusnya keputusan tersebut disertai dengan pemahaman tepat tentang nuansa bahasa lokal, dan kompleksitas konteks lokal dalam dimensi budaya, sosial, sejarah dan politik mereka.
ARTICLE 19 menawarkan ide membentuk Dewan Media Sosial – entitas multi pemangku kepentingan yang dapat menyatukan berbagai aktor dan perusahaan social media di tingkat nasional, untuk memastikan input lokal yang tepat dalam membentuk kebijakan, serta pengawasan keputusan moderasi konten.
Koalisi lokal kebebasan berekspresi dan moderasi konten kami usulkan di Bosnia dan Herzegovina, Indonesia dan Kenya agar dapat menjadi langkah awal penciptaan Dewan Media Sosial berskala penuh: berperan sebagai jembatan krusial antara realitas aktor lokal dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di skala global.”
Tawfik Jelassi, Asisten Direktur Jendral UNESCO untuk Komunikasi dan Informasi mengatakan:
“Peluncuran pada Hari Internasional pertama untuk Melawan Ujaran Kebencian atas laporan Article 19 tentang moderasi konten di Bosnia dan Herzegovina, Indonesia dan Kenya merupakan kontribusi signifikan proyek “Media Sosial 4 Perdamaian” UNESCO dalam mengendalikan ujaran kebencian di media sosial, serta melindungi kebebasan berekspresi. Laporan ini menyediakan rekomendasi konkrit dan menyerukan pembentukan koalisi kebebasan berekspresi dan moderasi konten untuk menjembatani kesenjangan antara perusahaan Internet dan organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional, dan sekaligus memastikan lokalisasi dan konteksualisasi keputusan moderasi konten.
Marc Fiedrich, Penjabat Direktur dan Kepala Layanan Instrumen Kebijakan Luar Negeri (FPI) – Komisi Eropa mengatakan:
“Skala dan besarnya arus disinformasi dan konten berbahaya lainnya di media sosial belakangan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Fakta bahwa bagi banyak orang, media sosial sebagai sumber informasi utama menimbulkan risiko besar. Dalam konteks pada komunitas terdampak konflik dan rapuh, sering kali terdapat kekurangan mekanisme tata kelola untuk menghadapi tantangan konten berbahaya yang semakin meningkat di ruang digital. Inilah sebabnya kami mendukung upaya dan inisiatif yang mencoba meningkatkan kesadaran tentang dampak konten berbahaya di ruang digital, mencari solusinya, serta bersama perusahaan media sosial untuk memitigasi dampak negatif tersebut.
Penting bagi kami untuk terus bekerja melakukan pemantauan dan membuat platform peringatan dini untuk mendukung inisiatif dalam merespon disinformasi dan narasi lain yang memicu konflik, seperti propaganda ekstrimis kekerasan dan ujaran kebencian. Kami juga meningkatkan relasi dengan perusahaan media sosial, sambil berharap algoritme narasi perdamaian di masa depan lebih disukai daripada konten terpolarisasi ekstrimis.
Moderasi konten yang tidak memadai memicu ketegangan lokal
Selama bertahun-tahun, media sosial memberi kesempatan yang sebelumnya tidak pernah ada, kepada orang-orang di seluruh dunia untuk menggunakan hak kebebasan berekspresi, berbagi informasi dan gagasan, membangun komunitas dan gerakan progresif.
Namun, penelitian ARTICLE 19 menunjukkan bahwa langkah moderasi konten yang tidak memadai, yang dilakukan perusahaan teknologi belum cukup untuk mengatasi masalah yang muncul di sosial media. Serta seringkali gagal menghentikan penyebaran ujaran kebencian dan disinformasi.
Padahal hal ini penting, khususnya dalam masyarakat yang penuh konflik dan beragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang atau tidak memadainya praktik moderasi konten bisa berarti informasi tersebut dapat dengan mudah dimanipulasi atau dipalsukan, dan menyebar dengan cepat. Hal ini dapat mengakibatkan perpecahan etnis, budaya, dan politik, yang semakin dalam, serta merusak kepercayaan pada lembaga-lembaga demokrasi, dan terkadang berkontribusi pada kekerasan di dunia nyata.
