Belajar Politik Dari Mesjid

 

Belajar Politik Dari Mesjid
La Ode Muhram Naadu, S.H., M.H (Dosen/Advokat)

TEGAS.CO, KENDARI – Adzan berkumandang jelang petang itu. Dua-tiga pria tua berpeci putih berduyun-duyun ke mesjid dengan sajadah di pundaknya. Didalam, beberapa pemuda dengan rambut agak basah nampak bersegera membentuk saf. Yang muda-muda nampak mengalah, ada yang mundur ke saf belakang. Mempersilahkan yang lebih tua.

Iklan KPU Sultra

Saf terbentuk dua, dan ada sedikit keanehan. Tak seperti biasanya. Dibagian Imam tak ada yang berani mengisi, segan. Padahal ada beberapa orang tua berpeci putih, nampak lazim jika dijadikan imam. Orang tua – orang tua itu saling berisyarat, mempersilahkan masing-masing untuk menjadi imam.

Kejadian aneh itu tidak sedikit memakan waktu. Hingga akhirnya, ada orang tua yang mendorong halus-perlahan seorang pemuda bercelana cingkrang untuk menjadi imam. Dahinya yang sedikit hitam nampak berkerut, seperti berat menerimanya. Namun sejenak itu iapun tersenyum. Dan dengan langkah pasti, akhirnya ia berdiri tegap di depan semua orang.

Seingat saya, bacaan Surah Ar-Rahman begitu merdu ia lantunkan. Nampaknya orang tua itu tidak salah menyodorkan Imam. Walaupun ada sebait ayat yang diingatkan oleh seorang jamaah, sholat kali itu begitu tu’maninah, luar biasa khidmatnya. Mungkin saja hanya saya yang kurang khusyuk.

**

Hanya beberapa menit terjadi, sholat berjamaah kali itu menyiratkan sebuah pelajaran tentang makna kepemimpinan. Bagaimana sebuah pemimpin lahir dari hasil kompromi khidmat yang didasarkan atas pengakuan.

Tak ada yang berlomba untuk menjadi pemimpin. Malah yang ada saling merekomendasikan. Masing-masing orang tahu diri, kalau kepemimpinan itu membutuhkan landasan yang kuat, ilmu yang tinggi, kerendahan hati, serta bertanggungjawab dengan jujur.

Si Imam hadir tanpa menawarkan diri. Ia pasti sadar kalau menjadi seorang imam diantara jamaah yang banyak adalah tanggung jawab besar. Justru orang yang mengetahui kemampuannya yang mendorongya untuk memimpin.

Tak ada yang keberatan terlebih berisik. Para jamaah mengikut dibelakangnya dengan khidmat, patuh, walaupun ada yang memprotes kesalahan bacaannya dengan merdu nan sopan. Iapun jujur mengakui kekhilafan, meralat bacaannya.

***

Proses menjaring pemimpin dalam suatu negara adalah proses yang rumit. Dalam sistem apapun banyak menuai konflik. Pun itu dalam sebuah sistem demokrasi sebagai sistem ideal yang paling banyak dianut di bumi ini.

Sebagaimana dalam sebuah sistem demokrasi di negara kita, seorang pemimpin lahir dari sekelumit proses perpolitikan yang identik dengan vonis ‘carut marut’. Terkhusus di pilkada/pemilu yang telah dilaksanakan hal itu seolah biasa saja terjadi.

Demi kekuasaan, segala cara jadi halal. Semua politisi pun jadi Machiavellian. Tak ada haram, licik dan sadis.
Energi untuk memilih pemimpin sungguh sangat besar. High cost, sebab hingga triliunan rupiah bisa ludes digunakan. Bayangkan jika anggaran tersebut dikonversi ke sektor pembangunan infrastruktur ataupun sumber daya manusia.

Hasilnya pun luar biasa memiriskan dengan segudang kerusakan nilai-nilai sosial dimasyarakat. Pilkada serentak dan pemilu baru-baru ini nyata mencerminkan hal itu semua. Banyak interaksi sosial yang tercerabut nilainya, hanya karena syahwat kekuasaan. Pun kekonyolan yang ego.

Kerontangnya makna politik praktis seolah terjustifikasi di masyarakat yang awam dari sapaan pendidikan politik para politisi berikut partainya. Yah, sebab umumnya mereka datang dengan pernak-pernik simbolitasnya hanya saat jelang momen pemilihan.

Pendidikan politik kita cenderung seremonial. Massa hanya diposisikan sebagai komoditas. Diajak ke kegiatan partai hanya untuk nonton dangdutan atau bagi-bagi door prize. Sulit untuk menemukan kaderisasi politik yang ideal dan eksis. Sangat sulit.

