Lima Poin Penegasan Bakornas LKMI PB HMI Terkait Kasus Ginjal Akut Anak Indonesia

 

Lima Poin Penegasan Bakornas LKMI PB HMI Terkait Kasus Ginjal Akut Anak Indonesia
Direktur Eksekutif BAKORNAS LKMI PB HMI 2021-2023, dr. Fahmi Dwika Hafiz Triono. (Foto Ist)

TEGAS.CO, JAKARTA – Badan Koordinasi Nasional Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Bakornas LKMI PB HMI), memberikan tanggapan terkait kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak di Indonesia.

Iklan KPU Sultra

Direktur Eksekutif Bakornas LKMI PB HMI, dr. Fahmi Dwika Hafiz Triono menjelaskan, bahwa saat ini di dunia kesehatan dihebohkan dengan munculnya gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGGPA). Per 1 November 2022 dilaporkan dari 325 kasus di Indonesia sebanyak 54% meninggal dunia. Tersebar di 26 provinsi dengan kasus terbanyak di DKI Jakarta.

GGGPA sudah ditemukan sejak Januari 2022. GGGPA dapat muncul pada rentang usia 0-18 tahun (mayoritas balita) dengan keluhan utama demam dan infeksi selama 14 hari terakhir. Saat pemeriksaan didapatkan adanya radang ginjal tanpa pernah mengalami kelainan ginjal sebelumnya.

“Sehingga mendapatkan diagnosis gangguan ginjal akut yang belum diketahui penyebabnya,” kata Direktur Eksekutif Bakornas LKMI PB HMI, dr. Fahmi Dwika Hafiz Triono melalui press release yang diterima tegas.co. Sabtu (5/11/2022).
.
Secara medis, kata Fahmi, standar diagnosis yang ditetapkan oleh Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) 2012, GGAPA dibagi menjadi tiga stadium.

Stadium 1, ditandai dengan peningkatan kreatinin serum 1.5-1.9x dari kadar normal dan pengurangan urin yang keluar <0.5ml/kg/jam selama 6-12 jam.

Menyusul stadium 2, ditandai dengan peningkatan 2-2.9x kadar normal kreatinin dan urin keluar berkurang <0.5ml/kg/jam selama lebih dari 12 jam.

Dan stadium 3, ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 3x dari normal dan tidak mengeluarkan urin sama sekali lebih dari 12 jam.

Fakta di lapangan, kata dia, anak yang datang dengan GGAPA ke perawatan kesehatan biasanya sudah memasuki stadium tiga (61%). Sifat dari stadium tiga sendiri adalah berat dan progresif, sehingga risiko kematian sangat tinggi.

Jika penanganan awal tidak ditangani dengan baik maka risiko jangka panjangnya dapat terjadi penyakit ginjal kronik (gagal ginjal).
Berdasarkan analisa toksikologi pasien, penyelidikan terhadap obat-obatan yang dikonsumsi pasien (bukti biobsi), serta referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan kerusakan ginjalnya sangat besar kemungkinan pasien yang menderita AKI terpapar senyawa kimia berbahaya dari obat sirop yang diminum.

Seluruh sirop atau obat yang berbentuk cair pasti mempunyai bahan pelarut. Pelarut yang aman digunakan adalah polietilen glikol atau polietilen oksida. Penggunaan zat pelarut seperti Etilen Glikol dan Dietilen Glikol yang dicurigai sebagai penyebab GGAPA adalah pelarut untuk industri, bukan dikonsumsi manusia.

Efek sampingnya jika dikonsumsi oleh anak-anak menimbulkan berbagai gejala diantaranya pusing kepala, muntah dan kemungkinan terparahnya adalah gangguan ginjal. Penyebab GGAPA anak seperti kekurangan cairan (dehidrasi), perdarahan, luka bakar, gagal jantung, infeksi berat, batu ginjal, dan toksin endogen. Penggunaan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) masuk termasuk toksin endogen.

Menurut ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada Profesor Doktor Marchaban, belum efektifnya pengawasan BPOM setelah obat beredar di masyarakat (post-market). Hal itu terbukti setelah salah satu petinggi BPOM mengakui dalam sebuah sesi diskusi bahwa lembaga itu tidak memiliki baku pembanding (reference standard) dari EG dan DEG yang diperlukan dalam metode pengujian zat toksik tersebut.

Namun, mengingat standar ambang batas itu tercantum dalam Farmakope Indonesia, maka pengujiannya semestinya wajib dilakukan oleh Badan POM.

Dengan begitu, lanjutnya, Bakornas LKMI PB HMI berkesimpulan, bahwa fenomena Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal merupakan kelalaian sistematis yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait salah satunya BPOM, karena tidak pernah melakukan surveilans secara spesifik terhadap cemaran EG dan DEG dalam obat yang beredar sampai kasus (GGAPA) ini terjadi.

Maka dari itu, tambah Fahmi, Badan Koordinasi Nasional Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam PB HMI menyatakan sikap sebagai berikut :

Mendesak Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP untuk menyatakan diri mundur/berhenti dari jabatanya sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan karena ketidakmampuan serta tidak kompeten dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Menuntut pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin pemenuhan hak-hak korban mulai dari pengobatan, fasilitas kesehatan, hingga kompensasi bagi keluarga korban yang meninggal sesuai UU Perlindungan Konsumen.

Mendesak pemerintah segera menetapkan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal yang menyebabkan kematian pada anak di berbagai daerah di Tanah Air sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB)

Mendesak pemerintah agar dilakukan investigasi terpadu terhadap kinerja lembaga negara terkait terutama BPOM dan industri obat-obatan yang diduga menjadi penyebab penyakit GGAPA pada anak.

Mendesak seluruh elemen gerakan masyarakat dan mahasiswa Indonesia untuk bersolidaritas menuntut pertanggung-jawaban lembaga negara terkait atas persoalan ini.

Publisher : MAHIDIN

Komentar