Ironi di Gedung DPR, Rakyat Demonstrasi Wakil Rakyat Khidmat Bernyanyi

Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

TEGAS.CO,. NUSANTARA – Miris, benar-benar hilang empati manusia-manusia terhormat yang ada dalam gedung DPR. Betapa tidak, disaat ribuan para demonstran berunjuk rasa di depan gedung DPR selama berhari-hari terkait dengan kenaikan BBM tidak juga diapresiasi, tidak satupun jajaran pimpinan DPR RI yang keluar gedung untuk menemui para demonstran. Para anggota dewan yang terhormat itu malah asik merayakan ultah ketuanya Puan Maharani.

Peristiwa ini terjadi hari Selasa, 6 September 2022 saat jalannya sidang paripurna dalam rangka HUT ke-77 DPR RI dan penyampaian laporan kinerja DPR RI tahun sidang 2021-2022. (suara.com Selasa, 13/9/22)

Iklan KPU Sultra

Wajar kalau perayaan Ulta Ketua DPR RI Puan Maharani tersebut memantik amarah publik. Betapa tidak, disaat jutaan rakyat menjerit berharap pada para pejabat dan anggota dewan bisa memihak mereka yaitu menurunkan harga BBM agar dapur dapat ngebul dan usaha bisa tetap berjalan, namun sungguh sayang subsidi terlanjur disebut “beban APBN” sehingga tuntutan tak pernah dipenuhi.

Kenapa Hilang Empati

Bukan kebijakan naiknya harga BBM saja yang memperlihatkan bahwa penguasa sekarang telah kehilangan empatinya. Akan tetapi, banyak pernyataan “asbun” atas permasalahan rakyat terlontar dari mulut para pejabat. Misalnya, kalau beras naik, rakyat miskin disuruh diet; atau BBM naik, pindah ke mobil listrik; atau minyak mahal, rakyat disuruh merebus dan mengukus saja; serta banyak lagi pernyataan yang menyakiti perasaan, terutama rakyat kecil.

Belum lagi jika berbicara tentang kebijakan yang ditetapkan, sungguh jauh dari kata empati. Misalnya, naiknya tarif listrik dan air, pajak sembako dan pulsa, otak-atik skema dana pensiun PNS dan tunjangan guru, dan sebagainya.

Lantas, apa penyebab hilangnya empati penguasa ini? Tidak ada jawaban lain kecuali akibat penerapan sistem demokrasi kapitalistik yang makin mengakar.

Demokrasi Kapitalistik

Setidaknya ada tiga sebab sistem ini layak disebut biang kerok atas hilangnya empati para penguasa terhadap rakyatnya.

Pertama, hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat dalam sistem demokrasi kapitalistik adalah bagaikan hubungan bisnis antara penjual dan pembeli. Penguasa sebagai pihak penjual yang menjual fasilitas dan kebutuhan hidup pada rakyatnya, sedangkan rakyat serupa pembeli yang sering kali dipaksa membeli apa saja yang disediakan penguasa.

Hubungan seperti itu lahir dari sistem demokrasi kapitalistik yang menyerahkan urusan rakyat pada swasta. Negara berfungsi sebatas regulator yang menjembatani bertemunya kebutuhan rakyat dan kepentingan swasta.

Layaknya penjual, negara akan terus mencari keuntungan dari pembelinya. Jika rakyat meminta subsidi, itu diserupakan dengan pembeli yang meminta diskon belaka. Inilah penyebab subsidi dianggap beban oleh negara.

Kedua, dalam sistem demokrasi kapitalistik, kedaulatan sesungguhnya berada di tangan para pemilik modal. Kontestasi yang mahal menyebabkan para cukong terlibat begitu dalam sehingga mengantarkan pada politik transaksional, yakni jual beli kebijakan dan jabatan. Wajar jika kebijakan tidak memihak rakyat. Ini pula penyebab regulasi yang dibuat acapkali memihak swasta. Lantas, bagaimana bisa terlahir penguasa yang pro rakyat dan berempati pada mereka?

Ketiga, sistem ini cacat sedari lahir, berasaskan sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) sehingga aturannya tidak pernah melibatkan Allah Swt. sebagai Sang Pencipta. Liberalisasi di semua sektor menjadikan distribusi kekayaan bertumpuk pada segelintir orang saja. Sungguh, sistem ini tidak akan pernah menciptakan kesejahteraan bagi rakyat seluruhnya.

Selain semua itu, sekularisme hanya bisa menghimpun penguasa yang tidak paham agama. Sistem ini menggilas siapa saja yang berani membawa-bawa agama ke dalam urusan bernegara.

Kalau sudah begini, bagaimana bisa mengharapkan mereka akan amanah terhadap tugasnya sebagai pejabat, jika mereka sendiri tidak pernah mau ada aturan Allah Swt. yang terlibat?

Penguasa Amanah dan Berempati

Sungguh, sistem demokrasi kapitalistik telah menyebabkan penguasa kehilangan nurani dan rasa empati terhadap rakyatnya. Mereka tidak lagi bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat karena tujuan mereka berkuasa adalah untuk kepentingan pribadi dan partainya saja.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan beramal setiap manusia, termasuk penguasa. Seseorang yang ingin menjabat adalah yang niatnya semata untuk mengabdi pada Allah Taala. Ini karena Allah Swt. menjanjikan surga bagi para pemimpin yang amanah.

Selain amanah, penguasa dalam Islam juga akan piawai dalam mengurus negara. Manusia lemah yang tidak mengerti cara mengurus negara tentu tidak akan berani menerima amanah menjadi wakil rakyat. Selain menjanjikan surga, Allah Swt. juga menyediakan neraka bagi pemimpin yang lalai terhadap amanahnya. Dari sini saja, akan terlahir penguasa yang amanah dan kapabel mengurusi rakyat, serta berempati pada mereka.

Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat pun bagaikan pelayan dan tuan. Layaknya pelayan, negara akan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya dengan baik. Dengan begitu, rakyatnya akan mencintai para pemimpinnya yang amanah dan juga mendoakannya. Begitu pun pemimpinnya, akan selalu mencintai rakyatnya.

Inilah sebaik-baik hubungan penguasa dan rakyatnya yang hanya ada dalam sistem Islam.

“Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian.” (HR Muslim)

Khatimah

Tatkala akidah Islam menjadi asasnya, ini berarti kedaulatan ada di tangan Allah Taala. Dari sini akan lahir aturan yang sesuai fitrah manusia sebab Allahlah yang paling tahu kebutuhan hamba-Nya.

Kesejahteraan pun akan dirasa seluruh rakyat karena negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam hal regulasi kepemilikan, misalnya, Islam mengharamkan privatisasi barang tambang melimpah yang dibutuhkan publik, seperti minyak bumi. Negara akan mengelolanya dengan baik dan mengembalikan hasilnya semata untuk rakyat. Dengan pengaturan ini, pengadaan BBM murah bahkan gratis tidak mustahil bisa terjadi.

Wahai kaum muslim, sesungguhnya hilangnya empati penguasa terhadap kondisi rakyat ini disebabkan penerapan sistem demokrasi kapitalistik. Oleh karenanya, agar penguasa dapat amanah dan memiliki empati, caranya hanya dengan membuang sistem demokrasi kapitalistik dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam. Wallahualam.

Penulis: Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)

Publsiher: Yusrif Aryansyah

Komentar