Kondisi ini termasuk berdampak pada hak dan keamanan kelompok marginal, yang sering menjadi sasaran ujaran kebencian dan hasutan. Sehingga penting melakuan penyelarasan kembali moderasi konten dengan standar internasional dan konteks lokal, untuk memastikan perdamaian berkelanjutan dan demokrasi yang abadi.
Ketidakseimbangan global dan kurangnya konteks
Tahun 2021, pelapor (whistleblower) Facebook Frances Haugen mengungkapkan 87% pengeluaran perusahaan dialokasikan untuk menanganani misinformasi khususnya dalam Bahasa Inggris – meskipun hanya 9% pengguna platform berbahasa Inggris. Perbedaan ini menggambarkan kurangnya prioritasi di beberapa wilayah dan konteks tertentu, yang tidak memiliki kepentingan global strategis untuk platform media sosial.
Anggota masyarakat sipil di Bosnia dan Herzegovina, Kenya, dan Indonesia menyampaikan pada ARTICLE 19 pengalaman mereka melihat kegagalan perusahaan media sosial memahami konteks budaya dan masyarakat, seringkali termasuk kurangnya pengetahuan tentang bahasa lokal. Organisasi lokal, yang menyadari risiko ini merasa bahwa langkah platform tidak cukup memadai, kurang menggunakan pengetahuan serta keahliannya saat menerapkan aturan konten.
Tanpa pemahaman tepat tentang konteks lokal, proses moderasi mungkin gagal mendeteksi dan menangani konten bermasalah dengan benar. Sebaliknya membiarkannya menyebar dengan cepat ke seluruh platform dan berpotensi memberikan dampak serius. Pada saat yang sama, ucapan dan konten yang dilindungi oleh standar kebebasan berekspresi internasional, seperti kritik politik atau sindiran (satire), dapat disalahartikan dan berdampak serius di dunia nyata.
Masyarakat sipil menyampaikan keprihatinan mereka tentang langkah yang kurang tepat terkait mekanisme pemulihan pada konten yang salah hapus atau postingan bermasalah. Mekanisme banding saat ini tidak efektif, dan perusahaan platform lambat menanggapi, atau bahkan memahami kekhawatiran komunitas. Jika konten dalam bahasa selain bahasa Inggris, atau di negara-negara yang tidak diprioritaskan oleh perusahaan, prosesnya bisa sangat lambat dan tidak efektif, terkadang membahayakan keselamatan dan keamanan individu atau kelompok.
Langkah ke depan
Isu-isu ini penting secara global, khususnya di negara-negara dengan ketegangan etnis dan sosial sedang berlangsung. Isu ini semakin mendesak selama periode pemilu, ketika upaya untuk menabur perpecahan melalui disinformasi cenderung lebih agresif.
Untuk mengatasi masalah ini dan menjembatani kesenjangan antara perusahaan teknologi global dan masyarakat sipil lokal, ARTICLE 19 menyerukan pembentukan koalisi lokal multipihak tentang kebebasan berekspresi dan moderasi konten. Dengan mendasarkan pekerjaan mereka pada standar internasional kebebasan berekspresi, koalisi multi-pemangku kepentingan lokal dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan kekuatan yang melekat dalam sistem moderasi konten global saat in,i dan memberikan peluang kepada aktor lokal untuk membentuk praktik moderasi konten. Koalisi ini juga akan memudahkan perusahaan media sosial untuk membangun relasi dengan aktor lokal.
Pada fase berikutnya dari proyek yang didukung UNESCO dan Uni Eropa, ARTICLE 19 akan bekerja dengan aktor lokal di Bosnia dan Herzegovina, Kenya dan Indonesia untuk berkontribusi memfasilitasi pembentukan koalisi ini.
REDAKSI
Komentar