Seandainya saja proses melahirkan pemimpin seperti pilkada/pemilu sesederhana di mesjid, sebagaimana kisah nyata diatas, betapa indahnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tidak sebablas kontestasi politik baru-baru ini. Yang terpusar badai konflik dan fitnah.

Tiap-tiap orang pantas untuk memimpin seperti halnya pondasi ‘equal’ dalam demokrasi. Namun kepantasannya sewajibnya lahir dari dorongan orang lain yang didasarkan atas pengakuan kualitas secara khidmat.

Jauh beda dengan realitas kebanyakan di pilkada/pemilu kita. Calon pemimpin yang dihadirkan justru pongah membusungkan dada untuk menawarkan diri. Seperti lazimnya kita lihat pada baliho-baliho.

Kualitasnya tak terukur. Modal besar kalah dengan rekam jejak brilian. Yang ada kemudian, tak jarang adalah lahir pemimpin karbitan. Tak dibidani dari pola meryt system. Yah, kader terbaik selalu kalah oleh modal terbaik.

Lain lagi dengan prosesnya. Sporadis melabrak pranata sosial. Apapun disangkutpautkan dengan politik. Hukum dan jabatan pun jadi senjata. Bahkan unsur pemurni dari kalangan oknum cendekia dan oknum jurnalis pun ikutan tercemar. Tak sungkan untuk melacur politik. Parah.

Kompleksitas masalah pilkada/pemilu toh sudah melingkar layaknya ‘circle of devils’. Regulasi aturan yang belum terkodifikasi, meski tambal sulam perbaikannya, struktur penyelenggara yang miskin dan penuh intervensi seperti tidak punya taring untuk menghadirkan pilkada yang berkedamaian nan teduh.

Fungsi hukum sebagai perekayasa sosial tidak efektif menahan keberingasan masyarakat yang sporadis merayakan demokrasi langsung. Jumudnya, benteng-benteng keadilanpun runtuh diterjang kelicikan berpolitik.

Masyarakat pun tak jarang beringas. Kekalahan politik dianggap sebagai kekalahan segalanya. Kemenangan dianggap sebagai kesemena-menaan. All of all. Seolah semua dipertaruhkan untuk semua. Seperti adagium dari Otto Van Bissmarck, yang berkata ‘hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan.’

****

Dalam idealitas memilih pemimpin ala Masjid, ada banyak pola yang patutnya jadi cerminan untuk proses pemilu/pilkada kita. Setidaknya, poin utama yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana kriteria pemimpin yang pantas, dan bagaimana melahirkannya.

Pemimpin, anggota DPR, kepala daerah dan apapun sebutannya adalah manusia yang berkriteria sidiq, amanah, tabligh, fatonnah. Ia berdiri didepan sebagai suri tauladan (ing ngarsa asung tuladan), ditengah membangun semangat (ing madya mangun karsa), dan dari belakang menyemangati (tut wuri handayani).

Ukuran idealitas tersebut mungkin terlalu wahid, namun kita tentu tak buta dengan masih adanya sosok yang mendekati kriteria tersebut. Setidaknya mendekati sedekat-dekatnya.

Dia bukan lahir dari uang, atau seenak-enaknya dari turunan. Selazimnya lahir dari perjuangan bukan persandiwaraan.

Melahirkannya, dibutuhkan proses dengan pengakuan secara jujur-rasional akan kapasitas dan kapabilitas. Bukan dilahirkan dengan kemunafikan berlapis fulus hingga dibela sampai mampus oleh penjilatnya yang berakal bulus.

Melahirkan pemimpin, kepala pemerintahan dalam kompleksitas hidup kekinian kenyataannya rumit. Walau tak sesederhana di Mesjid namun banyak hal yang kita bisa tiru dari itu.

Bukan hal yang muluk jikalau itu kita adopsi nantinya untuk melahirkan pemimpin. Sebuah pemaknaan yang mesti kita konstruksi dalam paradigma sosial.

Jikalau rumit seutuhnya, setidaknya kita wajib berbenah, menjadi bagian yang membawa virus perubahan. Semua tergantung kita, menafsirkan demokrasi ala Masjid dalam perhelatan pilkada/pemilu kita. Yang penting patut direnungkan untuk selalu diingat, bagaimana kriteria dan bagamana melahirkan pemimpin. Poin perubahan ada disitu. Sederhana.

Sebuah perubahan besar dimulai dari hal kecil, hari ini, oleh kita semua. Think big, start small, and now.

Wallahu a’lam bishowab

Oleh : La Ode Muhram Naadu

Publisher : MAHIDIN

Komentar